Joko Widodo dan Shinzo Abe/Net
Dibandingkan para pemimpin negara lain, durasi Perdana Menteri Jepang, Shinzo Abe bertemu Presiden Jokowi di Konferensi Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G20 memang terbilang singkat, hanya satu menit.
Direktur Jenderal Kerja Sama Multilateral Kementerian Luar Negeri (Kemlu) Febrian Ruddyard menjelaskan, sebetulnya jelang keberangkatan ke Jepang, PM Abe dan Presiden Jokowi sepakat untuk bertemu khusus membicarakan hubungan bilateral kedua negara.
Tapi karena ada kegiatan berkaitan persidangan di Mahkamah Konstitusi ketika itu, sehingga Presiden Jokowi tiba pada Jumat (28/6).
"Bapak Presiden Jokowi baru bisa berangkat ke Osaka tanggal 27 Juni malam, dan tiba tanggal 28 Juni pagi dan langsung menuju acara G 20,†ujar Febrian kepada
Kantor Berita RMOL, Rabu (3/7).
Akhirnya rencana awal pada Kamis (27/6), pertemuan dua kepala negara terpaksa dijadwal ulang. Mengetahui ada perubahan itu, Menteri Luar Negeri RI Retno Marsudi langsung melakukan pertemuan dengan Menlu Jepang Taro Kono.
"Sehari sebelumnya pada 27 Juni, Menlu RI adalah menlu pertama yang lakukan pertemuan bilateral dengan menlu Jepang, hampir sejam, bahas berbagai isu bilateral," ujarnya.
Sebagai tuan rumah, PM Abe sudah terjadwal memimpin KTT G20 pada 28-29 Juni, makanya pertemuan dengan Presiden Jokowi hanya bisa sebentar.
“Presiden tiba di Osaka 28 Juni pagi, hanya beberapa jam sebelum KTT mulai, sehingga tidak memungkinkan untuk lakukan pertemuan bilateral dengan Jepang," tegasnya.
Termasuk dengan pimpinan negara lain karena waktu terbatas.
“Beberapa pertemuan juga harus disesuaikan lagi mengingat jadwal masing-masing pemimpin yang sangat ketat,†jelasnya.
Meskipun tidak bertemu secara bilateral formal, ada dua pesan utama dalam pembicaraan singkat Jokowi dengan PM Abe.
"Dua message utama yang dibahas Presiden dan PM Jepang adalah mengenai general review IJEPA (Perjanjian Kerja Sama Ekonomi Jepang-Indonesia) dan RCEP (Kerja Sama Ekonomi Komprehensif Regional),†sebutnya.
Febri menambahkan, selain dengan Jepang, Indonesia juga menerima banyak permintaan bilateral yang harus diatur kembali.