Masih ada ribuan calon hakim yang akan direkrut untuk berbagai pengadilan di seluruh Indonesia.
Sebab, tahun 2018 lalu sangat minim jumlah hakim yang diterima.
Majelis Pertimbangan Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (PBHI) Jakarta, Sandi Ebenezer Situngkir berpendapat, Indonesia masih mengalami banyak masalah dengan sikap dan perilaku hakim.
"Tidak sedikit hakim, termasuk hakim adhoc, yang bermasalah dengan hukum. Ada yang ditangkap karena dugaan korupsi, ada yang dipecat karena persoalan perilaku, asusila, juga berbagai jenis sikap dan tindakan yang tidak berintegritas. Ini semua harus dieliminir, sejak proses rekrutmen," tutur Sandi Ebenezer Situngkir di Jakarta,.
Dia mengingatkan, persoalan-persoalan yang terjadi sepanjang tahun, masih menumpuk tidak selesai di pengadilan. Bahkan, para hakimnya sendiri terkadang yang bermasalah dan menjadi biang masalah.
Perlu ditegaskan, lanjut Sandi, selain kesejahteraan rakyat yang paling banyak bermasalah di Indonesia, urusan keadilan berada di urutan tertinggi.
"Masyarakat pencari keadilan di Indonesia ya lewat pengadilan. Itu secara formalnya. Nah, kalau hakim di pengadilan tidak bertindak adil, maka persoalan demi persoalan akan terus menggunung di Indonesia," ujarnya.
Para hakim diyakini sebagai Wakil Tuhan di Bumi. Maka seyogyanya harus menunjukkan kinerja, sikap serta perilaku yang teladan. Hakim dituntut memberikan kebijaksanaan yang adil dan berkeadilan.
"Dan itu semua dimulai dari proses rekrutmen hakim," tegas Sandi.
Mahkamah Agung (MA) menyatakan sangat kekurangan hakim. Hal itu sangat berpengaruh kepada proses-proses persidangan di pengadilan.
Jika tidak ada proses rekrutmen hakim yang layak, maka penumpukan penanganan perkara di pengadilan terkendala dari tahun ke tahun.
Hal itu diakui Ketua Kamar Pidana Mahkamah Agung, H Suhadi. Menurut Suhadi, untuk tahun 2018 saja, ada ratusan posisi hakim yang masih lowong.
"Karena itu, proses rekrutmen harus tetap dilakukan. Tetap dengan cara yang ketat dan sesuai prosedur UU," terang Suhadi.
Suhadi melanjutkan, dalam proses seleksi calon hakim adhoc Tipikor 2018 saja, hanya lima orang hakim yang dinyatakan lolos dan layak menjadi hakim.
Untuk seleksi Calon Hakim Adhoc Tipikor 2018, ada sebanyak 300-an peminat yang mendaftarkan ke Panitia Seleksi (Pansel). Dari 300-an pelamar itu, yang lolos tes tertulis sebanyak 86 pelamar. Hingga tahap akhir, hanya lima calon hakim yang memenuhi kriteria dan lolos tahapan seleksi.
"Padahal, untuk hakim adhoc Tipikor 2018, kita membutuhkan sebanyak 35 hakim. Nyatanya, yang lolos sampai tahapan seleksi akhir ya hanya lima calon hakim. Masih banyak yang kosong," jelas Suhadi.
Suhadi yang juga Wakil Ketua Panitia Seleksi Calon Hakim Adhoc Tipikor 2018 itu merinci, saat ini ada 30 pengadilan, dengan masing-masing masih membutuhkan tiga sampai lima hakim.
Paling tidak, untuk kebutuhan di tingkat pertama Pengadilan Tipikor sebanyak tiga hakim. Untuk tingkat Pengadilan Tinggi masing-masing tiga hakim.
"Jadi kalikan saja, 30 Pengadilan Tipikor Tingkat I dan 30 Pengadilan Tinggi, masing-masing butuh 3 hakim, ya sekitar 300-an hakim lagi masih sangat diperlukan," urainya.
Sejak ditetapkannya UU Tipikor, lanjut Suhadi, generasi pertama hakim Tipikor sudah selesai masa tugasnya. Kini memasuki generasi kedua.
Bukan hanya untuk hakim Tipikor, menurut Suhadi, kebutuhan hakim untuk pengadilan kelautan, pengadilan lingkungan, pengadilan niaga pun sangat minim.
Saat ini, sudah ada 10 Pengadilan Kelautan dan Perikanan yang tersebar di Indonesia.
"Kita butuh 1000 sampai 1200-an hakim untuk ini. Dan sama sekali belum bisa dilakukan proses rekrutmen, karena belum siap," urainya.
[wid]