Insiden kapal dinas perikanan Vietnam sengaja menabrak kapal perang Indonesia KRI Tjipatadi 381 terjadi di Laut Natuna Utara pada Sabtu (27/4) pekan lalu.
Gurubesar Hukum Internasional Universitas Indonesia (UI) Hikmahanto Juwana bersyukur awak KRI Tjiptadi 381 tidak terpancing menembak setelah sengaja ditabrak oleh kapal coast guard Vietnam tersebut.
"Beruntung awak KRI Tjiptadi 381 tidak terprovokasi untuk memuntahkan peluru," ujar Hikmanto, Senin malam (29/4).
Sebab, lanjut Hikmahanto, dalam hukum internasional terlepas siapa yang benar dan salah, pihak yang memuntahkan peluru terlebih dahulu akan dianggap melakukan tindakan agresi.
Insiden semacam ini kerap terjadi di wilayah laut, di mana dua atau lebih negara saling mengklaim yang memunculkan tumpang tindih.
"Untuk menghindari kejadian seperti ini berulang pemerintah yang memiliki klaim tumpang tindih harus membuat aturan-aturan bila otoritas saling berhadapan (rules of engagement). Sayangnya aturan seperti demikian belum ada di antara negara ASEAN yang memiliki klaim tumpang tindih," terangnya.
Hikmahanto menegaskan, pemerintah Indonesia melalui Kementerian Luar Negeri (Kemlu) bisa melayangkan protes dengan cara memanggil Duta Besar Vietnam. Namun bukan protes pelanggaran masuknya kapal nelayan dan kapal otoritas Vietnam ke ZEE Indonesia mengingat wilayah tersebut masih disengketakan. Akan tetapi, protes atas manuver kapal coast guard Vietnam menabrak KRI Tjiptadi 381
"Penyelesaian atas insiden ini harus dilakukan melalui saluran diplomatik antarkedua negara dan tidak perlu dibawa ke lembaga peradilan internasional," jelasnya.
Biaya yang dikeluarkan untuk berperkara di lembaga peradilan internasional akan lebih besar dibandingkan kerugian yang dialami KRI Tjiptadi 381 akibat insiden tersebut.
"Antar negara ASEAN sudah seharusnya penyelesaian sengketa mengedepankan cara-cara musyawarah untuk mufakat," tandasnya.