Melemahnya pertumbuhan ekonomi China ke bawah 7 persen berbuntut pada penurunan permintaan sejumlah komoditas, termasuk batubara. Imbasnya, Negeri Tembok Raksasa itu pun mengurangi impor emas hitam, termasuk dari Indonesia. Pengusaha batubara pun kelimpungan.
Direktur Eksekutif Asosiasi Pengusaha Batubara Indonesia (APBI) Hendra Sinadia mengaÂtakan, situasi lebih berat dialami untuk produksi batubara berkalori rendah. "Antisipasinya kami belum tahu," ujarnya di Jakarta, kemarin.
Menurut Hendra, pembatasan impor tersebut telah mengacauÂkan pemetaan pasar ekspor bagi industri batubara di Indonesia. "Selama ini, China merupakan pasar ekspor terbesar komoditas ini bagi Indonesia, dan umumnya ekspor batubara kalori renÂdah," ungkapnya.
Apalagi, belum ada kepastian waktu, kapan China akan menÂcabut pembatasan impor ini. Sebab, pembatasan impor tidak keluar dalam bentuk regulasi. Namun, hanya semacam instruksi yang diberikan kepada berbagai pelabuhan di China.
Situasi makin rumit lantaran akhir tahun merupakan waktu perusahaan untuk mengajukan rancangan kerja dan anggaran biaya (RKAB). Hal ini memÂbuat perusahaan kesulitan untuk memetakan pasar ekspor di tahun depan. Sementara mengubah pasar ekspor ke negara lain tidak mudah karena perlu waktu lama untuk memastikan kebutuhan batubara di sana.
Hendra mengungkapkan, selaÂma ini Indonesia mengirim sekiÂtar 30 persen dari total produksi batubara ke China. "Menghadapi masalah ini, kami meminta peÂmerintah China tetap memprioriÂtaskan komoditas batubara dari Indonesia," tukasnya.
Selain mengurangi permintaan, pembatasan impor dari China juga menjadi salah satu faktor harga baÂtubara acuan (HBA) menurun seirÂing pasokan yang melimpah. HBA periode Desember 2018 sesuai Keputusan Kementerian ESDM Nomor 1410 K/30/MEM/2018 turun 5,5 persen dari bulan lalu menjadi 92,51 dolar AS per ton. Ini merupakan level terendah dalam enam bulan terakhir.
Jika dihitung sejak awal tahun, HBA Januari sebesar 95,45 dolar AS per ton. Lalu, naik pada FebÂruari mencapai 100,69 dolar AS. Sebulan kemudian turun 94,75 dolar AS per ton. Kemudian, periode April 101,86 dolar AS per ton. Setelah itu turun lagi ke level terendah pada Mei.
Harga batubara mulai bangÂkit pada periode Juni hingga 100,69 dolar AS per ton. Harga ini kemudian menanjak menjadi 104,65 dolar AS per ton pada Juli. Agustus juga masih naik 107,83 dolar AS per ton.
Namun, September turun jadi 104,81 dolar AS per ton. PenuÂrunan harga berlangsung hingga Oktober mencapai 100,89 dolar AS per ton. Lalu, pada November tinggal 97,90 dolar AS per ton.
Direktur Utama PT Atria Multi Energi (Atria) Denny Chandra mengatakan, pasar batubara dalam negeri masih sangat menÂjanjikan. Sehingga, pembatasan impor China tidak mengganggu kinerja perusahaan.
"Pasar utama kami adalah industri atau manufaktur di Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Banten. Mereka membutuhkan kualitas batubara yang cukup baik seperti produk kami," ujarnya.
Melihat permintaan yang cukup tinggi, jelas dia, Atria bakal merangsek ke semua segmen jenis batubara. Mulai dari batubara berkalori 4.000 hingga 6.000. "Guna menjamin ketersediaan pasokan, kami juga memiliki gudang di Sidoarjo, Jawa Timur," ujar Denny.
Produksi 441,85 Juta TonKementerian ESDM mencatat, realisasi produksi batubara samÂpai akhir November mencapai 441,85 juta ton. Jumlah ini setara 90 persen target yang dibidik pada tahun ini sebanyak 485 juta ton.
Porsi batubara untuk meÂmenuhi kewajiban pasok di dalam negeri (
domestic marÂket obligation/DMO) sebesar 100,37 juta ton dari realisasi produksi per bulan lalu. JumlahÂnya setara dengan 22,6 persen dari total produksi. Sementara itu, sebanyak 341,48 juta ton lainnya diekspor, kuantitas ini mendekati target 364 juta ton.
Batubara yang dipasok untuk kebutuhan domestik mayoritas diserap sektor kelistrikan, semiÂsal untuk bahan bakar pembangÂkit 82,3 juta ton. Sebanyak 18,07 juta ton disalurkan ke industri lain, seperti pertekstilan, semen, dan briket.
Kepala Biro Komunikasi, Layanan Informasi Publik, dan Kerja Sama Kementerian ESDM Agung Pribadi mengatakan, meskipun realisasi produksi per November mencapai 90 persen target, tetapi belum dipastikan realisasi pada penghujung tahun sesuai target atau tidak.
Hal tersebut lantaran jumlah produksi batubara yang ada sekarang belum semuanya terÂdata. "Sedangkan untuk IUP (Izin Usaha Pertambangan) daerah masih hingga September. PKP2B dan IUPOP sampai NoÂvember," kata Agung.
Pada sisi lain, pemerintah sebenarnya membuka peluang tambahan sampai dengan 100 juta ton tanpa kewajiban meÂmasok ke dalam negeri. Tapi, volume yang diajukan pelaku industri dan disetujui KementeÂrian ESDM hanya 21,9 juta ton hingga akhir tahun ini. ***