SEKARANG ini, hak warga negara dalam kemerdekaannya mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan sebagaimana yang diijinkan dalam Pasal 28 UUD 1945, sudah lumayan walau belum menggembirakan.
Bicara tentang konstitusi orang sudah berani, tidak ragu-ragu dan bukan masalah yang tabu. Hal ini bisa ditengarai atas pernyataan Ketua MPR RI, bahwa baru beberapa bulan menjabat, sudah mencatat ada 5 wacana terkait konstitusi yang muncul dari masyarakat.
Ketua MPR RI menangkap wacana yang muncul (1) perubahan terbatas amandemen (2) penyempurnaan (3) perubahan menyeluruh (4) kembali ke UUD yang asli (5) tidak perlu amandemen. (Komplek Parlemen Senayan, 18/11/2019).
Ketika penulis dan Drs. HM. Hatta Taliwang, dari Institut Ekonomi Politik Soekarno Hatta (IEPSH) beraudiensi kepada Ketua MPR, pada 18/11/2019, kelima wacana tersebut diulangi lagi.
Pada kesempatan yang baik itu, disampaikan kepada beliau, bahwa masih ada lagi wacana dari Gerakan Kebangkitan Indonesia (GKI).
Salah satu Misi dari GKI adalah “Kembali ke UUD 1945 Asli, Untuk Disempunakanâ€. Penyempurnaan dilakukan dengan cara Adendum.
Beliau langsung faham dan menyebutnya seperti konstitusi di Amerika. Artinya, wacana yang berkembang saat ini, bisa lebih dari 5 (lima) dan menunjukkan bahwa rakyat memiliki kesadaran atas konstitusi negaranya, rakyat punya rasa ikut memiliki, bahwa konstitusi bukan hanya milik kaum elite dan politikus saja.
Pada kesempatan lain, Ketua MPR mengatakan, kajian tersebut tak hanya harus dilakukan dari berbagai aspek tetapi juga melibatkan seluruh pemangku kebijakan. Tujuannya agar keputusan mengamandemen konstitusi menjadi keputusan yang tepat bagi kemaslahatan bangsa Indonesia ke depan.
Demikian kurang lebih pidato Ketua MPR saat pelantikan Presiden, 2019.
Gaung masalah konstitusi merebak sampai menjadi obrolan wong cilik di kafe ataupun warung kopi. Wong cilik dalam pewayangan ada yang bernama ‘Punakawan’.
Semar, Gareng, Petruk dan Bagong, adalah ‘Punakawan’ dari Pendawa di dunia pewayangan, yang dalam artikel ini akan digunakan sebagai tokoh ‘imajiner’ dalam dialog, ngobrolin UUD 1945.
Semar yang dipanggil ‘Romo’ oleh Gareng (G), Petruk (P), Bagong (B) walau mereka bukan anaknya. Semar tokoh yang memiliki karakter sederhana, jujur, tulus, berpengetahuan, cerdas, cerdik dan memiliki mata batin yang tajam. Karena itulah Semar juga sering dimintai nasehat dan pendapat para ksatria Pendawa, begitu juga oleh Kresna, titisan Batara Whisnu.
G: Romo, ada ahli noto negoro bilang, jika kita Kembali ke UUD 45 itu tidak mungkin. Kita tidak bisa memuter balik arah jarum jam, kilahnya. Apa betul Romo?
Semar: Ahli noto negoro itu artinya apa ahli Hukum Tata Negara, to Reng? Siapa mereka itu?
G: Betul Romo, ahli Hukum Tata Negara. Maaf Romo, saya lupa, tetapi yang jelas mereka itu ada beberapa orang dan terlibat dalam amandemen. Banyak orang menyebut dialah ideolognya amandemen. Di sisi lain beliau sendiri suka mengangkat dirinya sebagai tokohnya, atau mbahnya amandemen.
Semar: Gareng anakku, paribasan itu perlu ‘papan dan waktu, empan mapan’. Kemarin si Petruk betulin jam rusak, jarumnya diputar balik, agar bunyi belnya jumlahnya cocok dengan angka yang ditunjuk. Nah, bisa dan boleh bukan? Agar jam jalannya bener, diputar balik ya boleh saja. Kita juga pernah mutar balik Konstitusi, Kembali ke UUD 1945, agar jalannya negara itu bener. Siapa yang ingat?
B: Bener Romo. Awal merdeka, kita pakai UUD 1945 terus UUD RIS, ganti UUDS 1950, balik ke UUD 1945 lewat Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Begitu juga pelajaran dasar waktu latihan Pramuka, dan Menwa, ada petunjuk, jika kamu sadar jalanmu kesasar, harus balik ke titik awal, dilanjutkan reorientasi sebelum melanjutkan jalan. Jika tidak balik ke titik awal, ya akan lebih bablas ke sasarnya.
G: Menurut Romo, apa jalan kita sekarang ini kesasar?
Semar: Banyak pakar dan tokoh yang menyebut demikian. Hal yang paling mendasar, disebutnya nilai-nilai Pancasila sudah tidak lagi dijadikan dasar lagi dalam pasal-pasal Konstitusi. Contoh riil dalam kehidupan bermasyarakat, dengan kita memilih format demokrasi dalam bentuk Pilpres dan Pilkada langsung, ternyata telah merobek Persatuan Indonesia, yang ditengarai terjadi disharmoni dalam masyarakat yang tiada hentinya.
P: Tetapi ada lagi lho Romo yang ngomong ‘jika pemilihan Presiden oleh MPR, itu artinya kemunduran’.
B: Oh ada yang lebih serem Romo, Presiden supaya 3 periode, ada lagi yang bilang 1 periode tetapi 7 tahun. Apa nggak bikin mumet?
Semar: Tole-tole anakku, pendapat seperti itu boleh saja, wong namanya pendapat. Tetapi, Romo berpendapat, itu patut diduga pemikiran sesaat dan gopoh, kepentingan pribadi atau kelompok. Berbeda banget dengan cara berpikirnya para ‘Founding fathers and mothers’ ketika akan mendirikan Indonesia Merdeka.
G: Begini aja Romo, agar saya, Petruk dan Bagong tidak tambah bingung, mbok Romo cerita saja, bagaimana penjelasan terhadap polemik-polemik yang menurut kuping anak-anak Romo ini, kok agak aneh. Piye Truk dan Bagong, setuju nggak?
P, B: Setuju Reng!! Monggo Romo jelaskan.
Semar: Tole -Tole anakku ngger bocah bagus, apa yang disampaikan Romo ini, ya cuma yang dimangerti Romo saja lho. Terkait, pikiran dan ajakan dari Gerakan Kebangkitan Indonesia (GKI) yaitu “Kembali ke UUD 1945 Asli, Untuk Disempurnakanâ€. Penyempurnaan dilakukan dengan cara adendum.
Pemikiran para penghuni Rumah Kebangkitan Indonesia (RKI), yang aktivitasnya bernama Gerakan Kebangkitan Indonesia (GKI) itu mengaplikasikan ilmu Tentara, Pramuka dan Menwa tadi. Jika kita merasa salah jalan, ya kembali dulu ke awal, UUD 1945, 18/8/1945.
Nah, untuk selanjutnya, jika kita ingin menyempurnakan, yuk mari kita sempurnakan, pada pasal-pasal tertentu saja, dengan cara memberikan tambahan pada UUD 1945 asli, yang disebut dengan ‘Adendum’. Berpikirnya harus secara jernih, dengan sasaran demi kemaslahatan bangsa dan negara, ke depan.
Dengan demikian, nilai-nilai, cita-cita dan tujuan yang disusun ‘founding fathers and mothers’ untuk berdirinya Indonesia Merdeka tetap lestari. Sekali lagi, adendum dipilih hanya demi kemaslahatan bangsa dan negara Indonesia, bukan kepentingan asing, kelompok, partai dan pribadi.
G: Romo kok bilang UUD 1945 Asli, apa ada yang palsu?
Semar: Gareng, saat sekarang ini konstitusi kita memakai hasil amandemen empat kali UUD 1945, dan namanya juga UUD 1945. Padahal, nilai-nilai, isi dan formatnya sangat berbeda dengan UUD 1945 yang disahkan PPKI pada 18 Agustus 1945. Sudah tahu tidak sama, tetapi diberi nama sama. Ibaratnya ada 2 lembar duit seratus ribuan, setelah dicocokkan ternyata tidak sama ciri-cirinya, maka mesti ada yang asli dan palsu bukan?
B: Wah, saya sekarang faham Romo. Intinya, jargon GKI bertujuan (1) mempertahankan nilai-nilai, cita-cita dan tujuan didirikannya Negara Indonesia Merdeka yang telah diletakkan oleh “Founding fathers and mothers†dan (2) jika dianggap perlu disempurnakan, boleh saja asal dengan cara adendum dan adendumnya demi kemaslahatan bangsa dan negara, bukan kepentingan kelompok dan pribadi ataupun asing.
G: Ajakan penghuni di Rumah Kebangkitan Indonesia itu sangat akomodatif. Mewadahi yang ingin nilai-nilai, cita-cita, tujuan dan jatidiri bangsa tetap lestari, juga mewadahi yang ingin menyempurnakan. Romo, jika ada asli tentu lawannya palsu dong. Apa Romo bisa menunjukkan dimana letak kepalsuannya?
Semar: Bagong, pemahamanmu sudah betul. Sedang kamu Gareng, untuk menjelaskan kepalsuan atau ketidaksamaan dengan UUD 1945 asli itu dibagian mana, lain waktu kita obrolkan tersendiri. Dugaan kepalsuan ini, sedang dalam proses hukum di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
Pasalnya, para aktivis dan advokat telah menggugatnya secara perdata. (Perkara No.592/Pdt.G/2019/PN.Jkt.Pst). Sidang sudah dilakukan beberapa kali, dan saat ini sudah masuk tahap mediasi. Karena waktu sudah saatnya untuk sholat Maghrib, obrolan kita teruskan besok. Terserah Gareng, Petruk dan Bagong besuk mau tanya apa.
B: Romo, besok saya tanya, apa bener pemikiran Kembali ke UUD 1945 asli itu bertujuan akan “menggabungkan lagi TNI dengan Polisi?â€.
Semar: Insya Allah, besok saya jelaskan. Hayo kita berangkat ke masjid untuk sholat.
Penulis adalah Aster KSAD (2006-2007), dan Wagub DKI Jakarta (2007-2012), mengelola Rumah Kebangkitan Indonesia.