Klarifikasi auditor Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Laode Nusriadi terkait temuan angka Rp 185 triliun akibat kerusakan ekosistem oleh aktivitas pertambangan Freeport dipertanyakan.
Direktur Eksekutif Center Of Energi And Resources (CERI), Yusri Usman heran dengan klarifikasi BPK tersebut.
"Kenapa baru sekarang BPK sibuk mengklarifikasi bahwa angka itu bukan kerugian negara?" tanyanya kepada redaksi, Rabu (24/10).
Ia mencatat pada April 2017 lalu, BPK merilis kesimpulannya bahwa ada 14 item temuan berdasarkan Laporan Hasil Penyelidikan ( LPH ) nomor 6/LHP/XVII/04/2017. Sehingga, menurut dia, janggal apabila BPK tidak mampu menemukan potensi kerugian negara dari 14 item temuan dalam kesimpulan tersebut.
"Tentu tak salah akan menimbulkan keraguan dan tanda tanya besar oleh publik terhadap kinerja lembaga BPK. Karena dari fakta-fakta yang terang benderang terungkap PTFI dalam operasional menambang diduga telah banyak melakukan pelanggaran berat terhadap undang undang," tuturnya.
Ia mencontohkan, PTFI dalam operasionalnya telah menggunakan kawasan hutan lindung tanpa izin seluas 4.535.39 hektar.
Pelanggaran PTFI lainnya, sebut dia, dalam menambang di blok Deep Mill Level Zone (DMLZ) dan memperpanjang tanggul barat tanpa menggunakan dokumen amdal, serta soal perizinan dan implementasi pengolahan limbah tailing tidak memadai. Limbah-limbah yang dibuang melalui sungai Akjawa telah menimbulkan perubahan ekosistem di sungai, hutan,
estuary dan mencapai kawasan laut.
Apalagi diketahuinya, BPK dalam melakukan investigasi telah bekerja sama dengan lembaga yang kredibel, yaitu LAPAN dan Institut Pertanian Bogor.
"Artinya ketiga lembaga ini dari sisi jam terbang sangat tinggi dengan kualifikasi yang sangat mumpuni, khusus tenaga tenaga ahli IPB dan LAPAN sangat paham mengamati dan menghitung potensi kerugian negara akibat kerusakan lingkungan ekosistem dari pembuangan limbah tailing dari hasil pengolahan bijih tambang menjadi konsentrat," paparnya.
Yusri menegaskan, selama hampir 50 tahun operasional PTFI telah merusak ekosistem di sekitarnya, tapi tidak ditemukan potensi kerugian negara. Ini berarti BPK telah gagal menyelamatkan keuangan negara.
"Padahal kalau BPK berhasil menentukan kerugian negara, tentu beban kewajiban PT Inalum dalam menyediakan dana sebesar 3,8 miliar dolar AS untuk mendapatkan nilai saham mencapai 51 persen akan sangat ringan, dibandingkan kewajiban PTFI harus menyelesaikan ke negara sebesar Rp 185 triliun," terangnya.
Seharusnya, lanjut Yusri, BPK berkoordinasi juga dengan Mabes Polri selain KPK untuk menerapkan ancaman pidana masuk kawasan hutan tanpa izin dan merusak kawasan hutan lindung dengan menggunakan ancaman pidana di pasal 78 UU 41/1999 tentang Kehutanan dan UU 18/2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan.
Bahkan dengan berlapis dijerat dengan UU 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
[wid]