Berita

Foto/Net

Bisnis

Surplus Beras Nggak Jamin Ngerem Impor

BPS Beberkan Metode Baru Ngitung Produksi Padi
KAMIS, 25 OKTOBER 2018 | 09:50 WIB | HARIAN RAKYAT MERDEKA

Surplus beras tidak menjamin pemerintah tidak melakukan impor. Sebab kebijakan tersebut diputuskan tidak hanya berdasarkan jumlah produksi. Tetapi juga stok dimiliki Perum Bulog.
 
Badan Pusat Statistik (BPS) menggunakan metode baru da­lam menghitung hasil produksi padi. Hasilnya, lembaga tersebut mencatat, tahun ini Indonesia surplus beras sebesar 2,85 juta ton. Hasil penghitungan tersebut menimbulkan pertanyaan dari banyak kalangan. Surplus kok masih impor?

Kepala BPS Kecuk Suhari­yanto menjelaskan, impor di­lakukan karena hasil produksi tidak dikuasai seluruhnya oleh Perum Bulog.


"Kenapa masih impor? Karena surplus (beras) ini tidak ter­letak di satu tempat. Surplus (keberadaannya) tersebar di petani, konsumen, pedagang, penggilingan sehingga, tidak bisa dijadikan sebagai acuan cadangan beras nasional. Itu tidak bisa dikelola pemerintah," ungkap Kecuk dalam jumpa pers mengenai metode baru penghitungan produksi padi, di Jakarta, kemarin.

Kecuk menuturkan, keterse­diaan atau stok beras di Bulog merupakan acuan pemerintah untuk menentukan kebijakan impor. Jika beras di Bulog kurang dari 1 juta ton, maka pilihan terakhir adalah melaku­kan impor. Menurutnya, Bulog memiliki ketersediaan stok yang cukup sejatinya untuk banyak tujuan baik. Antara lain, operasi pasar, distribusi ke daerah bencana alam dan keperluan lainnya.

"Ketika pemerintah perlu melakukan intervensi, enggak mungkin kita ambilin stok di masyarakat, kita hanya bergan­tung pada jumlah stok di Bulog," terangnya.

Soal metode penghitungan baru, Kecuk menerangkan, pihaknya menggunakan me­tode Kerangka Sampel Area (KSA). Perbaikan metode sudah dilakukan sejak tahun 2015. Bekerja sama dengan Japan In­ternational Cooperation Agency (JICA), Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Na­sional (Kementerian ATR/BPN), Badan Informasi dan Geospasial (BIG), serta Lembaga Pener­bangan dan Antariksa Nasional (Lapan).

"Latar belakang kenapa me­tode produksi beras perlu diper­baiki adalah sejak 1997 banyak pihak menduga bahwa perhi­tungan data produksi itu kurang tepat. Seperti dikatakan Wapres, yang ingin saya tekankan seka­rang, mari lupakan masa lalu," imbuhnya.

KSA merupakan metode per­hitungan luas panen khususnya tanaman padi dengan meman­faatkan teknologi citra satelit yang berasal dari BIG dan peta lahan baku sawah yang berasal dari Kementerian ATR.

Kecuk memastikan, penghitungan KSA lebih baik. "Metodologi yang digunakan menghitung data beras harus sesuai ukuran, obyektif dan subyektif. Metodologi harus transparan. Metode bisa dicek siapa pun sehingga tidak akan ada dispute yang menghabiskan energi," ujarnya.

Dirincikannya, pada tahap awal KSA dilakukan di 16 provinsi sentra produksi beras, luas baku lahan sawah yang ber­hasil diverifikasi sejauh ini men­capai 7,1 juta hektare (Ha) dari semula 7,5 juta hektare (ha).

Dengan begitu, luas panen tahun 2018 diperkirakan 10,9 juta ha. Untuk produksi padinya sebanyak 56,54 juta ton gabah kering giling (GKG) atau setara 32,42 juta ton beras. Dengan asumsi konsumsi beras nasional 29,57 juta ton per tahun sehingga ada surplus sebesar 2,85 juta ton. Angka ini jauh lebih rendah dibandingkan rilis Kementerian Pertanian (Kementan) sebesar 13,03 juta ton.

Protes Hitungan BPS


Ketua Umum Kelompok Tani Nelayan Andalan (KTNA) Wi­narno Tohir memprotes data produksi beras terbaru BPS. Menurutnya, surplus beras bu­kan 2,85 juta ton tetapi lebih besar.

"Jika menghitung stok di rumah tangga petani sebanyak 15 juta keluarga atau setara 6,2 juta ton pada 2017 ditambah stok di masyarakat 8,2 juta ton maka totalnya 17,2 juta ton. Tidak mungkin surplus hanya 2,8 juta ton," tegasnya.

Selain itu, Winarno mengeluhkan belum adanya perbaikan harga beli gabah petani. Menu­rutnya, perbaikan harga beli gabah petani tidak kalah lebih penting dari perbaikan data perberasan.

Winarno menjelaskan, harga gabah kering petani (GKP) yang ditetapkan Inpres No. 5 Tahun 2015 sebesar Rp 3.700 per kilo gram (kg) dan beras Rp 7.400 per kg.

"Petani tidak minta naik harga, tapi penyesuaian harga dari inflasi 2015 dikumulasi sampai sekarang. Idealnya harga GKP Rp 4.200 per kg. Harga itu sama dengan nilai Rp 3.700/kg pada 2015. Angka beda tapi nilai sama dan itu justru diartikan naik," pungkasnya. ***

Populer

Ketika Kebenaran Nasib Buruh Migran Dianggap Ancaman

Sabtu, 20 Desember 2025 | 12:33

OTT KPK juga Tangkap Haji Kunang Ayah Bupati Bekasi

Jumat, 19 Desember 2025 | 03:10

Uang yang Diamankan dari Rumah Pribadi SF Hariyanto Diduga Hasil Pemerasan

Rabu, 17 Desember 2025 | 08:37

OTT Beruntun! Giliran Jaksa di Bekasi Ditangkap KPK

Kamis, 18 Desember 2025 | 20:29

Tamparan bagi Negara: WNA China Ilegal Berani Serang Prajurit TNI di Ketapang

Sabtu, 20 Desember 2025 | 09:26

Kejagung Ancam Tak Perpanjang Tugas Jaksa di KPK

Sabtu, 20 Desember 2025 | 16:35

Tunjuk Ara di Depan Luhut

Senin, 15 Desember 2025 | 21:49

UPDATE

Perbankan Nasional Didorong Lebih Sehat dan Tangguh di 2026

Senin, 22 Desember 2025 | 08:06

Paus Leo XIV Panggil Kardinal di Seluruh Dunia ke Vatikan

Senin, 22 Desember 2025 | 08:00

Implementasi KHL dalam Perspektif Konstitusi: Sinergi Pekerja, Pengusaha, dan Negara

Senin, 22 Desember 2025 | 07:45

FLPP Pecah Rekor, Ribuan MBR Miliki Rumah

Senin, 22 Desember 2025 | 07:24

Jaksa Yadyn Soal Tarik Jaksa dari KPK: Fitnah!

Senin, 22 Desember 2025 | 07:15

Sanad Tarekat PUI

Senin, 22 Desember 2025 | 07:10

Kemenkop–DJP Bangun Ekosistem Data untuk Percepatan Digitalisasi Koperasi

Senin, 22 Desember 2025 | 07:00

FDII 2025 Angkat Kisah Rempah Kenang Kejayaan Nusantara

Senin, 22 Desember 2025 | 06:56

Polemik Homebase Dosen di Indonesia

Senin, 22 Desember 2025 | 06:30

KKP Bidik 35 Titik Pesisir Indonesia Buat KNMP Tahap Dua

Senin, 22 Desember 2025 | 05:59

Selengkapnya