Indonesia baru saja merayakan kembalinya Blok Rokan dan Blok Mahakam ke pangkuan bumi pertiwi beberapa waktu lalu usai berakhirnya kontak karya (KK).
Kedua blok ini kembali ke Indonesia setelah sekian lama dikelola asing. Blok Rokan dikelola Chevron, perusahaan asal AS, sementara Blok Mahakam dikelola Total, perusahaan asal Prancis.
Kembalinya kepemilikan kedua Blok ini merupakan prestasi bangsa, namun tidak bisa mengharapkan ketentuan yang sama berlaku pada PT Freeport Indonesia (PTFI).
Bukanlah suatu kebetulan bagi Blok Rokan maupun Blok Mahakam dapat kembali ke Indonesia secara otomatis selepas habisnya kontrak untuk kemudian dikelola oleh Pertamina. Perusahaan asing yang bergerak di sektor minyak dan gas (migas) memang diharuskan untuk menjadi milik Indonesia setelah KK berakhir.
Dalam peralihan ini, pemerintah tidak mengeluarkan biaya apapun. Sebab aset perusahaan migas dimiliki sepenuhnya oleh pemerintah setelah sebelumnya membayar kontraktor lewat skema cost recovery senilai miliaran dolar AS per tahunnya.
Sedangkan pada sektor pertambangan, PTFI yang dikendalikan oleh Freeport McMoran (FCX) beroperasi berdasarkan KK yang ditandatangani pada 31 Desember 1991. KK tersebut seharusnya memang berakhir pada 2021. Namun, dalam hal ini terdapat perbedaan antara pemerintah dan raksasa tambang Amerika Freeport McMoRan (FCX), pemilik mayoritas PTFI, dalam menafsirkan substansi KK.
FCX menafsirkan, mereka berhak mendapatkan perpanjangan KK hingga 2041 dan pemerintah tidak akan menahan atau menunda persetujuan tersebut secara "tidak wajar".
Berdasarkan pengertian dari FCX, jika pemerintah tidak memperpanjang kontrak sampai tahun 2041, maka akan menjadi landasan dasar bagi FCX untuk membawa masalah tersebut ke arbitrase internasional. Peluang pemerintah untuk memenangkan arbitrase tidak terjamin.
Jika kalah, pemerintah tidak hanya diwajibkan membayar ganti rugi senilai miliaran dolar AS ke FCX, tapi juga seluruh aset pemerintah di luar negeri dapat disita.
Sekalipun menang, pemerintah Indonesia tetap harus membeli aset PTFI minimal sebesar nilai buku berdasarkan laporan keuangan audited 2017, yang diestimasi lebih dari 6 miliar dolar AS. Selain itu, proses panjang arbitrase akan berdampak pada ketidakpastian operasi serta membahayakan kelangsungan tambang deposit emas terbesar di dunia tersebut.
Tak cuma itu pemerintah juga masih harus membeli infrastruktur jaringan listrik di area penambangan yang nilainya lebih dari Rp 2 triliun. Justru dengan membayar Rp 55 triliun, PT Inalum Persero akan mendapatkan keuntungan yang berlipat.
Dalam dengar pendapat dengan Komisi 7 DPR baru-baru ini, perusahaan tersebut akan mendapatkan kekayaan tambang yang terdiri dari emas, perunggu dan perak senilai lebih dari Rp 2,175 triliun.
Diperkirakan setelah tahun 2022, Holding Industri Pertambangan tersebut juga akan mendapatkan Iaba bersih dari kekayaan tambang PTFI yang mencapai Rp 58 triliun per tahunnya.
[dob]