DALAM artikel terdahulu pernah dijelaskan bahwa radikalisme adalah salahÂsatu anak kandung globalÂisasi. Tidak semua negara sukses mengelola radikalÂisme. Indonesia, oleh para pengamat asing dianggap sebagai salahsatu negara yang sukses di dalam menÂerapkan program deradikalisasi di dalam menaÂta masyarakatnya. Program deradikalisasi di InÂdonesia tidak menimbulkan kesan deislamisasi atau dearabisasi. Kedua isu ini sering menjadi tantangan tersendiri di dalam mengelola deÂradikalisasi kelompok sempalan.
Di media-media sosial barat, sering menyudutkan Islam sebagai agama. Seolah-olah yang teroris agama Islam dan umat Islam hanya seÂbagai korban atau victim. Lebih khusus lagi keÂsan deradikalisasi ialah dearabisasi, dalam arti penafian terhadap atribut-atribut Arab. Tidak heran kalau yang sering disorot ialah ayat-ayat atau hadis-hadis yang dipenggal-penggal atau dihilangkan sabab nuzulnya, sehingga kehilanÂgan keutuhan konsep holistik ayat atau hadis tersebut.
Deradikalisasi yang berkeindonesiaan bertoÂlak dari kenyataan bahwa esensi dan substansi ajaran Islam, sebagaimana tercermin di dalam Al-Qur'an dan hadis, tidak pernah mengajarÂkan radikalisme apalagi terorisme. Yang menÂjadi masalah sesungguhnya ialah oknum yang memahami ayat-ayat dan hadis secara keliru atau sengaja untuk mendukung ideologi yang dikembangkan penganjurnya, seperti gerakan ISIS dan semacamnya, yang sekarang sedang hangat dibicarakan. Para penganjur Islam di Nusantara di Indonesia sejak awal tidak perÂnah menghalalkan segala cara di dalam meÂnyebarkan agama Islam. Para penganjur Islam pertama menganggap gerakan islamisasi harus dianggap sebagai sesuatu yang berkelanjutan (on-going process).
Jika peroses pengislaman pada masa Proto-Indonesia sebatas pengenalan doktrin dan filoÂsofi ajaran Islam yang diperkenalkan oleh orang-orang arif seperti para Wali Songo, maka pada masa-masa sesudahnya harus dilanjutkan denÂgan pemahaman dan kesadaran syari'ah yang lebih kontekstual, sebutlah yang berkeindoneÂsiaan. Para penganjur awal Islam di Nusantara kita telah mencatat sejarah gemilang, selain berhasil memperkenalkan dan sekaligus mengÂislamkan mayoritas penghuni bangsa IndoneÂsia, juga mereka berhasil melakukan peroses penusantaraan ajaran Islam di Indoneisa. Kata Nusantara lebih menyiratkan budaya maritime (maritime culture), yang lebih bercorak egaliÂterian sedangkan Islam ketika itu masih didanÂdadni dengan budaya continental (continental culture), yang sarat dengan kerumitan stratiÂfikasi sosial yang berlapis-lapis, sebagaimana lazimnya negara-negara daratan.
Meskipun pada umumnya para penganjur IsÂlam di masa awal itu adalah orang-orang Arab, Persia, dan India, tetapi rata-rata mereka merÂangkap sebagai pedagang yang sudah berÂpengalaman akrab dengan masyarakat nusanÂtara. Mereka memahami betul kondisi obyektif wilayah kepulauan Nusantara, sehingga merÂeka sadar bahwa tidak tepat meng-copy-paste ajaran Islam Timur-Tengah untuk serta merta dijabarkan di kepulauan Nusantara ini. MereÂka sadar dan memahami bentuk-bentuk keariÂfan local, sehingga mereka memandang perlu memperkenalkan Islam dari aspek doktrin dan nilai-nilai universalnya. Bukannya mereka meÂmulai dari konsep syari'ah yang cenderung muatan besarnya adalah fikih.
Ketika Indonesia merdeka, terjadilah perubaÂhan sosial di tengah masyarakat.