Berita

Arief Poyuono/Net

Bisnis

Tantangan Untuk Negara Berkembang, Asia Dalam Ancaman Krisis Keuangan Dunia

KAMIS, 20 SEPTEMBER 2018 | 13:18 WIB | OLEH:

PERHATIAN utama kebijakan adalah ancaman penularan keuangan dari keruntuhan mata uang di Argentina dan Turki ke pasar-pasar berkembang di Asia.

Gejolak mata uang Argentina telah memperburuk aksi jual mata uang, ekuitas, obligasi, dan aset keuangan lainnya di banyak Negara berkembang Di Asia.

Meskipun fundamental ekonomi Asia tampak lebih kuat daripada Argentina dan Turki, mata uang India dan Indonesia saat ini diperdagangkan pada titik terendah sepanjang waktu.


Rupee India tetap menjadi mata uang Asia berkinerja terburuk tahun ini. Rupee telah terdepresiasi sebesar 11 persen tahun hingga saat ini. Pada 31 Agustus, rupee jatuh ke rekor terendah baru 71 terhadap dolar AS.

Sejak April 2018, jatuhnya rupee India dapat dikaitkan dengan harga minyak mentah yang lebih tinggi, naiknya dolar AS, dan kekhawatiran atas defisit transaksi berjalan melebar menjadi 2,8 persen dari PDB pada 2018-19. Selain itu, ekspektasi pasar kenaikan suku bunga di AS, aliran dana luar negeri yang konsisten, dan meningkatnya ketegangan perdagangan global juga berkontribusi pada melemahnya rupee.

Rupiah Indonesia adalah mata uang Asia terburuk kedua di tahun ini, setelah rupee India. Ini telah terdepresiasi 7,8 persen tahun ini. Dibandingkan dengan jatuhnya nila kurs Peso Argentina, di mana rupiah Indonesia jatuh ke 14.750 per dolar -level terendah sejak krisis keuangan Asia 1998. Meskipun, bank sentral Indonesia telah menjual miliaran dolar dari cadangan valasnya untuk membendung jatuhnya rupiah dan juga telah menaikkan suku bunga empat kali sejak Mei 2018.

Defisit neraca transaksi berjalan yang melebar mendekati ambang batas 3 persen  tetap menjadi salah satu perhatian utama bagi Indonesia. Sementara rupiah terus melemah, pasar obligasi Indonesia juga mendapat tekanan jual karena kepemilikan asing pada  obligasi pemerintah sangat tinggi. Dan juga asing memegang sekitar 40 persen surat utang Indonesia dalam denominasi dolar AS dari pasar obligasi pemerintah di Indonesia

Mempertahankan stabilitas keuangan merupakan tantangan kebijakan besar untuk semua negara ekonomi berkembang. Kejadian-kejadian krisis keuangan baru-baru ini telah menunjukkan bahwa bahkan negara-negara yang mengikuti kebijakan makroekonomi yang tampaknya sehat juga terkena “penghentian tiba-tiba” atau pembalikan besar dalam arus modal.

Oleh karena itu pertanyaan yang dapat diperdebatkan adalah: Bagaimana seharusnya pemerintah Indonesia membuat kebijakan Ekonomi untuk  merespon Dan  untuk mencegah depresiasi mata uang rupiah Terhadap US dollar Dengan  cepat dan akibat  pembalikan tiba-tiba dalam arus modal?

Untuk itu harus dimulai dengan langkah pemerintah yang harus secara proaktif menegakkan kontrol modal untuk membendung risiko arus keluar modal yang cepat. Walaupun menurut pandangan ortodoks bahwa kontrol modal lebih banyak merugikan daripada tidak melakukan kontrol modal.

Kritik mempertanyakan efektivitas kontrol modal, terutama pada arus keluar. Meskipun konotasi negatif yang terkait dengan kata "kontrol," ada banyak pengalaman positif menggunakan kontrol pada arus keluar sebagai alat manajemen krisis.

Daftar panjang ini mencakup Malaysia pada 1998, Islandia pada 2008, Siprus pada 2013, dan China pada 2016.

Pembuat kebijakan EME dapat memaksakan kontrol pada arus masuk dan arus keluar modal untuk melindungi diri dari guncangan eksternal serta untuk menyediakan beberapa ruang bernapas untuk mengatasi masalah struktural jangka panjang.

Kontrol terhadap arus masuk dapat membantu dalam mengubah komposisi mereka dalam mendukung aliran yang kurang berisiko dan lebih lama.

Brasil adalah contoh kasus yang terkenal. Selama 2009-11, Brasil mengadopsi serangkaian kontrol modal (termasuk pajak atas investasi portofolio) untuk mencegah arus kelua masuk modal  guna memerangi apresiasi Terhadap modal Yang masuk Dan keluar secara nyata .

Kebijakan kontrol modal digunakan sebagai upaya terakhir. Namun secara sementara, kontrol modal harus memiliki tempat di perangkat kebijakan standar dan dapat digunakan oleh pemerintah Indonesia dengan mengingat kerangka kerja kebijakan khusus dan konteks negara mereka.

Mengingat kondisi pasar yang merugikan yang berlaku, Pemerintah Indonesia harus menghindari sikap kaku mereka terhadap kontrol modal dan mengadopsi pendekatan pragmatis terhadap pengelolaan aliran modal yang tidak stabil.

Pengambilan keputusan dalam dunia yang kompleks, tidak pasti dan secara finansial saling berhubungan seharusnya tidak didorong oleh cara pikir yang  ortodoks neoliberal yang ketinggalan jaman.

Secara paralel, pemerintah Indonesia harus membuat kebijakan dan juga harus menerapkan langkah-langkah kebijakan makroprudensial (seperti pembatasan pinjaman mata uang asing oleh BUMN Dan Swasta, kontrol kredit, dan persyaratan modal bagi perbankan yang lebih tinggi dan pinjaman kredit) dalam siklus boom dan bust di sektor keuangan global.

Sangat diakui bahwa intervensi kebijakan lebih terjamin selama periode booming masuknya modal ke negara berkembang  untuk membatasi penumpukan risiko dalam sistem keuangan.

Dalam hal ini, diharapkan untuk menggunakan kontrol modal dan langkah-langkah makroprudensial dalam ekonomi yang sedang bangkit menghadapi lonjakan arus masuk modal (banjir mendadak).

Pemerintah  dapat memilih kombinasi optimal kontrol modal dan tindakan makroprudensial dalam mengurangi risiko mata uang dan keuangan.

Selain itu, pemerintah Indonesia harus tetap waspada terhadap hutang perusahaan yang diterbitkan dalam mata uang asing oleh perusahaan non-keuangan karena potensi risiko yang terkait dengan mata uang kembar dan ketidaksesuaian jatuh tempo.

Secara keseluruhan, ada kebutuhan yang lebih besar untuk meningkatkan regulasi keuangan dan pengawasan pasar di negara berkembang.[***]


Penulis merupakan Wakil Ketua Umum DPP Partai Gerakan Indonesia Raya  (Gerindra)

Populer

Ketika Kebenaran Nasib Buruh Migran Dianggap Ancaman

Sabtu, 20 Desember 2025 | 12:33

OTT KPK juga Tangkap Haji Kunang Ayah Bupati Bekasi

Jumat, 19 Desember 2025 | 03:10

Uang yang Diamankan dari Rumah Pribadi SF Hariyanto Diduga Hasil Pemerasan

Rabu, 17 Desember 2025 | 08:37

OTT Beruntun! Giliran Jaksa di Bekasi Ditangkap KPK

Kamis, 18 Desember 2025 | 20:29

Tamparan bagi Negara: WNA China Ilegal Berani Serang Prajurit TNI di Ketapang

Sabtu, 20 Desember 2025 | 09:26

Tunjuk Ara di Depan Luhut

Senin, 15 Desember 2025 | 21:49

Makin Botak, Pertanda Hidup Jokowi Tidak Tenang

Selasa, 16 Desember 2025 | 03:15

UPDATE

Kuasa Hukum: Nadiem Makarim Tidak Terima Sepeserpun

Minggu, 21 Desember 2025 | 22:09

China-AS Intervensi Konflik Kamboja-Thailand

Minggu, 21 Desember 2025 | 21:51

Prabowo Setuju Terbitkan PP agar Perpol 10/2025 Tidak Melebar

Minggu, 21 Desember 2025 | 21:35

Kejagung Tegaskan Tidak Ada Ruang bagi Pelanggar Hukum

Minggu, 21 Desember 2025 | 21:12

Kapolri Komitmen Hadirkan Layanan Terbaik selama Nataru

Minggu, 21 Desember 2025 | 20:54

Kasus WN China Vs TNI Ketapang Butuh Atensi Prabowo

Minggu, 21 Desember 2025 | 20:25

Dino Patti Djalal Kritik Kinerja Menlu Sugiono Selama Setahun

Minggu, 21 Desember 2025 | 19:45

Alarm-Alam dan Kekacauan Sistemik

Minggu, 21 Desember 2025 | 19:39

Musyawarah Kubro Alim Ulama NU Sepakati MLB

Minggu, 21 Desember 2025 | 19:09

Kepala BRIN Tinjau Korban Bencana di Aceh Tamiang

Minggu, 21 Desember 2025 | 19:00

Selengkapnya