Berita

Papua Barat/Net

Publika

Memisahkan Papua Barat Dari NKRI, Skenario Pecah Belah UNPO Dan ABDACOM

JUMAT, 30 AGUSTUS 2019 | 11:58 WIB

SETELAH Bangsa Indonesia menyatakan kemerdekaan pada 17 Agustus 1945, Belanda dan sekutunya dalam Perang Dunia II ABDACOM (American, British, Dutch, Australian Command), berusaha untuk menjajah Indonesia, bahkan ingin menghancurkan NKRI. Namun upaya mereka untuk menaklukkan RI dan TNI tidak berhasil.
 
Perang mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia melawan agresi militer Belanda berakhir dengan tercapainya kesepakatan dalam Konferensi Meja Bundar (KMB 23.8.-2.11.1949) di Fen Haag, Belanda tahun 1949 yang difasilitasi oleh PBB.

Namun Belanda dan sekutu serta antek-antek/kaki-tangannya di Indonesia tetap berusaha untuk memecah-belah Negara dan Bangsa Indonesia.
 

 
Selama berlangsungnya Perang Dingin (1947-1990/1991) antara kubu Komunis (Pakta Warsawa) dan kubu anti komunis (NATO), sejak tahun 1967, yaitu sejak berkuasanya rezim Orde Baru, Indonesia dikategorikan sebagai negara anti komunis, sehingga Indonesia "untuk sementara aman" dari upaya pecah-belah yang dilakukan oleh kubu NATO dimana negara-negara ABDA tergabung.
 
ABDACOM dibentuk di Asia Tenggara pada bulan Januari 1942, dalam rangka menghadapi agresi militer Jepang yang dimulai dengan penyerangan terhadap Pearl Harbor, Pangkalan AL Amerika Serikat di Hawaii pada 7 Desember 1941.
 
Jejak-jejak ABDACOM terlihat dalam UNPO (Unrepresented Nations and Peoples Organization) yang didirikan di Belanda pada 11 Februari 1991.
 
GAM keluar dari UNPO tahun 2005, setelah perjanjian Helsinki.

Setelah GAM keluar dari UNPO, Belanda membina generasi ketiga dari Aceh yang diberi nama ASNLF dan sejak tahun 2012 resmi menjadi anggota UNPO.

Dalam buku saya "Indonesia Tidak Pernah Dijajah", yang saya terbitkan pada bulan Desember 2017, telah saya tulis, bahwa setelah berhasil memisahkan Timor Timur dari NKRI, sasaran berikutnya untuk dipisahkan dari NKRI adalah Papua Barat.

Yang telah memiliki buku saya tersebut dapat membaca di pengantar (Sekapur Sirih), halaman viii-ix. Saya tulis a.l.:

"Setelah berakhirnya Perang Dingin antara blok barat yang anti komunis melawan blok timur yang komunis, tanggal 2 Februari 1991 di Belanda diresmikan berdirinya satu organisasi mirip PBB, yang dinamakan Unrepresented Nations and People Organization (UNPO).
 
Tujuannya, sebagaimana tertera dalam Anggaran Dasarnya adalah membantu "Negara-negara" anggotanya untuk mencapai kemerdekaan.
 
Yang telah menjadi anggota UNPO di hari peresmian UNPO tanggal 11 Februari 1991 a.l. Republik Maluku Selatan (RMS), Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan Organisasi Papua Merdeka (OPM). Menyusul Timor Timur bulan Januari 1993.
 
Terlihat jelas, bahwa tujuan didirikan UNPO di Belanda ini adalah untuk memecah-belah NKRI. Sejarah mencatat, bahwa Timor Timur telah berhasil dipisahkan dari NKRI.
 
Kelihatannya, sasaran berikut untuk dipisahkan dari NKRI adalah Papua Barat, dengan pola yang sama seperti cara memisahkan Timor Timur dari NKRI, yaitu diawali dengan membangun opini dunia internasional, bahwa Indonesia negara pelanggar HAM, yang melakukan kejahatan atas kemanusiaan.
 
Sangat ironis, bahwa negara yang ratusan tahun melakukan penjajahan, bahkan memperjual-belikan manusia sebagai budak, kini seolah-olah menjadi pendukung kemerdekaan kelompok-kelompok separatis di berbagai negara.
 
Sejak itu, Belanda dan beberapa negara Eropa dan Australia sangat gencar memojokkan Indonesia di dunia internasional dengan isu pelanggaran HAM, secara terstruktur, sistematis dan massif.
 
Upaya menghancurkan citra Indonesia di dunia internasional bahkan dibantu oleh tokoh-tokoh Indonesia sendiri. Puncaknya adalah, diselenggarakannya "Tribunal Internasional" di Den Haag, Belanda, tanggal 10-13 November 2005, yaitu dalam rangka 50 tahun peristiwa yang di Indonesia dikenal sebagai Gerakan 30 September/PKI (G30S/PKI).
 
Dalam sidang di "tribunal" tersebut, tokoh Indonesia yang dikenal di dunia internasional, bertindak sebagai "jaksa penuntut utama", dimana dia mendakwa "Negara Indonesia telah melakukan kejahatan atas kemanusiaan".

Demikian yang telah saya tulis di buku saya "Indonesia Tidak Pernah Dijajah".

Tokoh orang Indonesia tesebut adalah Prof. Dr. Todung Mulya Lubis. Dia bukan hanya bertindak sebagai "jaksa penuntut utama" di Tribunal Internasional di Den Haag, Belanda, melainkan juga salah satu koordinator terlaksananya "Tribunal Internasional di Belanda".
 
Prof. Todung M. Lubis tidak mendakwa institusi TNI sebagimana selama puluhan tahun dilakukan oleh negara-negara ABDA, melainkan dia mendakwa negara Indonesia. Berarti seluruh rakyat Indonesia dia dakwa telah melakukan kejahatan atas kemanusiaan, dengan membunuh sekitar 1 juta PKI.

Sidang Tribunal menjatuhkan "vonis" yang menyatakan bahwa negara Indonesia telah melakukan genosida terhadap PKI tahun 1965.

"Vnis Tribunal" tersebut disampaikan sebagai rekomendasi ke Dewan HAM PBB.

Demikian a.l. cara-cara untuk merusak citra Negara dan Bangsa Indonesia di dunia internasional yang juga dilakukan oleh orang-orang Indonesia.

Yang sangat mengherankan, Prof. Todung Lubis kemudian diangkat oleh Pemerintah Indonesia menjadi Duta Besar Republik Indonesia untuk Kerajaan Norwegia di Eropa Barat.

Selain telah saya tulis di buku saya yang terbit tahun 2017, pada tahun 2015 saya telah viralkan tulisan saya sehubungan dengan thesis/esei dari Samuel Huntington, "The Clash of Civilizations and the remakin of World Order".

Dalam artikel ini saya telah tulis a.l., bahwa insiden Santa Cruz di Timor Timur bulan November 1991, setahun setelah berakhirnya Perang Dingin, adalah suatu rekayasa. Dalam insiden tersebut, sekitar 200 penduduk Timor Timur tewas ditembak oleh ABRI.
 
Segera setelah kejadian tersebut, Amerika Serikat dan sekutunya melakukan embargo senjata terhadap Indonesia dengan tuduhan, Indonesia sebagai negara pelanggar HAM.

Selama Perang Dingin, boleh dikatakan 100 persen Alutsista (Alat Utama Sistem Pertahanan) Indonesia dipasok oleh Amerika Serikat dan negara-negara NATO lainnya. Akibat embargo persenjataan tersebut, sistem pertahanan Indonesia menjadi sangat lemah karena tidak adanya suku cadang untuk mengganti alutsista yang rusak.

Di buku saya telah saya tulis, bahwa pola yang digunakan untuk memisahkan Papua dari NKRI sama seperti cara memisahkan Timor Timur dari NKRI, yaitu diawali dengan membangun opini dunia internasional, bahwa Indonesia negara pelanggar HAM, yang melakukan kejahatan atas kemanusiaan.

Ini bukan saja telah dilakukan oleh Prof. Todung M. Lubis dkk bulan November 2015, melainkan juga oleh anggota parlemen Belanda yang sering melakukan "kunjungan kerja ke Indonesia untuk memantau perkembangan HAM dan "Duta Besar HAM" Belanda, Kees van Baar yang berkunjung ke Papua bulan Mei 2017.

"Dubes HAM" Belanda mengatakan, akan melaporkan pelanggaran HAM yang terjadi di Papua ke Dewan HAM PBB.

Sangat lucu, bangsa yang selama ratusan tahun dikenal sebagai pedagang budang terbesar, penjajah, pembantai massal/pembantai etnis (genosida), kini memiliki "Dubes HAM" dan mau mengajari dunia internasional mengenai HAM.

Harus diwaspadai agar eskalasi konflik tidak berujung pada insiden "Santa Cruz ke-2"

Kelihatannya ada skenario untuk mengkondisikan agar terjadi konflik vertikal dan horizontal yang akan mengakibatkan jatuhnya korban jiwa yang banyak di Papua, seperti yang terjadi di Santa Cruz, Timor Timur bulan November 1991.

Maka dunia akan mengecam Indonesia sebagai negara pelanggar HAM dan PBB serta negara-negara ABDA akan campur tangan.

Sejak tanggal 28 Agustus 2019, media-media internasional memberitakan konflik kekerasan di Papua yang telah mengakibatkan jatuhnya korban jiwa, termasuk seorang anggota TNI.

Kalau memang sungguh-sungguh ingin menyelesaikan konflik-konflik di Papua, RMS dan ASNLF (Aceh Sumatera Nasional Liberation Front), maka yang harus ditekan dan dilawan adalah negara-negara ABDA, terutama Belanda.

Yang harus dibasmi adalah antek-antek dan kaki tangan mereka di Indonesia!

Bangsa Indonesia harus mewaspadai upaya adu domba, agar tidak terjadi konflik hirizontal seperti yang diinginkan "sutradara" konflik Papua!

Batara R. Hutagalung

Penulis adalah peneliti sejarah. Artikel ini ditulis tahun 2015 dan dibagikan kembali di bulan Mei 2018. Kembali dipublikasikan karena dinilai memiliki nilai aktualitas yang tinggi dan penting.

Populer

Ketika Kebenaran Nasib Buruh Migran Dianggap Ancaman

Sabtu, 20 Desember 2025 | 12:33

OTT KPK juga Tangkap Haji Kunang Ayah Bupati Bekasi

Jumat, 19 Desember 2025 | 03:10

Uang yang Diamankan dari Rumah Pribadi SF Hariyanto Diduga Hasil Pemerasan

Rabu, 17 Desember 2025 | 08:37

Kejagung Ancam Tak Perpanjang Tugas Jaksa di KPK

Sabtu, 20 Desember 2025 | 16:35

OTT Beruntun! Giliran Jaksa di Bekasi Ditangkap KPK

Kamis, 18 Desember 2025 | 20:29

Kajari Bekasi Eddy Sumarman yang Dikaitkan OTT KPK Tak Punya Rumah dan Kendaraan

Sabtu, 20 Desember 2025 | 14:07

Tamparan bagi Negara: WNA China Ilegal Berani Serang Prajurit TNI di Ketapang

Sabtu, 20 Desember 2025 | 09:26

UPDATE

DAMRI dan Mantan Jaksa KPK Berhasil Selamatkan Piutang dari BUMD Bekasi

Selasa, 23 Desember 2025 | 14:12

Oggy Kosasih Tersangka Baru Korupsi Aluminium Alloy Inalum

Selasa, 23 Desember 2025 | 14:09

Gotong Royong Penting untuk Bangkitkan Wilayah Terdampak Bencana

Selasa, 23 Desember 2025 | 14:08

Wamenkum: Restorative Justice Bisa Diterapkan Sejak Penyelidikan hingga Penuntutan

Selasa, 23 Desember 2025 | 14:04

BNI Siapkan Rp19,51 Triliun Tunai Hadapi Libur Nataru

Selasa, 23 Desember 2025 | 13:58

Gus Dur Pernah Menangis Melihat Kerusakan Moral PBNU

Selasa, 23 Desember 2025 | 13:57

Sinergi Lintas Institusi Perkuat Ekosistem Koperasi

Selasa, 23 Desember 2025 | 13:38

Wamenkum: Pengaturan SKCK dalam KUHP dan KUHAP Baru Tak Halangi Eks Napi Kembali ke Masyarakat

Selasa, 23 Desember 2025 | 13:33

Baret ICMI Serahkan Starlink ke TNI di Bener Meriah Setelah 15 Jam Tempuh Medan Ekstrim

Selasa, 23 Desember 2025 | 13:33

Pemerintah Siapkan Paket Diskon Transportasi Nataru

Selasa, 23 Desember 2025 | 13:31

Selengkapnya