Berita

Mahkamah Konstitusi/Net

Publika

Kembalikan Wibawa Dan Marwah Mahkamah Konstitusi

SABTU, 25 MEI 2019 | 17:26 WIB

TIM Kuasa Hukum pasangan Calon Presiden dan Calon Wakil Presiden  Prabowo-Sandiga Uno akhirnya mengajukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi.

Pengajuan gugatan sebagai upaya hukum atas penetapan hasil pemilihan presiden dan wakil presiden oleh KPU yang memenangkan pasangan Joko Widodo-Maruf Amin. Gugatan ke Mahkamah Konstitusi ini pada hari terakhir batas pengajuan gugatan yang disyaratkan.

Pengajuan gugatan ini memastikan spekulasi atau informasi yang beredar di tengah masyarakat beberapa hari sebelum penetapan hasil Pilpres 2019 oleh KPU, bahwa jika hasil penetapan KPU tidak sesuai dengan klaim perolehan suara yang dimiliki oleh pasangan capres 02, maka mereka tidak akan menempuh upaya hukum ke Mahkamah Konstitusi.

Secara jujur, sungguh sangat mengejutkan mendengar berita dan informasi tersebut. Sebab apa alasannya pasangan capres 02 tidak mau mengajukan upaya hukum ke MK? Padahal upaya hukum ke MK adalah salah satu jalan yang sangat tepat dan konstitusional untuk membuktikan kepastian hukum atas klaim kemenangan yang diperoleh oleh pasangan capres 02 selama ini.

Pertanyaan yang mengusik publik adalah apakah memang MK sudah tidak dipercaya lagi oleh masyarakat? Sehingga masyarakat enggan menyelesaikan masalahnya di lembaga pengawal konstitusi tersebut? Apakah semua itu akibat beberapa kasus korupsi yang pernah menimpa hakim konstitusi?

Alasan yang dikemukakan oleh tim BPN untuk tidak mengajukan gugatan ke MK menguji penetapan hasil pilres 2019 oleh KPU tersebut disebabkan terdapat pola pikir yang selama ini dianut oleh hakim MK dalam memutus sengketa perselisihan suara.

Bahwa MK sama-sekali tidak peduli dengan pemilu yang jujur dan adil. Banyaknya bukti kecurangan bukan menjadi faktor yang menentukan dalam memenangkan suatu gugatan di MK. Yang dibutuhkan adalah bukti yang relevan dengan penambahan atau pengurangan suara, yang secara signifikan bisa mengubah hasil pemilu. Bahkan bila selisih suara itu banyak, maka hampir pasti menjadi kendala besar untuk bisa memenangkan gugatan MK.

Pandangan tersebut mengandung pemahaman bahwa jika terdapat bukti-bukti kecurangan seperti politik uang, pengerahan aparat negara, penggelembungan DPT, ketidak-netralan polisi dan PNS, manipulasi situng yang diajukan penggugat menjadi tidak penting menurut pemahaman para hakim pengawal konstitusi di MK.

Betapapun banyaknya bukti-bukti  yang diajukan tidak akan berpengaruh terhadap hasil suara. Hakim MK seakan buta dan tidak mau peduli dengan penyelenggara pemilu yang tidak jujur dan tidak adil, yang mengakibatkan kondisi dan situasi yang merugikan salah satu pihak atau Paslon. Anggapannya bahwa kejujuran dan keadilan dalam pemilu sama sekali bukan urusan pengadilan di MK.

Jika demikian adanya cara pandang para hakim MK dalam mengadili perkara sengketa pemilu, maka bagi putra-putri terbaik bangsa yang tidak punya niat untuk berbuat curang, jangan pernah ikut kompetisi di pemilu.

Begitu juga dengan mereka yang tidak punya ilmu dan kemampuan untuk berbuat curang, juga jangan berniat ikut pemilu. Kalaupun terpaksa ikut pemilu, maka anda harus menganggap bahwa MK tidak pernah ada di bumi Indonesia.

Pemahaman semacam inilah yang membuat Tim BPN Brabowo-Sandi enggan mengajukan gugatan ke MK. Terlebih lagi ada pengalaman buruk dalam penyelesaian sengketa pilpres tahun 2014 dan beberapa sengketa pilkada. Hakim MK mengeyampingkan bukti-bukti kecurangan yang diajukan saat sidang penyelesaian sengketa tersebut.

Pada posisi ini tanpa alasan logis, hakim MK hanya membatasi kewenangannya dalam sengketa pemilu pada aspek hitung suara saja. MK hanya memperhitungkan bukti-bukti yang berkaitan langsung dengan suara.

Mengutip sebuah tulisan yang ditulis oleh Radhar Trubaskoro yang dimuat dalam media online surajakarta.com bahwa, kalau anda bisa membuktikan bahwa KPPS telah mencuri 100 suara anda, baru MK tergerak untuk mengembalikan 100 suara itu. Nah, disinilah muncul kendala yang besar bagi pihak yang mau berperkara di MK. Sebab MK sudah berubah menjadi lembaga penghitung suara.

Lebih lanjut Radhar menjelaskan bahwa, Jika pihak yang kalah 9.000.000 suara, dan menurutnya suara tersebut dicuri 100 per TPS, maka pihak tersebut harus menghadirkan 90.000 anggota KPPS yang mau bersaksi atas pencurian itu. MK tidak akan memproses gugatan pihak penggugat jika penggugat hanya menghadirkan 89.999 saksi.

Jadi sekalipun penggugat memiliki 89.999 saksi yang membuktikan bahwa penggugat telah dicurangi, MK akan tetap memenangkan lawan atau pihak tergugat.

Kontruksi berpikir dan pemahaman semacam ini patut disayangkan. Sebab hakim MK sungguh sengaja tidak menghadirkan suatu proses persidangan yang mengedepankan rasa keadilan publik

Masyarakat sudah beranggapan bahwa bila ingin menang di pemilu, maka diperlukan ilmu curang atau kemampuan untuk berbuat curang.  Maka lakukanlah kecurangan itu sebanyak mungkin, untuk menciptakan selisih suara yang banyak. Hanya dengan cara ini MK dipastikan seribu persen akan memenangkan pihak tergugat yang berbuat curang dan telah dimenangkan oleh KPU

Dengan adanya pemahaman seperti ini di MK, maka wajar kalau Tim Hukum BPN Prabowo Sandi pada awalnya enggan dan tidak punya opsi untuk mengajukan gugatan ke MK. Sebab MK bukan lagi pengadilan yang menghadirkan rasa keadilan publik. MK sudah berubah layaknya seperti mesin penghitung angka peserta pemilu

Padahal dalam posisinya sebagai judix facti, MK seharusnya mampu mengkonstruksikan suatu kebenaran dari fakta-fakta adanya kecurangan yang terjadi. Kecurangan yang bisa mengakibatkan adanya perselisihan suara yang diperoleh oleh salah satu paslon.

MK tidak boleh membatasi diri hanya pada bukti dan kebenaran formil semata. Hakim MK harus berani keluar dari pakem yang dianut selama ini, sehingga pengujian terhadap adanya perbuatan atau tindakan yang terstruktur, siatimatis dan masif (TSM) bisa didalami secara maksimal.

Hakim MK seharusnya mengenyampingkan konstruksi berpikir yang pragmatis. Sebab hakim MK bukanlah mesin penghitung angka suara. Hakim MK adalah manusia-manusia mulia. Mahkotanya para hakim yang dinobatkan sebagai wakil Tuhan dimuka bumi. Tujuannya, untuk menegakkan keadilan yang didasarkan pada Ketuhanan Yang Maha Esa.

Dalam konteks menghadirkan rasa keadilan, hakim MK harus mampu menggali dan memahami nilai-nilai dan realitas kehidupan sosial politik yang hidup dan berkembang di tengah masyaratat. Putusan hakim MK yang ideal tentu harus berbasis pada fakta dan ratio decidendi yang tepat dan dapat dipertanggungjawabkan.

Putusan hakim MK bukan atas pertimbangan yang kosong atau hampa dari rasa keadilan publik. Bukan menjaga jarak, bahkan menjauh dari sendi akal sehat dan hati nurani sebagai standar kemuliaan seorang hakim.

Hakim MK bukanlah wakil tuhan yang melegalkan tumbuh suburnya kecurangan di bumi Tuhan, hanya karena perbedaan selisih suara yang jauh atau banyak diantara Paslon.

Sebab bahayanya, manusia akan berlomba-lomba untuk berbuat curang di setiap pemilu. Hasil dari pemilu yang curang, yang dilegalkan oleh MK, nantinya akan mengahasilkan produk-produk kekuasaan dari suatu pemerintahan yang curang pula

Jangan sampai putusan MK, yang notabene menjadi mahkotanya para hakim itu mengalami delegitimasi atas pertimbangan yang kaku dan pragmatis. Sehingga Asas “Res Judicata Pro Veritate Habetur” yang maknanya "putusan hakim harus dianggap benar, dalam tataran sosiologis mengalami reduksi kepercayaan karena kualitasnya terbukti dipengaruhi oleh cara-cara berfikir yang pragmatis dan dangkal dari penggalian sosiologisnya".

Jika hakim MK masih tetap berpadangan dan berpengang pada pemahaman seperti tersebut di atas, maka sangat dikhawatirkan dalam jangka panjang wibawa dan marwah MK akan mengalami keruntuhan.

MK akan kehilangan kepercayaan dari masyarakat, karena hakim MK menjadi wakil Tuhan yang melegalkan kecurangan di bumi Tuhan. Kepercayaan publik akan tergerus dan tidak lagi memandang MK sebagai lembaga yang sakral dalam untuk menemukan keadilan di bumi Tuhan

MK seharusnya mampu memahami eksistensinya sebagai lembaga pengawal konstitusi. Lembaga yang selalu mengedepankan kebenaran dan keadilan dalam menyelesaikan setiap sengketa yang dihadapkan kepadanya.

Tujuannya, agar marwah dan wibawah MK tetap terjaga dihadapan publik. Dan yang paling utama adalah agar setiap putusan MK dapat dipertanggungjawabkan kebenaran dan keadilan yang berlandaskan pada Ketuhanan Yang Maha Esa.

Dr. Ismail Rumadan
Dekan Fakultas Hukum Universitas Nasional Jakarta

Populer

UPDATE

Selengkapnya