Laporan neraca perdagangan Oktober cukup mengagetkan. Alih-alih bisa mencatatkan surplus lebih baik dari bulan lalu, eh malah mengalami defisit. Bahkan, tercatat lebih buruk kedua sepanjang tahun ini.
Upaya pemerintah mengerem impor belum menunjukkan haÂsil memuaskan. Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan, neraca perdagangan Oktober 2018 defisit sebesar defisit 1,82 miliar dolar AS.
"Defisit disumbang (terutama) dari neraca migas sebesar 1,42 miliar dolar AS. Karena, deÂfisit neraca non migas (hanya) sebesar 393,2 juta dolar AS. DeÂfisit ini menjadi PR bagaimana untuk menurunkannya," ungkap Kepala BPS Kecuk Suhariyanto dalam jumpa pers di Jakarta, kemarin.
Kecuk berharap, ke depan neraca dagang bisa lebih baik. Apalagi kini sudah ada kebijakan untuk mengendalikan neraca perdagangan.
Kecuk memaparkan, impor migas terdiri atas impor minyak mentah sebesar 878,4 juta dolar AS, impor hasil minyak menÂcapai 1,71 miliar dolar AS dan impor gas sebanyak 311,2 juta dolar AS. Sementara untuk ekspor migas terdiri dari ekspor minyak mentah sebesar 418,8 juta dolar AS, ekspor hasil minyak mencapai 110,6 juta dan ekspor gas 952,2 juta dolar AS.
"Yang membuat defisit dari sektor migas sedikit tertekan adalah nilai ekspor gas yang naik 49,3 persen dan memberikan sumbangan surplus," ujarnya.
Untuk nilai impor non migas, lanjut Kecuk, mencapai 14,7 miliar dolar AS. Impor non migas juga ikut memberikan sumbangan pada defisit neraca perdagangan. Karena ekspor non migas hanya tercatat 14,3 miliar dolar AS.
Secara keseluruhan, BPS menÂcatat nilai ekspor mencapai 15,8 miliar dolar AS dan impor sebeÂsar 17,6 miliar dolar AS pada Oktober 2018. Dengan demikian, secara kumulatif, Januari-OktoÂber 2018, neraca perdagangan tercatat masih defisit sebesar 5,5 miliar dolar AS.
Lebih rinci, Kecuk menerangÂkan, berdasarkan sektornya, ekspor pertanian pada OktoÂber tercatat 320 juta dolar AS. Jumlah itu turun 0,92 persen dari bulan lalu. Penyebabnya ekspor kakao, mutiara dan sayur-sayuran, mengalami penurunan. Ekspor pertanian secara tahuÂnan juga menurun 9,52 persen didorong oleh penurunan ekspor kopi, kakao dan mutiara.
Kemudian, ekspor industri pengolahan meningkat 6,40 persen menjadi 11,59 miliar dolar AS disumbang oleh ekspor perhiasan, sepatu olahraga, kenÂdaraan serta bagiannya dan lain sebagainya.
Secara tahunan, ekspor inÂdustri pengolahan meningkat 5,71 persen. Ekspor tambang tercatat menurun pada bulan Oktober sebesar 0,58 persen menjadi 2,41 miliar dolar AS dan tahunannya juga menurun 1,58 persen. Walau menurun, kontriÂbusi sektor tambang dan lainnya cukup besar peningkatannya pada Januari hingga Oktober ini sebesar 24,70 miliar dolar AS naik 27,46 persen pada periode yang sama tahun lalu sebesar 19,38 miliar dolar AS.
Seperti diketahui, pemerintah sudah mengeluarkan sejumlah kebijakan untuk mengerem impor untuk menekan defisit. Antara lain, menaikkan tarif impor. Dan menjalankan proÂgram B20 (bahan bakar dengan campuran minyak nabati sebesar 20 persen). Sayangnya alih-alih membaik, jika dilihat secara keÂseluruhan, neraca perdagangan Oktober terparah kedua setelah Juli 2018 sebesar,2 03 miliar dolar AS. Capaian Oktober juga timpang bila dibandingkan bulan sebelumnya yang surplus 310 juta dolar AS.
Jonan Sentil Ekspor
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Ignasius Jonan menilai, masalah deÂfisit neraca perdagangan bukan karena konsumsi minyak yang terlalu tinggi tapi ekspor yang tidak maksimal. Menurutnya, jika impor migas membebani neraca perdagangan, seharusnya bisa diatasi dengan menggenjot ekspor non migas. SayangÂnya, ekspor non migas masih kurang.
Jonan mencontohkan neraca Singapura dan Hong Kong. "Singapura punya minyak nggak? Itu impor semua kan. Kenapa mata uangnya masih kuat? (ekspornya tinggi) Iya. Hong Kong punya nggak?" terangnya.
Contoh lain China. Jonan menyebut impor migas negari Tirai Bambu lebih besar dari Indonesia tapi mereka bisa mengekspor komoditas nonmiÂgas lebih besar.
"China coba impor minyaknya berapa, cek sehari berapa mungkin 3 juta tapi ekspornya besar dari produk lainnya. Kan minyak itu adalah salah satu bahan untuk produksi dalam perspektif yang luas ya," sebutÂnya.
Jonan menambahkan, impor minyak dan BBM dikonsumsi untuk kegiatan produktif. Tanpa bahan bakar yang memadai, sekÂtor usaha lain tidak bisa berjalan. "Kan impor minyak ini nggak untuk diminum ini, kan ini seÂbagai alat produksi, walaupun digunakan oleh konsumen itu kan digunakan untuk berkegiaÂtan," pungkasnya. ***