Dubes Gary Quinlan bicara di diskusi JFCC/RMOL
Australia adalah negara pertama yang membangun hubungan dengan Republik Indonesia tak lama setelah kemerdekaan Republik Indonesia diproklamirkan.
Sekitar tujuh minggu setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945, Australia mengirimkan misi diplomatik ke Indonesia untuk bertemu dengan Presiden Sukarno.
Namun, pemimpin pasukan sekutu yang tengah mempersiapkan kedatangan kembali Belanda mengusir misi diplomatik itu, dan mendeportasi mereka ke Australia via Singapura dengan menggunakan pesawat militer.
Sebelum insiden itu, tiga pekan setelah proklamasi kemerdekaan, pekerja pelabuhan di Austarlia memboikot kapal-kapal Belanda yang sedang transit di Australia dalam perjalanan kembali ke Indonesia.
Begitu juga saat Belanda melancarkan agresi militer pertama pada Juli 1947, Australia mengajukan protes keras ke Dewan Keamanan PBB yang baru didirikan.
Ketika DK PBB mendirikan Good Offices Committee untuk menengahi konflik antara Indonesia dan Belanda, Bung Karno memilih Australia sebagai perwakilan di komite itu.
Setelah Belanda mengakui kedaulatan Indonesia pada Konferensi Meja Bundar di Den Haag, 27 Desember 1949, di hari itu juga Australia mengakui kemerdekaan dan kedaulatan Indonesia.
Selanjutnya, bersama India, Australia menjadi sponsor keanggotaan Indonesia di PBB.
Inilah beberapa fragmen yang disampaikan Dutabesar Australia Gary Quinlan, untuk memperlihatkan kualitas hubungan kedua negara saat mengawali presentasinya dalam diskusi yang digelar Jakarta Foreign Correspondent Club (JFCC) di Hotel Ayana, Midplaza, Jakarta, Rabu (17/11).
“Australia adalah pendukung terkuat Indonesia,†ujarnya.
Bukan hanya di masa lalu, namun juga di era kini. Kedubes Australia di Jakarta, sambungnya, adalah kedubes terbesar yang dimiliki Australia di negara sahabat. Ini memperlihatkan betapa bagi Australia, Indonesia memiliki arti yang sangat penting.
Dubes Quinlan juga mengatakan, saat ini kedua negara sedang mempersiapkan pondasi untuk lebih memantapkan dan meningkatkan kualitas hubungan.
Sejak tahun lalu telah diselesaikan dua draft perjanjian, yakni Comprehensive Strategic Partnership (CSP) dan Indonesia Australia Comprehensive Economic Partnership Agreement (IA CEPA).
Draft perjanjian CSP terkait kerjasama pada bidang ekonomi, keamanan dan pertahanan, maritim dan hubungan people to people, serta kerjasama untuk menciptakan kawasan Indo Pacific yang kondusif bagi kedua negara.
Sementara draft perjanjian IA CEPA bertujuan untuk mengembangkan partnership di antara kelompok bisnis, institusi dan individu kedua negara.
Draft ini diperlukan, sambungnya, karena walaupun Indonesia dan Australia adalah tetangga dekat, namun hubungan ekonomi kedua negara pada faktanya tidak begitu memadai (underdone).
Indonesia adalah partner dagang terbesar ke-13 bagi Australia, demikian juga sebaliknya. Sementara untuk tahun lalu volume perdagangan kedua negara hanya sebesar 17,6 miliar dolar dan investasi Australia di Indonesia hanya sebesar 6 miliar dolar.
Bagi Dubes Quinlan, ini adalah indikasi bahwa masih banyak hal yang harus dikerjakan untuk meningkatkan kualitas hubungan kedua negara.
Dalam sesi tanya jawab, salah seorang peserta diskusi sempat menanyakan sikap Australia terkait dengan perkembangan di Papua.
Dubes Quinlan mengatakan, pihaknya mengikuti dari dekat dan melakukan pembicaraan dengan pemerintah Indonesia.
Situasi di Papua tidak sederhana, melibatkan banyak faksi dan kelompok kepentingan. Ada kesan kuat, Australia percaya pada kemampuan Indonesia menghadapi situasi yang berkembang di lapangan.
“Kami mendukung kedaulatan dan integritas wilayah Indonesia,†demikian Dubes Quinlan.