Isu kasus penyebaran berita bohong atau hoaks belakangan masih marak dibicarakan. Terutama setelah kaÂsus yang melibatkan aktivis Ratna Sarumpaet yang sempat diberitakan menjadi korban pengeroyokan.
Peneliti dari Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), Genoveva Alicia menerangÂkan, berkaitan dengan berita bohong yang menyebabkan keonaran, ada sejumlah pasal yang biasa digunakan untuk menjerat perbuatan tersebut. Antara lain, UU no. 1 tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana khususnya Pasal 14 dan 15 serta Pasal 28 ayat (1) UU ITE.
"Dalam pasal-pasal persangÂkaan terkait penyebaran berita bohong, terdapat beberapa unsur yang harus dipenuhi. Sebelum seseorang dapat dikatakan melakukan perbuatan pidana penyeÂbaran berita bohong," katanya.
Pertama, penyiaran berita atau pemberitahuan bohong tersebut harus dengan sengaja atau memiÂliki niat menimbulkan keonaran di kalangan masyarakat. Kedua, orang tersebut harus mengetaÂhui, berita tersebut adalah berita bohong. Atau, orang tersebut setidaknya harus memiliki perÂsangkaan, bahwa berita tersebut adalah berita bohong.
Menurut Genoveva, unsur pertama merupakan unsur yang merupakan hal yang paling kruÂsial dibuktikan dalam perbuatan ini adalah keonaran. Keonaran yang dimaksudkan dalam pasal tersebut memiliki ukuran, bahwa dalam masyarakat terjadi pergoÂlakan dan kepanikan.
"Ukuran keonaran yang ditetapkan dalam pasal ini sangat tinggi. Sehingga penegak huÂkum tidak dapat serampangan menetapkan seseorang sebagai tersangka. Bila unsur tersebut tidak terpenuhi," terangnya.
Unsur lain yang harus diperÂhatikan dalam pemberitaan ini adalah, unsur yang menyebutÂkan, orang yang menyebarkan berita bohong dan berlebihan harus mengetahui bahwa berita tersebut memang benar berita bohong. Atau patut menduga, bahwa berita tersebut adalah berita bohong.
"Hal itulah yang harus digali secara hati-hati oleh aparat penegak hukum. Karena unsur ini yang kemudian berhubungan dengan niat jahat pelaku tindak pidana. Apakah memang benar niat tersebut ada dalam perbuaÂtannya," imbuhnya.
ICJR menyarankan agar keÂpolisian berhati-hati melakukan penangkapan dan penahanan terhadap seseorang dan meÂnetapkan seseorang sebagai tersangka. Sebab, untuk menyaÂtakan seseorang telah melakukan sebuah tindak pidana, terdapat
element of crime yang harus dipenuhi. Yakni actus reus atau perbuatan.
Dalam hal ini, menyebarkan berita yang tidak benar dan kedua adalah mens rea yakni niat jahat. "Meski seseorang meÂnyebarkan berita bohong, namun niat jahatnya tidak ditemukan dalam dirinya, perbuatan terseÂbut tidak dapat disebut sebagai perbuatan atau tindak pidana," kata Genoveva.
Maka dari itu, penegakan hukum pidana terhadap berita bohong harus dilakukan secara selektif dan presisi. Sesuai keÂtentuan hukum yang berlaku. "Proses pemidanaan terhadap orang-orang yang dianggap meÂnyebarkan berita bohong, harus dilakukan hati-hati. Karena banyak kasus berita bohong yang sebenarnya tidak layak dipidana," tandasnya.
Sebelumnya, polisi menyataÂkan telah menerima tiga laporan masyarakat. Terkait kabar boÂhong atau hoaks yang menyeret nama aktivis Ratna Sarumpaet terkait kasus dugaan pengeroyoÂkan di Bandung. Dua laporan tersebut dilakukan di Polda Metro Jaya. Sementara yang lain diterima Bareskrim Polri.
"Dalam laporan tersebut, mereka mencantumkan agar polisi minta menyelidiki terkait pemberitaan hoaks. Polri sudah melakukan penyelidikan, terkait hal tersebut," kata Dirkrimum Polda Metro Jaya Kombes Nico Afinfa. ***
