Berita

Buruh pabrik/Net

Publika

Dilema UMP Dan UMK, Kapan Buruh Sejahtera?

SABTU, 23 NOVEMBER 2019 | 07:50 WIB

BURUH dan pengusaha sedang galau. Pasalnya, Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker) sedang meninjau skema pengupahan terhadap buruh di kabupaten/kota.

Tak tertutup kemungkinan nantinya semua wilayah di tingkat tersebut mengacu pada Upah Minimum Provinsi (UMP), bukan Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK).

Selama ini, acuan penetapan upah masih tetap menggunakan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 78 Tahun 2015.


Buah Simalakama

Kalangan buruh menolak keras rencana Menteri Ketenagakerjaan (Menaker) Ida Fauziyah tersebut. Bila wacana ini direalisasikan, UMK bakal dihapus dan hanya mengacu pada UMP. Hal ini akan merugikan kalangan buruh terutama bagi kabupaten atau kota yang selama ini punya UMK jauh di atas UMP.

Jika UMK ditiadakan, maka buruh di Karawang misalnya, yang selama ini upahnya 4,2 juta hanya mendapatkan upah 1,6 juta. Wacana tersebut, secara sistematis, dipandang akan memiskinkan kaum buruh.

Sementara itu para pengusaha justru keberatan dengan kenaikan UMP dan UMK yang rutin terjadi tiap tahun. Termasuk juga adanya Upah Minimum Sektoral Kabupaten/Kota (UMSK) yang lebih tinggi daripada UMP/UMK.

Kenaikan UMP/UMK akan menambah beban pengusaha. Sementara saat ini kondisi ekonomi dunia sedang buruk. Pengusaha akan mengkalkulasi, hasilnya bisa jadi pengurangan karyawan atau hengkangnya perusahaan ke tempat lain.

UMP/UMK bagai buah simalakama. Jika dimakan, mati emak. Jika tidak dimakan, mati bapak.

Jika UMP/UMK dinaikkan, buruh senang, tapi pengusaha susah. Buruh dan pengusaha selalu berada pada pendapat yang berbeda. Biasanya, pemerintah mencari aman dari demo buruh, sehingga memenuhi tuntutan buruh. UMP/UMK dinaikkan.

Namun fakta di lapangan, 70 persen perusahaan tidak menjalankannya. Lemahnya pengawasan pemerintah menjadikan praktik ini berjalan selama berpuluh tahun. Selalu ada pihak yang terzalimi.

Konsep UMP/UMK Salah dan Solusinya

Idealnya, semua menginginkan solusi untuk bersama. Buruh sejahtera, pengusaha berjaya.

Namun kepentingan buruh dan pengusaha tak akan pernah sinkron jika konsep upah minimum diterapkan dalam pengupahan. Upah minimum dihitung berdasarkan kebutuhan hidup minimum yang harus dipenuhi pekerja di suatu daerah. Bukan berdasar nilai pekerjaan yang dilakukan pekerja.

Akibatnya, buruh selalu dalam posisi taraf hidup minimum, jauh dari kata sejahtera.

Seharusnya, buruh diupah berdasar nilai pekerjaannya. Misalnya operator alat berat, dia diupah berdasar nilai pekerjaannya mengoperasikan alat berat. Sehingga pekerjaan yang berbeda akan mendapat upah yang berbeda.

Keahlian khusus semisal chef (kepala koki), mekanik pesawat terbang, desainer kapal tentu layak mendapat upah yang sesuai dengan kesulitan yang dialami ketika bekerja.

Jika demikian, pekerja akan puas karena jerih payahnya dihargai secara layak. Pengusaha juga puas karena telah mendapat jasa sesuai dengan biaya (upah) yang dikeluarkan. Tidak ada pihak yang terzalimi.

Pertanyaannya, bagaimana dengan jaminan kesehatan dan pendidikan bagi pekerja dan keluarganya? Dalam sistem kapitalisme, pemenuhan kebutuhan ini dibebankan pada pengusaha.

Jadilah pengusaha harus mengeluarkan dana besar untuk membiayai kesehatan dan pendidikan pekerja beserta keluarganya. Perusahaan harus mengasuransikan pekerjanya. Sementara negara berlepas tangan dari masalah ini.

Seharusnya negara berkewajiban memenuhi kebutuhan pokok kolektif rakyat, yakni pendidikan, kesehatan dan keamanan.

Negara harus mengelola kekayaan alam milik rakyat untuk sebesar-besarnya kepentingan rakyat. Negara wajib menyediakan layanan pendidikan, kesehatan dan keamanan yang berkualitas dan sekaligus gratis. Sehingga upah pekerja utuh, tidak dipotong biaya pendidikan dan kesehatan.

Sementara itu, rakyat laki-laki yang mampu harus bekerja demi memenuhi kebutuhan pokok individual yakni sandang, pangan dan papan. Jika ada orang-orang yang lemah fisik hingga tak mampu bekerja, mereka akan ditanggung negara.

Sistem UMP/UMK tidak akan pernah mewujudkan kesejahteraan bagi buruh. Maka butuh menerapkan sistem baru dalam hal pengupahan. Sehingga buruh dan pengusaha sama-sama sejahtera.

Ragil Rahayu
Komunitas Revo-ekonomi.

Populer

Ketika Kebenaran Nasib Buruh Migran Dianggap Ancaman

Sabtu, 20 Desember 2025 | 12:33

OTT KPK juga Tangkap Haji Kunang Ayah Bupati Bekasi

Jumat, 19 Desember 2025 | 03:10

Uang yang Diamankan dari Rumah Pribadi SF Hariyanto Diduga Hasil Pemerasan

Rabu, 17 Desember 2025 | 08:37

Adik Kakak di Bekasi Ketiban Rezeki OTT KPK

Senin, 22 Desember 2025 | 17:57

Kejagung Ancam Tak Perpanjang Tugas Jaksa di KPK

Sabtu, 20 Desember 2025 | 16:35

Kajari Bekasi Eddy Sumarman yang Dikaitkan OTT KPK Tak Punya Rumah dan Kendaraan

Sabtu, 20 Desember 2025 | 14:07

OTT Beruntun! Giliran Jaksa di Bekasi Ditangkap KPK

Kamis, 18 Desember 2025 | 20:29

UPDATE

Cetak Rekor 4 Hari Beruntun! Emas Antam Nyaris Tembus Rp2,6 Juta per Gram

Rabu, 24 Desember 2025 | 10:13

Saham AYAM dan BULL Masuk Radar UMA

Rabu, 24 Desember 2025 | 09:55

Legislator PKB Apresiasi Langkah Tegas KBRI London Laporkan Bonnie Blue

Rabu, 24 Desember 2025 | 09:44

Prabowo Bahas Kampung Haji dengan Sejumlah Menteri di Hambalang

Rabu, 24 Desember 2025 | 09:32

Pejabat Jangan Alergi Dikritik

Rabu, 24 Desember 2025 | 09:31

Saleh Daulay Dukung Prabowo Bentuk Tim Arsitektur Perkotaan

Rabu, 24 Desember 2025 | 09:26

Ribuan Petugas DLH Diterjunkan Jaga Kebersihan saat Natal

Rabu, 24 Desember 2025 | 09:21

Bursa Asia Bergerak Variatif Jelang Libur Natal

Rabu, 24 Desember 2025 | 09:13

Satu Hati untuk Sumatera: Gerak Cepat BNI & BUMN Peduli Pulihkan Asa Warga

Rabu, 24 Desember 2025 | 09:04

Harga Minyak Naik Jelang Natal

Rabu, 24 Desember 2025 | 08:54

Selengkapnya