Pemerintah tidak boleh cepat puas dengan rilis Badan Pusat Statistik (BPS) yang melaporkan terjadi deflasi pada bulan September. Sebab pelemahan rupiah diproyeksi baru mulai berefek terhadap harga barang dan jasa pada bulan ini.
BPS mencatat September 2018 terjadi deflasi 0,18 persen. Hal itu terjadi karena terjadi penuÂrunan harga pada sejumlah barang dan jasa.
Ekonom PT Bank Central Asia Tbk David Sumual menilai, deflasi terjadi karena pengaruh harga makanan relatif terkendali. Hal itu terjadi lantaran produsen belum menaikkan harga kendati nilai tukar rupiah melemah terhadap dolar Amerika Serikat (AS).
"Saat ini memang masih terÂjadi deflasi. Kemungkinan proÂdusen baru merespons nilai tukar rupiah pada bulan Oktober dengan kenaikan berkisar 3 samÂpai 10 persen," ungkap David di Jakarta, kemarin.
Selain itu, lanjut David, lonÂjakan inflasi kemungkinan berÂpotensi terjadi pada akhir tahun, bertepatan dengan perayaan hari raya Natal dan Tahun Baru. Sebab komoditas pangan akan mengalami lonjakan permintaan pada dua momen tersebut.
Daging Ayam Turun Kepala BPS Kecuk SuhariÂyanto melaporkan, deflasi SepÂtember terjadi kontribusi dari dua kelompok pengeluaran.
"Yakni penurunan bahan maÂkanan 1,62 persen dengan andil deflasi 0,35 persen. Dan, penuÂrunan sektor transportasi, komuÂnikasi dan jasa keuangan 0,05 persen dengan menyumbang deflasi 0,01 persen," ungkap Kecuk.
Kecuk memaparkan, bahan makanan yang mengalami deÂflasi yakni daging ayam ras dengan memberikan andil 0,13 persen. Harga bawang merah dengan andil 0,05 persen. Ikan segar sebesar 0,04 persen. Dan tomat sayur, cabe merah, serta telur ayam 0,03 persen. Cabe rawit 0,02 persen.
"Untuk beras maupun kentang sebaliknya, malah mengalami inflasi sebesar 0,01 persen," imbuhnya.
Untuk kelompok transportasi, komunikasi, dan jasa keuangan, lanjut Kecuk, deflasi disebabkan karena adanya penurunan tarif angkutan udara, dengan andil sebesar 0,02 persen.
Sementara itu, untuk kelomÂpok pengeluaran yang mengalami inflasi, Kecuk mengungkapÂkan, terjadi pada makanan jadi, minuman, rokok, dan tembakau dengan kontribusi 0,29 persen. Penyebabnya, kenaikan harga pada mie instan, rokok kretek, dan filter yang masing-masing sebesar 0,01 persen.
Untuk kelompok perumahan, air, gas, listrik, dan bahan bakar mengalami inflasi dengan andil sebesar 0,05 persen. Untuk kelompok sandang memberikan andil inflasi sebesar 0,02 persen. Kelompok komoditas emas perÂhiasan beri andil 0,01 persen. Kemudian, kelompok kesehatan mengalami inflasi dengan andil 0,02 persen. Dan, Kelompok pendidikan, reÂkreasi, dan olahraga dengan inflasi 0,04 persen.
"Khusus pendidikan,andil terbesar dari kenaikan uang kuliah. Ada kenaikan biaya penÂdidikan akademi dan perguruan tinggi," jelasnya.
Kecuk mengungkapkan, dari 82 kota yang masuk dalam perÂhitungan indeks harga konsumen (IHK), 66 kota di antaranya mengalami deflasi sedangkan 16 kota lain terjadi inflasi. Deflasi tertinggi terjadi di Parepare yaitu sebesar 1,59 persen. Sedangkan terendah di Tegal, Singkawang, Samarinda dan Ternate sebesar 0,01 persen.
Untuk inflasi tertinggi terjadi di Bengkulu sebesar 0,59 persen. Dan inflasi terendah terjadi di Bungo sebesar 0,01 persen. "Bengkulu karena masih ada kenaikan angkutan udara. Ada Festival Tabut ini menyebabkan angkutan udara meningkat," tuturnya.
Kecuk mencatat secara keseluÂruhan pada tahun ini, inflasi telah mencapai 2,88 persen. Kecuk optimistis target inflasi sebesar 3,5 persen bisa tercapai.
Namun demikian, dia mengingatkan pemerintah harus berhati-hati khususnya pada Desember. Sebab pada bulan itu cenderung terjadi inflasi karena meningkatnya permintaan barang dan stok akibat kebutuhan Tahun Baru, liburan dan perayaan Natal. ***