Peringkat kemudahan berbisnis Indonesia 2019 kurang menggembirakan. Merosot satu peringakat tahun ini. Pemicunya antara lain, ngurus perizinan konstruksi makan waktu lama, lebih dari enam bulan.
Dalam rilis terbaru World Bank (Bank Dunia) tentang peringkat kemudahan berbisnis atau Ease of Doing Business (EoDB) 2019, Indonesia berada di posisi 73 dari 190 negara. Turun satu peringkat dari urutan 72. Meskipun dari sisi skor, naik 1,42 persen dari 66,54 menjadi 67,96.
Di tingkat ASEAN, Indonesia kalah dari Vietnam di peringÂkat 69, Thailand di urutan 27, Malaysia di posisi 15, dan SinÂgapura peringkat 2.
Kepala Perwakilan Bank Dunia untuk Indonesia dan Timor-Leste Rodrigo AChaves mengungkapkan, peringkat InÂdonesia turun karena peningkaÂtan skor kemudahan berbisnis Indonesia tidak sebesar capaian beberapa negara lain.
"Jika dibandingkan sebelumÂnya, kenaikan skor Indonesia juga cukup rendah. Tahun lalu peningkatan skor mencapai 66 persen, tahun ini hanya 1,42 persen saja," ungkap Chaves.
Namun demikian, Chaves menilai Indonesia terus beruÂpaya meningkatkan iklim usaha. Selain itu, terus berupaya menÂgurangi kesenjangan dengan meÂregulasi usaha kecil dan menenÂgah (UMKM) domestik. Upaya itu, menurutnya, berbuah hasil. Negara mengambil manfaat dari peningkatan keterbukaan terhadap investor global.
Dalam laporan EoDB 2019, Bank Dunia merincikan capaian-capaian positif di Indonesia. Antara lain, indikator Indonesia dalam mendapatkan pinjaman kini semakin membaik. PerÂbaikan tersebut ikut membantu mengurangi ketimpangan inÂformasi, meningkatkan akses kredit bagi perusahaan kecil, menurunkan suku bunga, meninÂgkatkan disiplin peminjam, dan pemantauan risiko kredit.
Selain soal pinjaman, Bank Dunia mendapati perbaikan pendaftaran properti menjadi lebih mudah. Hal itu membuat waktu untuk menyelesaikan sengketa tanah di pengadilan tingkat pertama.
Izin Konstruksi Lelet Analis Bank Dunia Erick Tjong mengungkapkan sejumlah indikator yang skornya renÂdah di Indonesia. Antara lain, Penegakan Kontrak (
Enforcing Contracts), Pendaftaran PropÂerti (
Registering Property), dan Izin Konstruksi (
Construction Permits).
"Rata-rata waktu yang dibuÂtuhkan untuk mengurus perizÂinan konstruksi di Indonesia lebih dari enam bulan, ini lebih tinggi dari rata-rata di negara regional. Begitu juga dengan biayanya yang lebih tinggi dua kali lipat," ujarnya.
Dalam laporan, waktu yang dibutuhkan untuk mengurus perizinan konstruksi di Jakarta dan Surabaya masing-masing adalah 191 hari dan 232,5 hari. Sementara, rata-rata di negara Asia Timur dan Pasifik hanya perlu 133,5 hari.
Sementara, biaya yang dibuÂtuhkan di Jakarta dan Surabaya mencapai 4,6 persen dan 3,8 persen dari nilai bangunan gudang (
warehouse). Rata-rata negara regional hanya memerlukan biaya 1,9 persen dari nilai bangunan gudang. ***