Permasalahan transportasi angkutan umum berbasis aplikasi online tak kunjung diselesaikan.
Indonesia Traffic Watch (ITW) menilai pemerintah telah gagap dan gagal menegakkan hukum. Parahnya, pemerintah membiarkan pelanggaran UU 22/2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan terus terjadi.
Kendaraan bermotor tetap beroperasi sebagai angkutan umum meski tidak memenuhi persyaratan.
Ketua Presidium ITW, Edison Siahaan mengibaratkan pemerintah sedang beternak konflik.
"Implikasi pembiaran itu sangat rawan terhadap upaya untuk mewujudkan keamanan, keselamatan, ketertiban, kelancaran lalu lintas," tegas Edison.
Setelah menuai beragam permasalahan hingga konflik barulah pemerintah membuat regulasi berturut-turut Peraturan Menteri Perhubungan 32/2016, Permenhub 26/2017 dan Permenhub 108/2017. Namun ternyata ketiga permenhub ini tak berdaya untuk mengikat keberadaan angkutan umum berbasis aplikasi online.
Tidak hanya itu, lanjut Edison, pemerintah juga seperti lesu darah dan loyo menegakkan aturan sehingga menjamurnya sepeda motor berbasis aplikasi atau ojol menjadi angkutan umum.
"Padahal UU 22/2009 secara tegas dan jelas menyebut sepeda motor hanya sebagai angkutan orang dan barang bukan angkutan umum," tegasnya.
Edison menekankan, bukan hanya ojol tapi juga pemerintah terseret dan dipaksa melanggar hukum.
Pasalnya, lanjut Edison, dalam draf permenhub pengaturan ojol yang akan berlaku pada awal Maret nanti, Menhub Budi Karya menggunakan diskresi seperti diatur dalam UU 30/2014 tentang Administrasi Negara.
"Menhub lupa bahwa diskresi itu dapat digunakan apabila peristiwa atau aktivitas publik tersebut tidak atau belum diatur oleh undang- undang," jelasnya.
Menurut dia, Permenhub tentang pengaturan ojol yang sedang digodok itu sangat lemah dan mudah digugurkan lewat
judicial review.
"ITW tinggal menunggu Permenhub itu diundangkan dan segera mengajukan uji materi ke Mahkamah Agung," pungkasnya.
[wid]