FENOMENA "hijrah" anak-anak muda dan para selebriti akhir-akhir ini menjadi semacam tren gaya hidup atau life style. Tentu semua ini harus disyukuri dan disambut sebagai sebuah indikasi meningkatnya religiusitas, atau adanya pergeseran nilai ke arah yang positif di kalangan generasi muda di masyarakat kita.
Sebelumnya sudah muncul fenomena serupa bahkan di wilayah yang lebih substansial, seperti penggunaan jilbab di kalangan remaja putri terkait dengan busana, makanan halal terkait konsumsi, bank syariah dalam ekonomi dan bisnis, rumah sakit Islam untuk kesehatan, dan sekolah Islam serta perguruan tinggi Islam atau universitas Islam untuk bidang pendidikan.
Berbicara masalah ekonomi, kesehatan, makanan, dan pendidikan memerlukan keseriusan, ketekunan, kesabaran, serta indurensi yang bahkan memerlukan dua atau tiga generasi untuk bisa melihat hasilnya. Karena itu tidak berlebihan jika hal ini ditempatkan sebagai medan-medan jihad dalam dakwah.
Sejak Reformasi tahun 1998, tampaknya hanya mode busana Islami di kalangan remaja putri, dan produk makanan halal yang berkembang. Sementara dunia ekonomi, kesehatan, dan pendidikan seperti jalan di tempat. Para aktivis dan tokoh agama, tersita perhatian dan energinya untuk urusan politik, yang nampak lebih seksi dan menawarkan popularitas dalam waktu singkat. Akibatnya proyek-proyek ekonomi, kesehatan, dan pendidikan banyak yang terbengkalai.
Dalam bidang kesehatan dan pendidikan, Indonesia kalah Islami dibanding negara mini tetangga kita yang bernama Singapura. Padahal Singapura bukan negara Muslim, jika dilihat dari mayoritas penduduknya. Sementara dalam bidang ekonomi mungkin agak sulit dibandingkan, mengingat jumlah penduduk dan wilayahnya yang sangat berbeda. Akan tetapi sejak China menjelma menjadi raksasa ekonomi dunia, maka negara luas dengan penduduk besar tidak bisa lagi menjadi alasan, ketika gagal membangun ekonomi negara sekaligus memakmurkan penduduknya.
Dengan fakta-fakta ini, tidak berlebihan jika dikatakan Indonesia dan mayoritas negara-negara Muslim tertinggal dalam masalah peradaban dibanding banyak negara non-Muslim, mengingat kehidupan ekonomi, pendidikan, dan kesehatan merupakan bagian dari pilar-pilar peradaban, selain masalah hukum dan politik.
Sebenarnya dunia seni dan budaya juga merupakan bagian dari pilar peradaban. Sayang sebagian besar dunia Islam menelantarkannya, baik dengan alasan syar'i atau dianggap barang mewah yang belum menjadi prioritas. Padahal dunia seni baik dalam bentuk tari, musik, lukis dan sebagainya dapat membentuk dan menghaluskan akal-budi. Sementara pembangunan budaya, tidak bisa dilepaskan dari etos kerja dan cara pandang terhadap hidup dan kehidupan. Budaya disiplin, taat hukum, penghormatan terhadap hak orang lain tidak bisa dilepaskan dari aspek budaya. Karena itu seni dan budaya, tidak boleh diabaikan dalam membangun peradaban bangsa.
Mungkin karena kurangnya wawasan, atau dangkalnya faham keagamaan kebanyakan tokoh-tokoh Islam, telah mengakibatkan masalah-masalah besar dan substansial terkait dengan pilar-pilar peradaban belum mendapat perhatian yang memadai. Karena itu, belum nampak adanya upaya yang serius untuk mengarahkan gejala "hijrah" yang ada, sehingga berhenti sampai pada tataran simbolis dan asesoris, seperti janggut dan serban pada laki-laki, atau tutup mulut dan hidung di kalangan perempuan yang di Afghanistan disebut burka, atau niqab di dunia Arab.
Pakaian, makanan, atau gaya hidup, mungkin saja memberikan suasana batin yang berbeda dan dirasakan lebih Islami bagi komunitas tertentu, akan tetapi harus disadari itu hanya menyentuh wilayah permukaan atau kulit, belum masuk wilayah isi atau substansi, sebagaimana semangat Al Qur'an dan Sunnah.
Jika ummat Islam ingin maju dalam arti sebenarnya, maka kita harus masuk ke wilayah substansial yang masuk kategori pilar-pilar peradaban. Wilayah ini memerlukan
effort yang besar disertai perjuangan, dan bukan mustahil memerlukan pengorbanan. Jihad di wilayah ini juga memerlukan instrumen penguasaan sains dan teknologi, riset yang kuat, dan perguruan tinggi yang bermutu, serta sumber daya manusia yang berkualitas.
Semoga para pemuka dan pemimpin ummat segera menyadarinya, kemudian istikamah, dan kembali ke jalan yang benar. Wallahu A'lam.
Penulis adalah Pengamat Politik Islam dan Demokrasi