Berita

Warga Rohingya berdesakkan untuk mendapatkan bantuan/ABC

Dunia

Lewat Resolusi, Majelis Umum PBB Kecam Keras Pelanggaran HAM Rohingya Di Myanmar

MINGGU, 29 DESEMBER 2019 | 10:40 WIB | LAPORAN: AMELIA FITRIANI

Majelis Umum PBB menyetujui resolusi yang mengecam keras pelanggaran hak asasi manusia terhadap kelompok muslim Rohingya di Myanmar.

Pelanggaran HAM yang dimaksud termasuk penangkapan sewenang-wenang, penyiksaan, pemerkosaan dan kematian dalam penahanan.

Badan dunia yang beranggotakan 193 negara itu memberikan suara dengan hasil 134 banding 9 dengan 28 abstain yang mendukung resolusi itu.

Resolusi yang sama juga menyerukan kepada pemerintah Myanmar untuk mengambil langkah-langkah mendesak untuk memerangi hasutan kebencian terhadap Rohingya dan minoritas lainnya di negara bagian Rakhine, Kachin dan Shan.

Meski begitu, resolusi Majelis Umum tersebut bersifat tidak mengikat secara hukum.

Duta Besar Myanmar untuk PBB, Hau Do Suan, menyebut resolusi PBB itu adalah contoh klasik standar ganda dan penerapan norma-norma hak asasi manusia yang selektif dan diskriminatif.

"(Resolusi) dirancang untuk mengerahkan tekanan politik yang tidak diinginkan pada Myanmar," ujarnya seperti dimuat ABC News akhir pekan ini.

Dia mengatakan resolusi itu tidak berusaha untuk menemukan solusi untuk situasi kompleks di negara bagian Rakhine.

"(Resolusi) akan menabur benih ketidakpercayaan dan akan menciptakan polarisasi lebih lanjut dari berbagai komunitas di wilayah ini," tambahnya.

Diketahui bahwa Myanmar yang mayoritas beragama Buddha telah lama menganggap Rohingya sebagai "orang Bengali" dari Bangladesh meskipun keluarga mereka telah tinggal di negara itu selama beberapa generasi.

Hampir semua warga Rohingya  telah ditolak kewarganegaraannya sejak 1982. Hal itu secara efektif membuat mereka menjadi orang tanpa kewarganegaraan. Bukan hanya itu, mereka juga ditolak kebebasan bergerak dan hak-hak dasar lainnya.

Krisis Rohingya sendiri telah lama membara dan mencapai puncaknya pada 25 Agustus 2017, ketika militer Myanmar melancarkan apa yang disebutnya kampanye pembersihan di Rakhine dalam menanggapi serangan oleh kelompok pemberontak Rohingya.

Kampanye tersebut menyebabkan eksodus massal Rohingya ke Bangladesh dan tuduhan bahwa pasukan keamanan melakukan perkosaan massal dan pembunuhan serta membakar ribuan rumah.

Meski begitu, baru pada November 2019 lalu, Gambia mengajukan sebuah kasus di Pengadilan Internasional yang menuduh Myanmar bertanggung jawab atas genosida, yang meliputi pembunuhan, yang menyebabkan kerusakan fisik dan mental yang serius, serta menimbulkan kondisi yang diperkirakan menyebabkan kehancuran fisik, memaksakan tindakan untuk mencegah kelahiran, dan transfer paksa terhadap minoritas.

Baik Gambia maupun Myanmar merupakan negara penandatangan Konvensi Genosida 1948, yang tidak hanya melarang negara melakukan genosida tetapi juga memaksa semua negara penandatangan untuk mencegah dan menghukum kejahatan genosida.

Pemimpin Myanmar Aung San Suu Kyi membela negaranya melawan tuduhan di pengadilan awal bulan ini, dan mengatakan Rohingya terperangkap dalam konflik internal bersenjata.

Populer

KPK Ancam Pidana Dokter RSUD Sidoarjo Barat kalau Halangi Penyidikan Gus Muhdlor

Jumat, 19 April 2024 | 19:58

Pendapatan Telkom Rp9 T dari "Telepon Tidur" Patut Dicurigai

Rabu, 24 April 2024 | 02:12

Megawati Bermanuver Menipu Rakyat soal Amicus Curiae

Kamis, 18 April 2024 | 05:35

Sekda Jabar akan Tindak Pelaku Pungli di Masjid Raya Al Jabbar

Rabu, 17 April 2024 | 03:41

Diungkap Pj Gubernur, Persoalan di Masjid Al Jabbar Bukan cuma Pungli

Jumat, 19 April 2024 | 05:01

Bey Machmudin: Prioritas Penjabat Adalah Kepentingan Rakyat

Sabtu, 20 April 2024 | 19:53

Pj Gubernur Ingin Sumedang Kembali jadi Paradijs van Java

Selasa, 23 April 2024 | 12:42

UPDATE

Samsung Solve for Tomorrow 2024, Momentum untuk Dorong Peningkatan Literasi Digital

Sabtu, 27 April 2024 | 11:48

Paguyuban Warung Madura: Harusnya Kami Dilindungi Bukan Diberangus!

Sabtu, 27 April 2024 | 11:36

PIS Sukses Tekan Emisi 25,4 Ribu Ton Setara CO2

Sabtu, 27 April 2024 | 11:18

Sam Altman hingga Sundar Pichai Gabung Dewan Keamanan AI Amerika Serikat

Sabtu, 27 April 2024 | 10:59

OASA Perkuat Modal di Anak Usaha Rp69 Miliar

Sabtu, 27 April 2024 | 10:41

Ilham Bintang: Prabowo Siap-Siap Beli Obat Anti Resah

Sabtu, 27 April 2024 | 10:37

Induk Perusahaan Google Bagi-bagi Dividen untuk Pertama Kali

Sabtu, 27 April 2024 | 10:29

KPU Sewa 8 Kantor Hukum Hadapi Perselisihan Pileg 2024

Sabtu, 27 April 2024 | 10:20

Blinken: Amerika Tidak Bermaksud Menghambat Tiongkok Lewat Pembatasan Ekspor Chip

Sabtu, 27 April 2024 | 10:18

Realisasi Anggaran untuk IKN Capai Rp4,3 Triliun per April 2024

Sabtu, 27 April 2024 | 10:02

Selengkapnya