Berita

Chief Abung/Dok

Publika

Agile School: Menghadapi Perubahan Serba Cepat

Agar Bertahan Dan Menjawab Semua Tantangan
JUMAT, 29 MARET 2019 | 08:27 WIB

Menghadapi perkembangan yang begitu cepat, dunia sekolah sering ketinggalan.  
Satu persoalan lama yang belum terselesaikan, muncul persoalan baru yang menantang untuk dipecahkan.  

Sesuai data dari pemerintah, sekolah masih kekurangan guru. Baik dari  kuantitas maupun kualitasnya. Sarana dan prasaranya, juga masih sangat kurang. Terutama sekolah-sekolah swasta yang berbiaya kecil.

Istilah agile (tangkas), biasa lebih disandingkan dengan dunia bisnis profesional.  

Istilah agile (tangkas), biasa lebih disandingkan dengan dunia bisnis profesional.  

Biasanya kata agile ini digunakan dalam rangka menghadapi perkembangan masa kini. Terutama terkait revolusi internet (TI). Ulasan inspiratif Prof Rhenald Kasali menarik dicermati.

Sekolah sebagai sebuah institusi juga harus mempunyai sikap agile. Agar dapat bertahan dan menjawab tantangan serba cepat yang datang bertubi-tubi. Ada sejumlah hal yang perlu diperhatikan untuk agile school ini.

Pertama, pola sekolah menjadi lebih sederhana. Ini berkaitan manajemen yang sederhana. Baik dari pembayaran, jumlah admin yang sedikit. Hingga aturan-aturan yang lebih simple.

Menyederhanakan pola manajemen, juga bisa ditempuh. Misalnya dengan pembayaran non tunai atau menggunakan media sosial untuk berbagai komunikasi.

Kedua, fleksible. Sekolah selama ini kurang terbuka dengan perubahan. Terutama yang dialami sekolah-sekolah. Yang sudah bertradisi lama. Dan memang dikelola orang-orang yang berpikir dengan cara lama.  

Perubahan yang dimulai dari atas, seperti perubahan kurikulum, pada prakteknya sering menjadi semacam kerepotan massal mendadak. Mendadak berubah, tanpa tahu esensi perubahan yang harus terjadi.

Ketiga, pembayaran. Sudah menjadi semacam rumus umum, sekolah mahal itu sekolah bermutu. Sekolah murah tidak bermutu. Padahal kenyataannya tidak selalu seperti itu. Rumus umum tentang sekolah mahal itu bertumpu pada konsep komunikasi (iklan) yang menyebutkan, perception is reality.  Sementara era saat ini, konsepnya sudah bergeser menjadi reality is reality.

Bahwa pemerintah atau pihak manapun, tidak bisa mengintervensi sekolah mahal; sekolah swasta.  Sebaliknya, pemerintah harus mampu menjadikan sekolah-sekolah  yang “murah” itu menjadi bermutu. Kemudian, dipersepsi menjadi bermutu. Konsep yang digunakan adalah: konsep reality is reality.

Begitupun sekolah swasta yang murah, juga harus berupaya mengemas program sekolah menjadi bermutu pula. Sekolah swasta dan negeri, juga harus mengedukasi masyarakat menyangkut dua hal. Variable cost dan fixed cost.  

Fixed cost adalah biaya tetap yang harus selalu dikeluarkan. Seperti penggajian, pembangunan dan perawatan. Sementara variable cost adalah biaya pendukung yang dijumlah sesuai kebutuhan adhoc.

Dengan memilah dua kanal pembayaran tersebut, biaya sekolah menjadi fokus diarahkan pada pengeluaran yang lebih utama. Yaitu output pendidikan; prosesnya bagus, lulusannya menjadi hebat. Bukan sebaliknya. Biaya-biaya yang besar itu hanya diarahkan untuk pembangunan gedung yang memang sudah layak (lebih memadai) dan membuat program yang kurang berkorelasi dengan out put pendidikannya.

Keempat, multi kanal. Belajar tidak semata bertumpu pada buku ajar yang disiapkan dan dengan rentang waktu yang ditetapkan seperti dari jam 7.00 hingga jam 13.00 misalnya. Lebih dari itu, belajar bisa dimana saja. Dengan bantuan apa saja.

Kuncinya, bantuan google, youtube atau kanal teknologi yang lain. Dengan bantuan kanal-kanal teknologi, anak bisa memperkaya belajarnya dengan terjun ke alam. Bantuan guru atau orang tua adalah sebagai fasilitator atau pembimbing manakala dibutuhkan.  

Dengan bantuan multi kanal itu, alasan kekurangan bahan ajar,  kekurangan kelas, kekurang guru (atau lebih khusus kekurangan guru yang qualified) akan teratasi. Khusus guru, qualifikasi dimaksudkan pemerintah kenyataanya sering bermata dua. Di satu sisi menjamin sertifikasi. Tapi di sisi lain, membunuh potensi lain yang tidak tersertifikasi.

Bila dipertahankan, hal itu akan memperpanjang persoalan pendidikan Indonesia. Sebaliknya, dengan memanfaatkan tool (kanal IT), kekurangan guru akan teratasi dan sertifikasi guru juga tidak menjadi kontraproduktif buat sekolah atau peserta didik.

Chief Abung,
Founder Jaringan Sekolah Kinderglobe & Katulistiwa

Populer

Ketika Kebenaran Nasib Buruh Migran Dianggap Ancaman

Sabtu, 20 Desember 2025 | 12:33

OTT KPK juga Tangkap Haji Kunang Ayah Bupati Bekasi

Jumat, 19 Desember 2025 | 03:10

Uang yang Diamankan dari Rumah Pribadi SF Hariyanto Diduga Hasil Pemerasan

Rabu, 17 Desember 2025 | 08:37

OTT Beruntun! Giliran Jaksa di Bekasi Ditangkap KPK

Kamis, 18 Desember 2025 | 20:29

Tamparan bagi Negara: WNA China Ilegal Berani Serang Prajurit TNI di Ketapang

Sabtu, 20 Desember 2025 | 09:26

Tunjuk Ara di Depan Luhut

Senin, 15 Desember 2025 | 21:49

Makin Botak, Pertanda Hidup Jokowi Tidak Tenang

Selasa, 16 Desember 2025 | 03:15

UPDATE

Bawaslu Usul Hapus Kampanye di Media Elektronik

Minggu, 21 Desember 2025 | 11:26

Huntap Warga Korban Bencana Sumatera Mulai Dibangun Hari Ini

Minggu, 21 Desember 2025 | 11:25

OTT Jaksa Jadi Prestasi Sekaligus Ujian bagi KPK

Minggu, 21 Desember 2025 | 11:11

Trauma Healing Kunci Pemulihan Mental Korban Bencana di Sumatera

Minggu, 21 Desember 2025 | 10:42

Lula dan Milei Saling Serang soal Venezuela di KTT Mercosur

Minggu, 21 Desember 2025 | 10:35

Langkah Muhammadiyah Salurkan Bantuan Kemanusiaan Luar Negeri Layak Ditiru

Minggu, 21 Desember 2025 | 10:24

Jadi Tersangka KPK, Harta Bupati Bekasi Naik Rp68 Miliar selama 6 Tahun

Minggu, 21 Desember 2025 | 09:56

Netanyahu-Trump Diisukan Bahas Rencana Serangan Baru ke Fasilitas Rudal Balistik Iran

Minggu, 21 Desember 2025 | 09:32

Status Bencana dan Kritik yang Kehilangan Arah

Minggu, 21 Desember 2025 | 08:55

Cak Imin Serukan Istiqomah Ala Mbah Bisri di Tengah Kisruh PBNU

Minggu, 21 Desember 2025 | 08:28

Selengkapnya