Pesta demokrasi yang berlangsung di Indonesia tahun ini menjadi sorotan, bukan hanya di Indonesia, namun juga di ranah internasional. Media-media asing pun tidak sedikit yang mengulas berbagai aspek serta dinamika yang terjadi dalam pemilu tahun ini.
Â
Salah satu yang terbaru adalah Channel News Asia. Media yang berbasis di Singapura itu pada Jumat (12/4) menyoroti Pembangkit Listrik Tenaga Bayu (PLTB) atau angin di Sidrap, Sulawesi Selatan serta kaitannya dengan pemilu yang akan berlangsung.
Â
Menjulang di atas perkebunan mete dan ladang jagung, menara baja setinggi 80 meter menjadi pemandangan baru di wilayah pedesaan di sekitar Sidenreng Rappang, kabupaten yang terletak sekitar 180 km utara Makassar.
Â
Â
Kincir-kincir angin sekarang mendominasi pegunungan hijau di wilayah tersebut. Wilayah itu sendiri merupakan wilayah pegunungan dan perbukitan yang memiliki kondisi ideal untuk memproduksi listrik.
Â
Kincir angin yang dibangun di wilayah tersebut pada puncaknya diharapkan dapat menghasilkan 75 MW listrik yang mengalir ke jaringan nasional. Ini merupakan yang pertama dan satu-satunya "kebun angin" penghasil listrik yang beroperasi di Indonesia. PLTB itu memiliki potensi untuk mengaliri listrik ke sebagian besar wilayah provinsi.
Â
Akan tetapi, ambisi-ambisi itu sebagian besar masih jauh panggang dari api. Meski muncul sebagai sebuah gebrakan baru, namun PLTB tersebut merupakan bagian dari cetak biru yang gagal memenuhi salah satu janji Presiden Joko Widodo saat terpilih tahun 2014 lalu, yakni untuk memperkuat 99,9 persen wilayah Indonesia pada tahun ini.
Â
Channel News Asia (CNA) menyoroti, tidak jauh dari kincir angin yang menjulang tinggi di Sidrap, tepatnya di dusun Pabbaresseng yang terletak 3 km dari lokasi kebun angin tersebut, listrik masih merupakan hal yang tidak tersentuh oleh masyarakat setempat.
Â
Sementara banyak sekolah lokal saat ini memiliki panel surya, milik UPC, namun penduduk setempat masih mengandalkan generator dan lampu minyak mereka sendiri untuk menghidupi listrik.
Â
PLN sebagai distributor listrik pemerintah pusat sendiri telah berjanji untuk menghubungkan desa itu dengan listrik pada pertengahan tahun ini. Namun nyatanya, sekitar 500 warga setempat masih hidup dalam kegelapan, tanpa listrik.
Â
"Kami tidak pernah memiliki sambungan listrik sejak nenek moyang kami tinggal di sini sejak dulu," kata kepala dusun, Asis seperti dimuat
Channel News Asia.
Â
"Ketika terhubung, anak-anak akan mendapatkan pendidikan yang lebih baik karena mereka akan dapat menggunakan gawai untuk tujuan belajar," sambungnya.
Â
Indonesia di bawah pemerintahan Jokowi diketahui berupaya memperoleh seperempat dari kebutuhan tenaganya dari sumber-sumber yang dapat diperbarui pada tahun 2025.
Â
Hal itu telah membuka peluang investasi yang menarik bagi UPC dan sejumlah pihak lainnya. Namun, upaya energi terbarukan belum terwujud. Tarif listrik tetap tinggi, perubahan iklim jarang dianggap sebagai masalah dalam debat presiden baru-baru ini dan pergeseran filosofis ke energi bersih belum terjadi.
Â
“Listrik masih digunakan sebagai senjata politik oleh politisi di kantor. Setiap kali ada pemilihan, hal pertama yang akan mereka tawarkan kepada masyarakat adalah mengurangi harga listrik, yang tidak memberikan insentif yang sangat baik untuk pengembangan energi terbarukan," kata Niko Priyambada dari UPC.
Â
Dalam banyak hal, proyek-proyek infrastruktur besar telah datang untuk melambangkan ambisi pemerintah Jokowi. Investasi besar telah tenggelam dalam pengembangan jalan, pelabuhan, kereta api, bendungan, dan konektivitas Internet.
Â
Jokowi sendiri memulai masa kepresidenannya dengan janji proyek senilai 340 miliar dolar AS. Beberapa hal yang dilakukan Jokowi perlu diakui merupakan terobosan, namun banyak juga beberapa upaya yang dilakukan justru mandeg atau manfaatnya belum sepenuhnya terwujud atau dipahami.
Â
Di wilayah Sulawesi saja, selama masa kampanye tahu 2014 lalu Jokowi telah menetapkan 27 proyek. Janji itu tentu menyulut harapan di kalangan masyarakat Indonesia Timur yang terbiasa dinomorduakan.
Â
Hasilnya, selama pemilihan 2014 lalu, Sulawesi menghasilkan 60 persen suara yang meluap di 13 provinsi timur.
Â
Di Sulawesi Selatan, termasuk di Makassar, kemenangan Jokowi pada saat itu bahkan lebih nyata, yakni dengan 71 persen suara. Hal itu didukung oleh kampanye dari pasangannya, Jusuf Kalla (JK) dari Sulawesi.
Â
Namun kini di pemilu 2019, dengan pengaruh JK yang memudar secara signifikan di tengah ketidakpuasan masyarakat dengan kegiatan bisnis wakil presiden dan dukungannya akan kehilangan kandidat walikota di Sulawesi Selatan, taruhan yang pasti bisa menjadi kekalahan bagi Jokowi.
Â
“Jusuf Kalla lebih merupakan tanggung jawab daripada kekuatan bagi Jokowi,†kata Dedi Dinarto, rekan peneliti dengan Program Indonesia di Sekolah Studi Internasional S Rajaratnam.
Â
Menurut Dedi, kemenangan regional yang dominan untuk Jokowi sekarang sangat tidak mungkin.
Â
“Karena konsolidasi para pemimpin lokal dan regional baru-baru ini di Sulawesi Selatan untuk menyatakan dukungan terbuka untuk Jokowi, dia mungkin memiliki kesempatan untuk menang di provinsi ini. Namun, kemenangan besar seperti apa yang dia raih selama pemilihan presiden 2014 adalah hantu peluang," katanya.
Â
Di sisi lain, penantang Jokowi, yakni Prabowo Subianto gencar berputar-putar di provinsi tersebut dengan membawa janji serta gagasan untuk perwakilan timur di Jakarta.
Â
Prabowo telah membangun momentum dalam kontes pemilihan ini, menarik banyak orang yang antusias hadir dalam kampanye yang menampilkan dia dan pasangannya yang karismatik Sandiaga Uno.
Â
Meski banyak pengamat atau lembaga survei arus utama yang memunculkan Jokowi sebagai calon yang unggul dalam oemilu 2019 ini, namun tidak dapat dipungkiri bahwa Prabowo berhasil membangun pendukung akar rumput yang penting di Sulawesi Selatan, termasuk Aliansi Pencerah Indonesia (API), yang telah berjanji untuk memberikan kandidat 25 juta suara secara nasional.
Â
Pemimpin operatif lokalnya mengatakan hanya Prabowo yang dapat melakukan perubahan ekonomi dan sosial yang dibutuhkan provinsi.
Â
“Sulawesi Selatan menginginkan pemimpin baru, terutama masyarakat miskin. Itu tidak berarti Jokowi tidak meraih apa pun selama masa jabatannya, tetapi hal-hal yang menyangkut kehidupan banyak orang harus menjadi prioritas," kata ketua API Sulawesi Selatan, Muhammad Riady Jufri.
Â
“Sebenarnya kita bukan anti-infrastruktur, tetapi kita harus ingat bahwa ada banyak orang yang hidup di bawah garis kemiskinan. Terus melakukan proyek infrastruktur tetapi itu seharusnya tidak menjadi prioritas nomor satu. Saat ini, kami berpikir bahwa kondisi ekonomi kami tidak sebaik itu. Orang dengan penghasilan rendah benar-benar bisa merasakannya," sambungnya.
Â
"Saya yakin Sulawesi Selatan akan memilih Prabowo," tambahnya.
Â
Meskipun ada kebutuhan mendesak untuk perbaikan infrastruktur, khususnya di timur, namun jumlah pengeluaran, rentang waktu yang panjang dan pengaruh asing dari proyek-proyek tersebut telah mengundang kemarahan Prabowo dan para pendukungnya.