Belasan warga Papua dan Papua Barat mendatangi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan untuk melaporkan perusahaan yang telah merampas tanah adat.
"Karena ini sudah menyangkut tanah dan hutan kami maka saya jauh-jauh datang kemari," kata Bernadus Gilik, salah satu masyarakat adat Suku Moi dari Sorong.
Dalam kesempatan itu, mereka ditemui Kepala Subdit Perubahan Peruntukkan dan Fungsi Kawasan Hutan Sigit Nugroho. Setiap perwakilan menyampaikan protes tentang praktik perusahaan yang menurut mereka telah menipu warga dan merusak lingkungan.
"Kami menyayangkan adanya pembukaan lahan dan perizinan usaha tanpa adanya mufakat dengan masyarakat adat. Akibat dari perampasan lahan ini masyarakat menjadi tergusur dan kehilangan hasil hutan, seperti sagu dan hewan. Kami juga diintimidasi dan mengalami kekerasan karena memprotes perusahaan," papar Bernadus.
Lidya Monalisa Upuya dari KPKC GKI di Tanah Papua menambahkan bahwa mereka memiliki beberapa permintaan kepada pemerintah pusat.
Yakni meminta pemerintah mengakui dan menghormati keberadaan kedaulatan dan hak-hak orang asli Papua atas tanah dan hutan adat, meminta pemerintah mencabut segala perizinan usaha yang merugikan masyarakat, meminta pemerintah melakukan audit dampak aktivitas perusahaan terhadap lingkungan sehingga dapat memberikan sanksi kepada perusahaan.
Kemudian meminta pemerintah melakukan rehabilitasi hutan dan insentif program untuk mengganti kerugian masyarakat adat, meminta pemerintah tidak menggunakan pendekatan keamanan, intimidasi dan kekerasan dalam menyelesaikan sengketa dan protes masyarakat. Serta meminta pemerintah menyelesaikan berbagai sengketa dengan menggunakan sistem hukum dan peradilan adat, dan melindungi para pembela hak asasi manusia dan lingkungan di Tanah Papua.
"Kami tegaskan Papua bukan tanah kosong. Kami meminta pemerintah selalu menghormati hak-hak kami dan selalu melibatkan orang asli Papua dalam melakukan pembangunan dan pemanfaatan kekayaan alam di Tanah Papua," jelas Lidya kepada redaksi, Kamis (15/11).
[wah]