PERJUANGAN bangsa Palestina untuk mendapatkan kemerdekaan kini memasuki babak baru. Usai memindahkan kedutaan besarnya dari Tel Aviv, kini Amerika Serikat mensponsori atau menggalang dukungan internasional untuk semakin mengucilkan Iran melalui pertemuan yang akan diadakan di Warsawa, Polandia.
Sebelum perhelatan di atas dimulai, kini Presiden Donald Trump mengirim menantunya Jared Kushner yang diberi jabatan sebagai Penasehat Senior Gedung Putih dalam masalah Timur Tengah, memimpin delegasi untuk mengunjungi sejumlah negara di kawasan Teluk, seperti: Saudi Arabia, UAE, Oman, Bahrain dan Qatar.
Walaupun tujuan kunjungan delegasi ini secara resmi disebutkan dalam rangka menghidupkan kembali pembicaraan damai antara Palestina dan Israel yang diberi judul keren
the deal of century, akan tetapi bagi mereka yang mengikuti secara cermat kebijakan Amerika setelah Trump menghuni Gedung Putih, akan menyimpulkan bahwa harapan penyelesaian damai konflik antara Palestina dengan Israel dalam kerangka
two states solution sejatinya telah pupus.
Karena itu, patut diduga tujuan sebenarnya delegasi yang dipimpin Kushner tidak lain untuk memobilisasi dukungan sejumlah negara Teluk yang cukup kaya ini untuk mensukseskan acara di Warsawa.
Presiden Palestina Mahmoud Abbas telah memanfaatkan momentum politik ini dengan cara mengunjungi Saudi Arabia. Walaupun ia mendapat jaminan dari Raja Salman sang penguasa de jure bahwa Saudi Arabia tetap komit mendukung kemerdekaan Palestina, akan tetapi sang Raja sama sekali tidak menyinggung masalah Jerusalem Timur sebagai ibukotanya sebagaimana dituntut Palestina selama ini. Hal ini semakin memperkuat spikulasi bahwa Saudi Arabia mendukung usulan Trump dalam
the deal of century yang bocor untuk menjadikan Abu Dis yang terletak di Timur Jerusalem sebagai ibukota Palestina pengganti Jerusalem.
Pertanyaannya kini, jika harapan kemerdekaan Palestina semakin jauh, mengapa sejumlah negara Arab masih bersemangat berhubungan dengan Amerika yang nyata-nyata memihak Israel?
Bagi yang mengikuti perkembangan konstalasi politik secara seksama, tentu akan melihat sejatinya sejumlah negara Arab kaya khususnya yang berada di kawasan Teluk sudah tidak sungguh-sungguh lagi membela Palestina, akan tetapi mereka tentu tidak ingin mendapatkan kecaman dari dunia Islam jika menampakkan sikapnya ini secara terbuka.
Situasi yang serupa juga dialami Amerika yang tidak ingin dikecam dunia internasional, karena sebelumnya Amerikalah yang menjadi mediator sekaligus sponsor utama perjanjian damai Palestina-Israel dalam kerangka two states solution yang kini dimentahkan Presiden Amerika sendiri dengan berbagai kebijakannya yang merugikan Palestina.
Berbagai pertemuan antara Amerika dengan sejumlah negara Arab akhir-akhir ini, walaupun dibungkus dengan isu Palestina atau isu perdamaian di kawasan Timur Tengah, isinya tidak jauh dari upaya untuk menekan Iran baik secara ekonomi, politik, maupun militer.
Bagi sejumlah negara Arab, Iran saat ini dianggap lebih berbahaya dari Israel. Sementara bagi Amerika, Iran bukan saja telah mengancam eksistensi negara Israel, akan tetapi Iran sudah menggerogoti wibawa Amerika di mata para sekutunya di Timur Tengah. Bila hal ini dibiarkan, maka Amerika akan kehilangan hak istimewanya untuk mengendalikan negara-negara Arab yang dinikmatinya selama ini.
Situasi ini tentu membuat masalah Palestina bukan saja terabaikan, akan tetapi telah membuat Israel semakin semena-mena.
[***]Penulis adalah pengamat politik Islam dan demokrasi.