Berita

Ilustrasi/Net

Muhammad Najib

Membandingkan Selat Hormuz Kini Dengan Terusan Suez Tahun 1956

SENIN, 12 AGUSTUS 2019 | 21:31 WIB | OLEH: DR. MUHAMMAD NAJIB

TERUSAN Suez memiliki nilai strategis secara ekonomi bagi dunia internasional. Hal ini disebabkan karena seluruh kapal-kapal baik yang mengangkut minyak, atau barang pada umumnya, serta manusia  yang menghubungkan negara-negara di benua Eropa, Afrika, Amerika, Australia maupun Asia harus melewati Terusan ini.

Terusan Suez juga memiliki nilai strategis secara militer, karena kapal-kapal perang dari lima benua baik saat perang maupun damai juga harus melalui rute ini.

Inggris yang saat itu mengoperasikan terusan Suez mendapatkan keuntungan besar baik secara ekonomi maupun militer. Gamal Abdel Nasser yang baru dua tahun menjabat sebagai Presiden Mesir, melihat keuntungan yang diterima Mesir tidak sepadan dibanding yang dinikmati Inggris.

Gamal Abdel Nasser lalu menasionalisasi terusan strategis ini pada 1956. Hal ini membuat Inggris marah. Bersama Perancis dan Israel, Inggris lalu mengobarkan perang terhadap Mesir.

Tentara Mesir yang dikeroyok tiga negara terdesak, akan tetapi Nasser tidak mau menyerah, dan terus mengobarkan perlawanan jangka panjang untuk mengusir penjajah dari negerinya.

Berkat dukungan penuh rakyat Mesir, lalu banyak negara terutama Amerika Serikat dan PBB menekan Inggris, Perancis, dan Israel untuk menghentikan perang. Lebih dari itu, Terusan Suez lalu diserahkan ke pangkuan Mesir.

Para pengamat menyebut meskipun secara militer Mesir kalah, akan tetapi secara politis Mesir dinyatakan keluar sebagai pemenang.

Rahasia dari kemenangan Mesir disebabkan adanya dua faktor:  Pertama, karena rakyat Mesir bersatu dalam membela kebijakan yang diambil pemerintahnya. Dengan demikian tidak ada celah bagi negara lain untuk menggunakan instrumen politik, untuk mengganti penguasa di sana. Sekiranya rakyat Mesir tidak kompak, apalagi muncul kelompok yang tergoda untuk mengambilalih kekuasaan dengan memanfaatkan dukungan asing, tentu kemenangan tidak akan pernah diraihnya.

Kedua, negara-negara lain di dunia membela Mesir, lebih disebabkan keinginannya agar Terusan Suez segera aman untuk dilalui kapal-kapal mereka. Karena jika Terusan Suez tidak aman, apalagi tidak bisa dilalui dalam jangka waktu yang lama, tentu mereka akan menanggung kerugian yang amat besar.

Kini Selat Hormuz memiliki nilai strategis baik secara ekonomi maupun militer, menyerupai terusan Suez pada tahun 1956. Sekitar 17,2 juta barrel atau seperenam kebutuhan minyak mentah dunia, dan sepertiga gas  alam cair dunia berasal dari negara-negara di kawasan Teluk, yang harus diangkut dengan tanker-tanker raksasa melewati Selat Hormuz.

Karena itu, pemerintah di Teheran harus belajar dari pengalaman Mesir untuk mendapatkan dukungan internasional untuk mengusir negara-negara yang sedang mengkonsolidasi kekuatan militernya untuk mengeroyok Iran.

Di antara negara-negara yang potensial mendukung Iran saat ini adalah Rusia dan China. Negara-negara lain yang sudah menyatakan menolak untuk diajak mengeroyok Iran adalah Jerman, Jepang, dan Spanyol.

Sejauh ini, Rusia selalu bersebrangan dengan Amerika dan Israel di Timur Tengah, baik secara politik maupun Militer.  Bahkan di Suriah sampai saat ini, Rusia bersama Iran bekerjasama dalam membela pemerintah di Damaskus yang dipimpin oleh Basyar Al Assad. Sementara Amerika dan Israel mendukung para pemberontak yang ingin menggulingkannya.

Sementara China banyak bersebrangan dengan Amerika dalam masalah ekonomi. Negara dengan kekuatan ekonomi terbesar kedua di dunia ini, juga tidak mau tunduk dengan sangsi unilateral yang dijatuhkan Washington terhadap Teheran.

Pertanyaannya kini, apakah rakyat Iran siap untuk menderita akibat sanksi ekonomi yang dijatuhkan Amerika dan sekutunya, serta solid untuk mendukung rezim yang berkuasa saat ini ?

Amerika pernah berhasil menggulingkan pemerintahan demokratis yang dipilih rakyat Iran yang dipimpin oleh Perdana Mentri Mohammad Mossadegh pada 1953, lalu menggantinya dengan rezim boneka yang dipimpin oleh Syah Reza Pahlevi.
Penulis adalah Pengamat Politik Islam dan Demokrasi


Populer

Jaksa Agung Tidak Jujur, Jam Tangan Breitling Limited Edition Tidak Masuk LHKPN

Kamis, 21 November 2024 | 08:14

MUI Imbau Umat Islam Tak Pilih Pemimpin Pendukung Dinasti Politik

Jumat, 22 November 2024 | 09:27

Kejagung Periksa OC Kaligis serta Anak-Istri Zarof Ricar

Selasa, 26 November 2024 | 00:21

Rusia Siap Bombardir Ukraina dengan Rudal Hipersonik Oreshnik, Harga Minyak Langsung Naik

Sabtu, 23 November 2024 | 07:41

Ini Identitas 8 Orang yang Terjaring OTT KPK di Bengkulu

Minggu, 24 November 2024 | 16:14

Sikap Jokowi Munculkan Potensi konflik di Pilkada Jateng dan Jakarta

Senin, 25 November 2024 | 18:57

Waspadai Partai Cokelat, PDIP: Biarkan Rakyat Bebas Memilih!

Rabu, 27 November 2024 | 11:18

UPDATE

Sukses Amankan Pilkada, DPR Kasih Nilai Sembilan Buat Kapolri

Jumat, 29 November 2024 | 17:50

Telkom Innovillage 2024 Berhasil Libatkan Ribuan Mahasiswa

Jumat, 29 November 2024 | 17:36

DPR Bakal Panggil Kapolres Semarang Imbas Kasus Penembakan

Jumat, 29 November 2024 | 17:18

Pemerintah Janji Setop Impor Garam Konsumsi Tahun Depan

Jumat, 29 November 2024 | 17:06

Korsel Marah, Pesawat Tiongkok dan Rusia Melipir ke Zona Terlarang

Jumat, 29 November 2024 | 17:01

Polri Gelar Upacara Kenaikan Pangkat, Dedi Prasetyo Naik Bintang Tiga

Jumat, 29 November 2024 | 16:59

Dubes Najib Cicipi Menu Restoran Baru Garuda Indonesia Food di Madrid

Jumat, 29 November 2024 | 16:44

KPU Laksanakan Pencoblosan Susulan di 231 TPS

Jumat, 29 November 2024 | 16:28

Kemenkop Bertekad Perbaiki Ekosistem Koperasi Kredit

Jumat, 29 November 2024 | 16:16

KPK Usut Bau Amis Lelang Pengolahan Karet Kementan

Jumat, 29 November 2024 | 16:05

Selengkapnya