MY friend, Ibu Ade Kadeer puteri tokoh politik era Sukarno, mengatakan oposisi jangan mainkan kartu ras dan agama.
Those two are deadly cards. Bunuh diri. Overdosis agama, bagi sebagian orang, membuat suasana tidak nyaman.
"Fokus di soal penegakan hukum, ekonomi dan korupsi," kata Kadeer.
Chen Yi Jing alias Chandra Suwondo dari Glodok menyatakan risih dengan istilah "aseng".
"Bisa backfired, kalo rasisme anti-china diekspresikan secara eksesif," tutur Mr Chen.
Menurut saya, primordialisme bersifat inherent. Saya sering banget dimaki "cina-bangsat" dan "china penghasut" oleh antek-antek Jokowi.
Padahal, saya cuma seorang "agitator-cum-propagandist". "Intellectual organic" kalo pake istilah Gramsci. He he he...Kidding.
Filosofi Tao mengajarkan "Neither Yin nor Yang is absolute".
Tionghoa, sama seperti suku lain, ada yang jahat dan ada yang baik.
Chinese plutocrats dan komprador adalah variable dari
the totally of Chinese yang harus diperangi. Mereka tidak membantu upaya mensejahterakan kaum bumi putera.
America is not singular society. Ada faksi Democrat dan Republic. Di sana juga ada socialist, komunis, liberal, copet, hawkis, KKK, Negro, hispanic, atheis, puritan dan Mormonism.
Trump diserang sebagai rascist, anti muslim, mysoginist, dan pervert. Faktanya, dia anti ilegal immigrant. Ada banyak
Black Brown American di barisan Trump:
Make America Great Again.
Pelan tapi pasti, semakin banyak orang Tionghoa dan Kafeer berada di barisan Oposisi Prabowo-Sandi.
Pajak tinggi, devided nation, korupsi, masalah gap kaya-miskin, dan Faktor Kyai Maruf (75 tahun), YIM, Kapitra Ampera, Ngabalin triger backlash kekuatan Jokowi.
Karena itu, hendaknya jangan dirusak oleh ekspresi rasisme dan ketololan yang tidak perlu. Menyitir Andi Arief, "Kita bisa menang besar".
Penulis adalah kolumnis dan aktvis Komunitas Tionghoa Anti-Korupsi (Komtak)