Mantan Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang bekerja sebagai Bendahara Kelurahan, Zaitul Akmam alias Imam berharap statusnya dikembalikan oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta.
Pria yang kesehariannya kini mencari makan dengan narik grab car itu telah menjalani hukuman menjadi pesakitan selama dua setengah tahun di Rumah Tahanan (Rutan) Cipinang.
Dia merasa dituduh korupsi berujung penjara di era Gubernur DKI Joko Widodo, yang kemudian dilanjutkan oleh Gubernur Basuki Tjahaya Purnama alias Ahok.
"Saya meminta status saya dipulihkan kembali," ujar Zaitul Akmam alias Imam, sembari menyetir mobil Grab-nya.
Pria kelahiran Padang, Sumatera Barat, 12 Februari 1968 itu sebelum ditangkap dan dipenjara, telah mengabdi sebagai aparatur sipil selama 28 tahun. Posisi terakhir Imam adalah sebagai bendahara di Kelurahan Ceger, Jakarta Timur.
Bukan hanya dirinya, lurahnya saat itu, Ucok Fanda Fadli Lubis juga ditangkap dan dipenjara.
Menurut Imam, baik dirinya maupun Ucok tidak melakukan tindak pidana korupsi sebagaimana dituduhkan. Hanya memang, laporan keuangannya dipermasalahkan waktu itu.
"Saat itu, saya kesulitan menjelaskan ada anggaran 2012, ada sekitar Rp 20 juta saya kesulitan menjelaskan. Anggaran macam-macam, ada untuk urusan kesehatan kelurahan, ada untuk penyuluhan, ada untuk penyelenggara aparatur di kelurahan," ulasnya.
Entah kenapa, saat Ahok menjabat sebagai gubernur DKI Jakarta, menurut Imam, sasaran politik dan hukum lebih banyak disoroti ke wilayah Jaktim.
Pada 2012 itu, ada lima lurah dan bendaharanya yang ditangkap dan dituduh korupsi. Mereka adalah Lurah Pulogadung, Tema bersama bendahara kelurahannya Meidi. Kemudian, Lurah Ceger Fanda Fadli Lubis bersama bendaharanya Zaitul Akmam, Lurah Cijantung Edi bersama bendaharanya Saiful, Lurah Kayu Putih Rosidah bersama bendaharanya Saodah dan Lurah Jati Samsidi.
"Kalau Lurah Jati, bendaharanya waktu itu janda beranak satu. Lupa saya namanya," tutur Imam.
Dari lima kelurahan itu, ada yang tidak ditangkap. "Bendahara Kelurahan Kayu Putih kalau tidak salah karena suaminya polisi atau apa gitu, dan lagi hamil," tutur Imam.
Imam tinggal bersama anak istrinya di Cililitan, Jaktim. Sejak selesai menjalani hukuman dan keluar penjara pada 8 Juni 2016 lalu, Imam menghidupi diri dan keluarganya dengan bekerja serabutan. "Baru setahun ini saya narik grab," ujarnya.
Imam memiliki tiga orang anak yakni anak pertama seorang putra berusia 22 tahun, dua orang putri masing-masing usia 17 tahun dan 14 tahun.
Imam datang ke Jakarta pada tahun 1977. Dia diangkat sebagai PNS pada tahun 1988. "Saat itu gaji masih Rp 75 ribu per bulan," ujarnya.
Dia ingin membuktikan bahwa dirinya tidak korupsi. Dia pun berharap statusnya dipulihkan kembali sebagai PNS.
"Saya tetap berjuang sendiri. Kalau teman-teman yang lainnya, kurang tahu. Mungkin sudah nyerah. Tapi kalau saya, saya akan berjuang," ujarnya.
Menjalani hukuman sebagai narapidana korupsi, Imam dan rekan-rekannya ditempatkan di bagian Blok Rutan khusus terpidana korupsi di Cipinang. Saat itu ada sebanyak 3.500 napi di Cipinang. Ia memiliki keterampilan bernyanyi, dan sering tampil untuk menghibur diri dan kawan-kawannya sesama napi.
Menjelang dirinya habis masa hukuman, Imam berhasil mengumpulkan uang sekitar Rp 80 juta.
"Saya dikenal di rutan, saya izin ke penjaga kalau ada kegiatan-kegiatan, saya nyanyi di hadapan sekitar 3500 napi. Pas saya keluar, ada saja teman-teman yang janji bantu uang ke saya. Ada yang kasih sejuta, dua juta, lima juta," tuturnya.
Nah, dari kebaikan teman-temannya itulah Imam berani mengredit mobil untuk grab car. "Saya sudah tak punya pekerjaan, tak punya uang, ya saya jadikan uang muka buat beli grab," ujar Imam.
Imam hanya mampu memenuhi kebutuhan makan sehari-hari dari menarik grab.
"Semoga Pak Anies mau mendengar saya. Dan mengembalikan status saya," pintanya.
Sejak kena kasus hukum itu bergulir, ia tidak mendapat bantuan hukum dari institusinya di Pemerintahan Provinsi DKI. Setidaknya tiga kali ia dikenai hukuman. Pertama, jabatannya hilang, kedua didenda membayar Rp 250 juta dan terakhir dipecat dengan tidak hormat.
Sewaktu masih di dalam penjara, Imam menyurati Gubernur DKI Jakarta yang saat itu sudah dijabat oleh Ahok. Dia meminta agar dirinya tidak dipecat.
"Saat itu saya masih mendapat jatah gaji, sebesar 75 persen. Saya minta istri dan anak saya yang menyurati Ahok," terang Imam.
Jadi, ketika masih di dalam penjara, Imam masih berstatus PNS. Sedangkan teman-temannya lainnya langsung mendapat pemecatan.
"Saya tidak tahu, apakah karena saya menyurati Gubernur? Saya masih dapat gaji meski Cuma 75 persennya saja," katanya.
Imam juga mengadukan statusnya ke Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN). Namun tidak mendapat tanggapan. Bahkan, seingat Imam, sebelum dijatuhi hukuman, ia dan beberapa kawannya yang memiliki nasib serupa dua kali mendatangi Balaikota, Kantor Gubernur untuk ketemu Ahok.
"Pagi-pagi sudah di Balaikota saya,
nungguin Pak Ahok. Dia bilang nanti dicek dulu," ujar Imam.
Imam ketika itu percaya tidak akan dipecat dari PNS mengacu hasil sidang yang digelar di kelurahan. Sehari setelah keluar penjara, yakni 9 Juni 2016, Imam mendatangi Kelurahan Ceger tempat dia mengabdi. Ternyata namanya sudah tidak ada.
Kemudian, pada 1 Agustus 2016, Imam ditelepon oleh pihak Walikota Jakarta Timur. Saat itu, Sekretaris Kota (Seko) Jaktim, meminta bertemu. Dalam pertemuan itu, Seko menyampaikan permohonan maafnya dan memastikan bahwa Imam telah diberhentikan.
"Kata Seko waktu itu, inilah pekerjaan yang sangat saya benci. Mohon maaf," ujar Imam mengingat ucapan Seko kala itu.
Imam resmi diberhentikan dari PNS pada 10 Juni 2016, melalui Surat Keputusan yang diterimanya. Imam tak menyerah, dia masih melacak data dan informasi yang menguatkan dirinya.
"Saya menempuh jalur hukum. Sebab katanya 90 hari sejak putusan, bisa upaya hukum ke PTUN,†katanya.
Pada 26 Juni 2016, Imam masih menyurati Ahok dan bertemu. Dia juga menyusuri ke Tim Gubernur Untuk Percepatan Pembangunan (TGUPP), ke Badan Kepegawaian Daerah (BKD) ke Biro Hukum dan SDM Pemprov DKI Jakarta. "Jawabannya
ngambang semuanya," ujar Imam.
Para lurah dan bendahara kelurahan di wilayah Jakarta Timur itu didakwa menyelewengkan anggaran kelurahan.
Lurah Ceger, Cipayung, Jakarta Timur, Fanda Fadly Lubis dan Bendahara Kelurahan Ceger, Zaitul Akmam dituduh menyelewengkan tujuh mata anggaran kelurahan. Anggaran tersebut berasal dari pagu anggaran APBD DKI Jakarta tahun 2012 dan tercantum dalam Dokumen Pelaksanaan Anggaran (DPA).
Tujuh kegiatan yang diselewengkan tersebut antara lain, Gerakan Sayang Ibu dengan anggaran Rp 20.165.000; Pemahaman Kebangsaan Rp 74.000.000; SDM Kemasyarakatan Rp 110.802.720; Penyuluhan Kesehatan Rp 53.000.000; Wawasan Bagi Aparatur Kelurahan Rp 78.175.900; Kewirausahaan Bagi Ekonomi Lemah Rp 48.554.000; dan Pengadaan Bahan Baku Bangunan Kegiatan Kerja Bakti Minggu Pagi Rp 70.000.000.
Anggaran yang diselewengkan itu mencapai lebih dari Rp 450 juta dari total DPA Kelurahan Ceger sebesar sekitar Rp 2,3 miliar untuk tahun anggaran tahun 2012.
[wid]