SETIAP kali ada media cetak berhenti terbit, dada saya merasa sesak. Ulu hati terasa nyeri dan perut menjadi mulas. Tsunami informasi dalam gelombang media sosial di era digital ini betul betul sulit dibendung dan ditaklukan, menyapu dan meluluh-lantakan media tradisional/konvensional. Senjakala media cetak terbentang di cakrawala. Cahaya menguning dan memerah nampak di pelupuk mata. Semua menunggu waktu untuk menggelap dan berubah menjadi malam.
Saya baru membaca tampilan postingan dari H. Ilham Bintang -jurnalis senior yang saya hormati- bahwa tabloid C&R yang dilahirkan dan dibesarkan olehnya berhenti terbit. Berganti menjadi media online .
Setelah 21 tahun menjadi bagian keluarga penggemar berita artis dan selebritas, C&R mengakhiri penerbitan cetaknya menyusul tayangan infotainmentnya. Selanjutnya C&R beralih ke dunia maya. Sama seperti yang menimpa sejumlah media lain.
Saya pernah melahirkan media cetak (tabloid dan majalah) dan saya juga pernah menyaksikan kematiannya, penerbitan terakhirnya. Dan saya masih merasakan emosi itu; jangan tanyakan lagi. Kebanggaan sebagai jurnalis dengan media tempat saya mengabdi selama ini seperti terbang tersedot ke langit. Kaki terasa lemas dan tak berpijak di bumi lagi.
.................
daging kita satu
arwah kita satu
walau masing jauh
yang tertusuk padamu
berdarah padaku
- Sutardji Calzoum Bachri.SAYA pernah ikut berkantor di kawasan Kavling DKI - Meruya, Jakarta Barat, dan sedang menggarap tayangan infotainment Buletin Sinetron, ketika di gedung yang sama, tabloid Cek & Ricek (C&R) dalam proses kelahirannya di tahun 1998.
Saya masih terkenang akan ketegangan dan kegembiraan yang terpancar di wajah H. Ilham Bintang, selaku penggaggas dan pendirinya. Saat itu dia menjadi boss saya di Buletin Sinetron, program infotainment pertama di
teve swasta Indonesia.
"Rasanya kayak nungguin anak lahir!" katanya, sambil lalu dengan mimik
nervous. Senewen.
Saya kira Bang Ilham -demikian saya memanggilnya- mengungkapkan perumpamaan yang tepat. Anak biologis dan anak ideologis -karya (jurnalistik)- sama-sama dinantikan dengan segenap kecemasan dan ketegangan yang mendebarkan.
Segala daya upaya dilakukan dengan kehati-hatian agar anak lahir sempurna.
Ilham Bintang adalah sosok yang unik. Dia dibesarkan oleh harian Angkatan Bersenjata sebagai koran rezim pemerintah, yang mapan, tapi dalam keseharian saya kenal sebagai jurnalis yang kritis, skeptis, dan menerapkan kaidah ketat serta taat azas dalam menjalankan tugas jurnalistiknya.
Seringkali dalam obrolan serius -maupun ringan di antara ngopi -di gedung Dewan Film, Jl. Menteng Raya 62, Jakarta Pusat-, dia mengeluhkan kerja wartawan bidang hiburan yang asal-asalan. Dia mengeluhkannya baik sebagai sesama jurnalis, Ketua PWI Seksi Film, maupun sebagai Kepala Humas Pantap FFI .
Di masa lalu, dekade 1970-1980, media hiburan adalah media yang longgar aturannya. Wartawan menulis reporase dan profil sebagai karya jurnalistik dan “mengarang bebas†nyaris tak jelas batasnya. Halaman hiburan, kebudayaan, halaman artis umumnya dikerjakan oleh reporter ‘buangan’ yang gagal di desk ekonomi dan politik, olahraga atau halaman lainnya.
Akibatnya narasumber kerap mengeluh -atau senang, karena terangkat sedemikian rupa- setelah sama-sama ditulis tidak sesuai fakta. Yang mengeluh karena dirugikan, yang senang karena diuntungkan.
Tabloid C&R menegaskan kejelasan dan batas itu, menghapuskan stigma itu. Semua sumber yang ditulis diwawancarai, semua isu yang beredar dikonfirmasi kepada sumber utama dan paling dekat. Dan penulisannya memenuhi kaidah jurnalistik yang baik dan benar. Sesuai KEJ -Kode Etik Jurnalistik. Ada fakta dan data. Check and Richeck. Ada konfirmasi dan ada penyeimbang-
cover both side.
Balance.
Lewat tabloid C&R, Ilham menegakkan produk jurnalistik yang taat azas, media cetak tabloid -dan program infotainment- yang bisa dipertanggung-jawabkan isinya. Dia menerapkan jurnalisme
check dan
richeck yang tidak hanya menghibur, tapi juga mendidik dan mencerahkan.
Jika pada era itu -dekade 1980-1990- selain ada ‘Jurnalisme Kasih Sayang’ yang ditawarkan Arswendo Atmowiloto, maka di sisi lain juga ada ‘Jurnalisme Cek&Ricek’ yang diperkenalkan oleh H. Ilham Bintang.
Jurnalisme yang dianut C&R menolak memuja muja artis, tapi juga mengharamkan main ‘hantam kromo’.
Dan kemudian mengejutkan. Kehadiran bayi C&R, di tahun 1998 itu segera menggegerkan dan disambut masyarakat dengan antusias.
SAYA TERKENANG dan dibuat terkejut ketika tabloid C&R pada masa masa edisi awal menampilkan laporan Dede Yusuf yang dikaitkan dengan keluarga Suharto. Hal yang tabu di masa itu. Dan ditampilkan dengan narasumber yang paling valid.
Selama ini, nama Dede Yusuf disebut-sebut sebagai anak Suharto dan menjadi gosip sambil lalu. Bisik-bisik antar ibu-ibu. Lewat C&R menjadi terang benderang. Ternyata bukan..
Baik keluarga Cendana maupun Dede Yusuf menjadi lega, karena semua urusan jadi jelas.
Laporan utama Dede Yusuf berlanjut ke laporan hangat yang lain. Dan gol demi gol dari isu dan laporan yang dilempar ke pasar menghebohkan publik. Tiras C&R meroket. Dukungan tayangan infotainment di stasiun RCTI -dengan nama yang sama- yang lebih dulu meluncur di RCTI (1997) menjadi paket yang lengkap.
H. Ilham Bintang menanguk untung besar sebagai pengusah pers, sebab program C&R beranak pihak, di tengah
booming tayangan infotainment pada masanya. Dia keluar dari zona nyaman dan mundur dari koran AB (1976-1998) menjadi pengusaha pers di pasar bebas -dengan menerapkan kaidah jurnalistik cek dan ricek. Dari redaktur di harian 'Angkatan Bersenjata' yang termanjakan oleh perlindungan rezim penguasa, tapi miskin materi - menjadi “taipan†infotainment di “pasar bebas†yang makmur sentosa.
Dengan segala kontroversi yang mengelilinginya -khas orang sukses- selalu saya sampaikan kepada kawan kawan di lapangan, bahwa Ilham Bintang adalah jurnalis yang bekerja keras. Gigih dan fokus selain visioner. Langkah langkahnya layak ditiru jurnalis lain. Dia sosok yang obsesif gelisah dan terobsesi terus-menerus.
Dia menikmati kesuksesan sebagai
‘owners’ dan taipan media yang memiliki banyak tayangan infotainment di
teve swasta. Perjalannya ke luar negeri selalu menempati klas bisnis dan membawa serta keluarga. Putra purinya disekolahkan di luar negeri
Mobilnya Mercy S-Class 350 sekelas mobil dinas presiden. Kabarnya juga punya apartemen mewah, selain aset gedung perusahaan dan pengembangan bisnis lainnya.
Sekiranya kini dia makmur sejahtera maka saya tegaskan, dia layak mendapatkannya. Ilham Bintang mendapatkan apa yang diperjuangkannya dengan susah payah. Sudah selayaknya dia sejahtera.
KETIKA para ‘dewa’ di PWI dan Dewan Pers cenderung ‘alergi’ mengelompokkan pekerja infortainment sebagai ‘jurnalis’, pekerja pers, Ilham Bintang lah yang gigih memperjuangkannya. Berhasil meyakinkan publik, infotainment adalah karya jurnalistik, dan pekerjanya adalah wartawan. Tentu saja sejauh dia mematuhi prinsip kerja jurnalistik secara profesional, tegasnya.
PWI organisasi pertama dan satu-satunya memberi pengakuan itu. Maka, produksi infotainment segera menjadi primadona di televisi, hampir semua televisi punya, bisa sampai tiga sampai lima program tayang tiap hari, stripping.
Kalau ditotal jumlah alokasi waktunya, mengalahkan semua program news di semua televisi. Kata kuncinya, karena karya jurnalistik, maka program itu bisa melenggang tanpa harus antre di Lembaga Sensor Film.
Ironisnya, Ilham sendiri ‘minoritas’ di antara pembuat program infotainment rumah-rumah produksi (
poduction house) yang kebanyakan tidak menerapkan azas jurnalistik yang baik. Dia menjadi jurnalis profesional yang berada di tengah kepungan kaum ‘penggosip’ amatiran, pewarta yang tidak kompeten, yang seperti dimanapun hanya mengejar koin, dan mengabaikan poin.
Saya mengenal Ilham Bintang sejak dia masih bekerja di Harian Angkatan Bersenjata dan kemudian tiwikrama, mengubah bentuk di tabloid dan tayangan C&R. Ilham Bintang wartawan AB lahir kembali dengan tampilan baru dan mewujudkan jurnalisme ‘Cek dan Ricek’ memboboti C&R.
Dia guru saya, dia sahabat, dia pelindung saya tempat saya mengadu, sewaktu waktu bertanya dan meminta pertolongan, bila ada masalah di dunia kewartawanan. Kebetulan dia juga pernah menjabat Ketua Bidang Pembelaan Wartawan di PWI Pusat, kini Ketua Dewan Kehormatan PWI Pusat.
Tabloid C&R edisi cetak telah berhenti terbit. Akan tetapi tidak dengan jurnalisme C&R. Dia berubah bentuk dan media �" dari cetak ke media digital. Media yang dia sebutnya akan “mengejar†pembaca di pelosok bumi mana pun dia berada.
Selama 21 tahun terakhir jurnalisme C&R telah identik dengan jurnalisme Ilham Bintang. Dan demikian lah juga seterusnya.
Dimas Supriyanto
Redaktur Pelaksana dan Pemimpin Redaksi Majalah Film 1992-2002. Saat ini Redaktur halaman hiburan (Rileks) di harian Pos Kota.