KARTU-kartu sakti petahana Joko Widodo-Maruf Amin merupakan bagian dari praktik politik anggaran untuk pembayaran transfer pemerintah pusat kepada masyarakat Indonesia. Transfer tersebut merupakan bagian dari belanja pemerintah pusat untuk bantuan sosial.
Realisasi bantuan sosial tercatat sebesar Rp 97.924,7 miliar tahun 2014 dan ditingkatkan menjadi Rp 102.055,5 miliar pada APBN tahun 2019.
Akan tetapi petahana lupa bahwa masyarakat yang dalam jumlah suara yang lebih banyak itu lebih terdampak oleh politik anggaran penurunan subsidi energi dan subsidi non energi. Realisasi kedua subsidi tersebut sebesar Rp 391.962,5 miliar tahun 2014 diturunkan menjadi Rp 224.320,9 miliar tahun 2019.
Artinya, potensi dampak kepuasan masyarakat atas politik anggaran kartu-kartu sakti Joko Widodo-Maruf Amin dan berbagai penawaran bantuan sosial lainnya itu bernilai jauh lebih kecil dibandingkan ketidakpuasan masyarakat terhadap hilangnya subsidi energi dan subsidi non energi yang terbiasa diterima oleh masyarakat.
Pada sisi yang lain, argumentasi manfaat realokasi subsidi untuk menaikkan belanja modal dikalahkan oleh besar belanja modal yang sebesar Rp 189.343,2 miliar tahun 2019 dibandingkan naiknya besar pembayaran bunga utang dalam negeri dan luar negeri yang sebesar Rp 275.885,3 miliar tahun 2019. Posisi alokasi pembayaran bunga utang tersebut lebih dari dua kali lipat realisasinya tahun 2014.
Makna harafiah adalah manfaat realokasi subsidi sesungguhnya lebih banyak digunakan untuk membayar bunga utang dibandingkan untuk belanja modal. Implikasinya adalah gaya sinterklas petahana terkesan untuk menutupi komitmennya dalam menaikkan pembayaran bunga utang dibandingkan rayuan pembayaran kartu-kartu sakti. Disamping itu komitmen petahana menjaga hubungan baik dengan kreditur terkesan lebih besar dibandingkan manfaat atas rayuan kartu-kartu sakti.
Dengan mengetahui bahwa besar utang luar negeri pemerintah pusat dan Bank Indonesia sedikit lebih kecil dibandingkan utang luar negeri swasta, maka komitmen pemerintah pusat terhadap kreditur utang luar negeri untuk membayar bunga utang itu terutama dipengaruhi peran kreditur dari Jepang, IBRD, ADB, IMF, Jerman, Perancis, dan IDA untuk posisi tahun 2018. Dalam hal ini diasumsikan peran kreditur utang luar negeri relatif "sama"dengan kreditur utang dalam negeri, karena terdapatnya fenomena transaksi perdagangan suku bunga kredit.
Akan tetapi dalam perdebatan publik muncul penguatan besar kepekaan terhadap peran ekonomi politik RRC di Indonesia. RRC tidak terlihat nyata sebagai kreditur utang luar negeri dan investasi langsung RRC lebih rendah dibandingkan negara lain, namun proporsi RRC terbesar dalam dominansi pasar impor di Indonesia dibandingkan peran negara dan lembaga kreditur utang luar negeri Indonesia per Januari 2019, maupun dibandingkan peran proporsi investasi langsung RRC terhadap negara lain.
Sugiyono MadelanPeneliti INDEF, pengajar Universitas Mercu Buana.