PETAHANA Joko Widodo menyampaikan optimisme berbilangan besar. Memberikan semangat menginginkan serba cepat.
Apabila perubahan sosial ekonomi tidak berubah dengan cepat, maka Joko Widodo meyakini bahwa masyarakat di Indonesia akan segera ditinggalkan dalam persaingan di tingkat dunia. Persaingan yang secara aktual berubah sangat cepat.
Narasi tadi dalam sudut pandang horizon cakrawala periode waktu adalah perubahan yang menginginkan dilakukan serba cepat secara revolusioner. Sebuah revolusi mental, bukan evolusi mental.
Persoalannya adalah visi cita-cita mengejar bintang di langit merupakan visi yang bersaing dengan strategi pragmatisme. Misalnya petahana bermaksud membangun tol laut, namun bukan banyak kapal laut yang dikuasai WNI yang paling banyak mondar mandir menghubungkan transportasi laut di dalam negeri.
Bukan perealisasian akhir dari peresminan pembukaan pelabuhan-pelabuhan laut baru yang dapat diwujudkan, melainkan lebih banyak “memproduksi†jalan tol di daratan, serta terkesan melupakan pemeliharaan jalan darat yang lama.
Akibatnya adalah visi tol laut kemudian menjadi boomerang terhadap usaha merealisasikan kontrak politik terhadap
voters. Kontrak yang ditawarkannya sendiri secara sadar dan semula sangat mempesonakan pemirsa debat tahun 2014. Bagaikan pesona drone terbang mengintai di udara. Membangun negara kelautan.
Membangun tol laut, tol daratan, membangun dari pinggiran, membangun listrik 35 Gega Watt, dan masih banyak lagi cita-cita mewujudkan pembangunan perangkat infrastruktur keras dan lunak. Sebuah titian jalan yang sulit, yang dapat menimbulkan jebakan investasi.
Bersemangat berbilangan besar ketika proyek-proyek infrastruktur memerlukan tingkat pengembalian panjang, yang mempunyai konsekuensi berupa kelebihan dalam ekspansi infrastruktur.
Terlalu bersemangat membangun infrastruktruktur berdampak menimbulkan masalah-masalah dalam pembayaran utang lancar tepat waktu jangka pendek, pembayaran utang lancar jangka menengah, efisiensi operasional, dan tingkat keuntungan yang menurun.
Infrastruktur kuasi publik itu mempunyai konsekuensi bermasalah dalam analisis kelayakan keuangan, sekalipun dalam jangka panjang mungkin masih dapat layak secara ekonomi. Misalnya, meningkatkan lowongan pekerjaan dan meningkatkan pertumbuhan ekonomi daerah. Persoalannya adalah kapasitas infrastruktur lebih besar dibandingkan kapasitas terpasang, sehingga berbagi pembiayaan operasional sebelum titik impas dan balik modal investasi kemudian menjadi masalah yang serius.
Untuk memelihara kelancaran pembayaran keuangan tadi menimbulkan peningkatan utang pemerintah, utang BUMN, dan utang perusahaan swasta.
Selanjutnya terjadilah peristiwa “gali lubang tutup lubang†dalam manajemen pembangunan proyek infrastruktur, misalnya kepemilikan saham 28 proyek pembangunan segera dijual ke China. Masalah perubahan kepemilikan saham inilah menambah kekecewaan
voters. Walhasil survei elektabilitas petahana yang semestinya 85 persen, namun menurun secara bertahap ke bawah 50 persen. Singkat kata, momentum Pilpres 17 April 2019 mengharapkan kelapangdadaan suksesi kepemimpinan politik dilakukan secara demokratis dan damai.
SugiyonoPeneliti INDEF dan pengajar Universitas Mercu Buana Jakarta