Berita

Ketua Umum Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Asfinawati/RMOL

Politik

Perilaku Pemerintah Berbahaya Bagi Demokrasi Dan Supremasi Hukum

SELASA, 14 MEI 2019 | 13:37 WIB | LAPORAN: WIDIAN VEBRIYANTO

Perilaku yang diperlihatkan pemerintah dinilai telah membahayakan bagi kehidupan demokrasi dan supremasi hukum di negeri ini. Padahal, sesuai amanat pasal 1 ayat 2 UUD 1945 Indonesia adalag negara hukum.

“Negara hukum di antaranya ditandai dengan supremasi hukum, bukan kekuasaan,” kata Ketua Umum Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Asfinawati kepada wartawan di YLBHI, Jalan Diponegoro, Menteng, Jakarta Pusat, Selasa (14/5).

Dia menjelaskan bahwa reformasi yang terjadi pada 21 tahun silam bertujuan untuk membuat Indonesia sebagai negara yang mengutamakan hukum, ham dan demokrasi. Namun kini, tujuan itu terancam dengan adanya 11 kebijakan atau perilaku yang dikeluarkan oleh pemerintah kepada rakyatnya.


Seperti, SK Menkopolhukam tentang tim pengawas omongan tokoh atau asistensi hukum, penggunaan pasal makar oleh Kepolisian secara serampangan, hak tidak memilih atau golput dijerat UU ITE dan KUHP.

Kemudian, rencana pembentukan dewan kerukunan nasional, pemerintah memasukan pasal makar, penghinaan presiden dan penodaan agama dalam RKHUP, dan perluasan penempatan militer di kementerian melalui revisi UU TNI.

“UU 5/2018 tentang Perubahan atas UU 15/2003 tentang Penetapan Perpu 1/2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme Menjadi UU juga telah mengkaburkan batasan peran TNI dalam urusan pertahanan,” tegasnya.

Selain itu, ada juga upaya-upaya penghambatan, pembubaran, bahkan kekerasan dan penangkapan terhadap aksi-aksi damai warga negara seperti saat Aksi May Day.

Selanjutnya, sambung Asfinawati, ada MoU Kementerian-Kementerian dan Badan-badan Usaha dengan TNI. Termasuk, Permendagri 3/2018 tentang Penerbitan Surat Keterangan Penelitian (SKP).

“Terakhir ada UU 16/2017 tentang Pengesahan Perpu 2/2017 tentang Perubahan Atas UU 17/2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan Menjadi UU,” katanya.

Menurutnya, ada pola garis besar yang tergambar dalam ke sebelas kebijakan pemerintah tersebut. Pertama menghambat kebebasan sipil untuk berpikir, berkumpul, berpendapat, berekspresi dan berkeyakinan. Kemudian, mengabaikan hukum yang berlaku baik itu konstitusi, TAP MPR, maupun UU.

“Ketiga, memiliki watak yang represif, mengedepankan pendekatan keamanan dan melihat kritik sebagai ancaman,” pungkasnya.

Populer

Mantan Jubir KPK Tessa Mahardhika Lolos Tiga Besar Calon Direktur Penyelidikan KPK

Rabu, 24 Desember 2025 | 07:26

Mantan Wamenaker Noel Ebenezer Rayakan Natal Bersama Istri di Rutan KPK

Kamis, 25 Desember 2025 | 15:01

Camat Madiun Minta Maaf Usai Bubarkan Bedah Buku ‘Reset Indonesia’

Selasa, 23 Desember 2025 | 04:16

Sarjan Diduga Terima Proyek Ratusan Miliar dari Bupati Bekasi Sebelum Ade Kuswara

Jumat, 26 Desember 2025 | 14:06

Adik Kakak di Bekasi Ketiban Rezeki OTT KPK

Senin, 22 Desember 2025 | 17:57

8 Jenderal TNI AD Pensiun Jelang Pergantian Tahun 2026, Ini Daftarnya

Rabu, 24 Desember 2025 | 21:17

Ketika Kebenaran Nasib Buruh Migran Dianggap Ancaman

Sabtu, 20 Desember 2025 | 12:33

UPDATE

Program Belanja Dikebut, Pemerintah Kejar Transaksi Rp110 Triliun

Sabtu, 27 Desember 2025 | 08:07

OJK Ingatkan Risiko Tinggi di Asuransi Kredit

Sabtu, 27 Desember 2025 | 07:48

Australia Dukung Serangan Udara AS terhadap ISIS di Nigeria

Sabtu, 27 Desember 2025 | 07:32

Libur Natal Pangkas Hari Perdagangan, Nilai Transaksi BEI Turun Tajam

Sabtu, 27 Desember 2025 | 07:17

Israel Pecat Tentara Cadangan yang Tabrak Warga Palestina saat Shalat

Sabtu, 27 Desember 2025 | 07:03

Barzakh itu Indah

Sabtu, 27 Desember 2025 | 06:38

Wagub Babel Hellyana seperti Sendirian

Sabtu, 27 Desember 2025 | 06:21

Banjir Cirebon Cermin Politik Infrastruktur Nasional Rapuh

Sabtu, 27 Desember 2025 | 06:13

Jokowi sedang Balas Dendam terhadap Roy Suryo Cs

Sabtu, 27 Desember 2025 | 06:06

Komdigi Ajak Warga Perkuat Literasi Data Pribadi

Sabtu, 27 Desember 2025 | 05:47

Selengkapnya