Berita

Foto: Net

Publika

Hakim, Hikmah Dan Mahkamah

SENIN, 24 JUNI 2019 | 09:14 WIB

SEPEKAN belakangan, seiring persidangan hasil Pemilu di Mahkamah Konstitusi (MK), maka beberapa diksi menjadi berseliweran ke hadapan publik.

Menengahi perselisihan yang terjadi, maka posisi hakim menjadi perhatian penting dari sorotan mata penduduk negeri ini. Termasuk di antaranya, melakukan pembahasan, terkait fungsi dan kewenangan terkaitnya. Publik, mendadak menjadi pengamat hukum, seolah mengikuti arus informasi yang dikonsumsinya.

Individu menjadi pengamat amatir atas motivasi, perilaku, dan pola perilaku para pihak yang tengah berhadapan tersebut. Dalam posisinya tersebut, berlaku aspek atribusi. Di mana, ada potensi bias dalam memahami orang lain dengan menggunakan perspektif subjektif.


Terlebih, ketika perilaku pihak lain bertentangan dengan keyakinan yang dimiliki oleh individu tersebut. Prasangka kerap menjadi dasar asumsi. Dengan begitu kelompok pendukung menjadi mudah untuk menjatuhkan stereotype bagi pihak lain.

Berdasarkan situasi sedemikian, maka hakim menjadi tumpuan dalam menegakkan keadilan dengan mempertimbangkan kebenaran. Tentu sikap dan independensi para pengadil ini, tidak berada di ruang yang kosong, koridor konstitusi menjadi pemandu utamanya, sembari memverifikasi keterangan melalui saksi dan bukti.

Memaknai Penengah


Secara semantik hakim adalah pemberi solusi, diberi kewenangan untuk menyelesaikan masalah dengan keputusan final yang tidak dapat diganggu gugat. Otoritas mutlak diserahkan pada pundaknya. Jelas bukan sebuah tugas yang ringan, justru maha berat.

Pondasi yang dijadikan dasar berpikir, bertindak terutama dalam mencermati, menimbang dan memutuskan, adalah pada kumpulan fakta yang diberi catatan sebagai data penguat, alias bukti.

Seorang hakim berkedudukan tinggi, maka tidak heran pada sebuah mahkamah sebagai tempat dan ruang bersidang, dilengkapi dengan meja dan kursi hakim yang lebih tinggi dari pemohon, termohon dan saksi serta pengunjung.

Dalam arti semiotik, hakim menggunakan seluruh kebesaran dan kehormatannya untuk bisa melihat dari ketinggian seluruh pihak yang berperkara, serta menjamin terlindunginya seluruh hak tidak terkecuali.

Pada mitologi Yunani ada Dewi Themis, serta Justisia secara identik digambarkan berpenutup mata, membawa timbangan dan pedang sebagai simbolisasinya. Hal tersebut melambangkan sikap adil tanpa pandang bulu, dengan mengadopsi keberimbangan, guna menjaga ketertiban serta keteraturan.

Sang hakim dalam memutuskan sebuah perkara, harus mampu mengambil hikmah sebagai pijakan. Hikmah sendiri adalah kearifan dan kebijaksanaan yang hakiki sebagai esensi mendalam. Dibutuhkan upaya keras seorang hakim pada sebuah mahkamah, untuk mencapai hikmah kebenaran.

Publik Pembelajar

Disisi lain, realitas yang terjadi dan dipertontonkan kepada publik kali ini, semakin melengkapi proses pendidikan politik di tanah air. Pemilihan langsung adalah wujud dari representasi atas partisipasi publik. Dan setiap proses dari pelaksanaan Pemilu, termasuk sengketa di dalamnya, menjadi tahapan pembelajaran penting.

Dalam perkembangan psikologi, diperkenalkan oleh Albert Bandura konsep pembelajaran sosial, melalui eksperimentasi Bobo Doll. Bahwa melalui paparan dalam interaksi fisik, seorang anak beradaptasi dengan lingkungan melalui pengamatan, termasuk merepetisi tindakan kekerasan kepada Bobo Doll.

Jika proses politik dalam kehidupan bernegara kali ini mampu disikapi dengan arif dan bijaksana, yang saat ini disandarkan kepada para hakim akan memutuskan perkara melalui hikmah yang didapat melalui mata hati terdalam, bukan sekedar mata kepala.  

Karena, momentum yang kini menjadi perhatian publik ini, tidak hanya akan menjadi bagian dari sejarah kehidupan bernegara, tetapi sekaligus dapat menjadi catatan pelajaran publik, layaknya bangunan teori Bandura mengenai Bobo Doll.

Memori publik, akan menyimpan dan mempelajari apa yang akan terjadi di hari-hari mendatang, jelang penetapan hasil keputusan para hakim. Kita tentu berharap, hikmah yang mulia dapat diformulasikan melalui kerangka logika, etika dan estetika, melalui dasar nilai dalam konstitusi kita bersama.

Terang bahwa apapun hasilnya nanti, kita akan sangat menghormati dan menerimanya. Kini, sang Hakim yang harus mampu membuktikan hal itu



Yudhi Hertanto

Program Doktoral Ilmu Komunikasi Universitas Sahid

Populer

Ketika Kebenaran Nasib Buruh Migran Dianggap Ancaman

Sabtu, 20 Desember 2025 | 12:33

OTT KPK juga Tangkap Haji Kunang Ayah Bupati Bekasi

Jumat, 19 Desember 2025 | 03:10

Uang yang Diamankan dari Rumah Pribadi SF Hariyanto Diduga Hasil Pemerasan

Rabu, 17 Desember 2025 | 08:37

OTT Beruntun! Giliran Jaksa di Bekasi Ditangkap KPK

Kamis, 18 Desember 2025 | 20:29

Tamparan bagi Negara: WNA China Ilegal Berani Serang Prajurit TNI di Ketapang

Sabtu, 20 Desember 2025 | 09:26

Kejagung Ancam Tak Perpanjang Tugas Jaksa di KPK

Sabtu, 20 Desember 2025 | 16:35

Tunjuk Ara di Depan Luhut

Senin, 15 Desember 2025 | 21:49

UPDATE

Perbankan Nasional Didorong Lebih Sehat dan Tangguh di 2026

Senin, 22 Desember 2025 | 08:06

Paus Leo XIV Panggil Kardinal di Seluruh Dunia ke Vatikan

Senin, 22 Desember 2025 | 08:00

Implementasi KHL dalam Perspektif Konstitusi: Sinergi Pekerja, Pengusaha, dan Negara

Senin, 22 Desember 2025 | 07:45

FLPP Pecah Rekor, Ribuan MBR Miliki Rumah

Senin, 22 Desember 2025 | 07:24

Jaksa Yadyn Soal Tarik Jaksa dari KPK: Fitnah!

Senin, 22 Desember 2025 | 07:15

Sanad Tarekat PUI

Senin, 22 Desember 2025 | 07:10

Kemenkop–DJP Bangun Ekosistem Data untuk Percepatan Digitalisasi Koperasi

Senin, 22 Desember 2025 | 07:00

FDII 2025 Angkat Kisah Rempah Kenang Kejayaan Nusantara

Senin, 22 Desember 2025 | 06:56

Polemik Homebase Dosen di Indonesia

Senin, 22 Desember 2025 | 06:30

KKP Bidik 35 Titik Pesisir Indonesia Buat KNMP Tahap Dua

Senin, 22 Desember 2025 | 05:59

Selengkapnya