Sejumlah Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) di Jakarta dikabarkan mengalami kendala operasional. Pasalnya, Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan telat membayar klaim selama satu bulan lebih.
Selasa (18/9) siang, ruang lobby di RSUD Pasar Minggu, Jalan TB Simatupang Nomor 1 Ragunan, Pasar Minggu, Jakarta Selatan penuh sesak. Para pasien duduk di ruang tunggu instalasifarmasi sembari menunggu panggilan petugas.
Puluhan kursi tak mampu menampung pasien BPJS yang menjalani rawat jalan. Tiga loket penyerahan obat khusus pasien BPJS juga dipenuh pasien. Mereka mengantre untuk mengambil obat dari petugas.
"Alhamdulillah pelayanan tetap normal. Seluruh obat syaraf yang diresepkan dokter dikasih semua," ujar Marwati, salah satu pasien BPJS di RSUD Pasar Minggu, Selasa (18/9).
Marwati mengatakan, dokter syaraf memberinya 4 resep obat yang ditanggung BPJS. "Obat untuk dua minggu dikasih semua oleh petugas," tandasnya.
Berdasarkan pengamatan, seluruh pelayanan registrasi dan juga penyerahan resep obat, baikpasien umum maupun BPJS berada di lantai satu. Letaknya di sisi kiri ruang lobby. Ruangan inj cukup luas, diÂlengkapi puluhan kursi panjang yang ditata rapi.
Pengambilan resep bagi pasien umum dan peserta BPJS dipisahkan. Untuk pasien BPJS disiapkan tiga loket. Sementara, umum hanya satu loket. Kendati tersedia tiga loket, masyarakat masih tetap mengantre mengamÂbil obat.
Saking lamanya menunggu panggilan petugas, beberapa pasien tertidur pulas di kursi. Dua layar monitor yang tersedia mati. Begitu juga dengan layar televisi untuk hiburan, tidak tersedia.
Sebaliknya, di loket pasien umum sepi. Hanya terlihat satu atau dua orang mendekat ke loket yang disekat dengan kaca bening berukuran besar itu.
"Kami memang lebih banyak melayani pasien BPJS dibanding pasien umum," ujar Wati, staf humas RSUD Pasar Minggu kepada
Rakyat Merdeka. Wati memastikan, pelayanan seluruh pasien BPJS di rumah sakit ini tetap normal seperti biasa, tidak ada pengurangan obat maupun pelayanan kendati ada keterlambatan pembayaran dari BPJS Kesehatan.
"Kalau lamanya telat saya kurang tahu. Soalnya, seluruh tagiÂhan yang tahu Dinas Kesehatan (Dinkes)," elak Wati.
Sebaliknya, Kepala Humas RSUD Pasar Rebo, Jakarta Timur, Sukartiono Pri Prabowo mengatakan, keterlambatan pembayaran ke rumah sakit sudah terjadi sejak awal taÂhun 2018.
"Cuma tidak dijelaskan secara eksplisit, kenapa terjadi keterlambatan pembayaran oleh pihak BPJS," ujar Prabowo.
Akibat keterlambatan terseÂbut, kata Prabowo, ada keterlambatan penyediaan obat untuk pasien. Sehingga, rumah sakit tidak dapat memenuhi resep obat.
"Ada pasien yang meminta obat untuk 1 bulan. Namun, obat yang tersedia hanya sampai 2 minggu," tandasnya.
Hal ini, kata dia, disebut seÂbagai utang obat kepada pasien sebagai akibat dari keterlambatan pembayaran BPJS. "Jadi, pasien yang belum mengambil semua obatnya, harus kembali ke RSUD," ujarnya.
Ketua Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (PERSI) DKI Jakarta Koesmedi Priharto menambahkan, BPJS Kesehatan terakhir kali membayar tagihan kepada RSUD pada pertengahan Agustus 2018.
Bila tidak ditangani segera, kata dia, akan berdampak pada kualitas pelayanan, khususnya dalam pelayanan obat pasien. "Kalau obatnya enggak ada, peÂlayanan jadi di bawah standar," ujar Koesmedi.
Menurut Koesmedi, krisis keuangan di RSUD akan memÂpengaruhi ketersediaan obat jenis fast moving. Obat itu, kata dia, dibutuhkan mayoritas pasien di RSUD untuk diminum setiap hari, seperti pada penderita hipertensi dan diabetes.
Koesmedi menyebut, ada delaÂpan RSUD di DKI Jakarta menÂjadi korban tunggakan pembaÂyaran tagihan BPJS Kesehatan. Yaitu, RSUD Tarakan, Koja, Cengkareng, Budi Asih, Pasar Rebo, Pasar Minggu, Duren sawit, dan Tugu Koja.
"Telatnya pembayaran juga akan berdampak pada cash flow rumah sakit," ujarnya.
RSUD Terpaksa Ngutang Ke Bank DKI Pelaksana tugas (Plt) Kepala Dinas Kesehatan DKIJakarta Khofifah Any menambahkan, keterlambatan pembayaran tagiÂhan BPJS Kesehatan terhadap sejumlah rumah sakit sangat mengkhawatirkan.
Sebabnya, 90 persen pasien di RSUD merupakan peserta BPJS. "BPJS terakhir kali memÂbayar tagihan pertengahan bulan Agustus lalu.Itu pun tagihan yang jatuh tempo sebelum-sebelumnya," jelas Any.
Untuk mensiasatinya, kata Any, delapan RSUD di DKI Jakarta akan meminjam dana ke Bank DKI untuk memenuhi kegiatan operasional, seperti pembelian obat dan pembayaran gaji karyawan.
Pasalnya, kata dia, BPJS tidak memberi kepastian kapan bisa membayar. Sedangkan opsi dana talangan, lanjut Any, tidak bisa dilakukan karena tak ada mekanisme yang mengaturnya. "Bank DKI akan memberi kerÂinganan bunga, yakni 7,5 persen per tahun," sebutnya.
Any menjelaskan, besaran pinjaman tergantung kebutuhan masing-masing RSUD. Agunan pinjaman dibuat berdasar berita acara yang sudah diversifikasi oleh BPJS.
"Nanti kalau BPJS cair uangÂnya, dibuat bayar ke bank," ucap Any.
Bagaimana tanggapan BPJS? Kepala Humas BPJS Kesehatan, M Iqbal Anas Ma’ruf menegaskan, akan melunasi tunggakan klaim delapan RSUD di Jakarta pada September ini. "Diperkirakan, pada September ini sudah bisa dibayarkan ke deÂlapan RSUD itu," ujar Iqbal.
Iqbal mengatakan, proses pembayaran berdasarkan jatuh tempo. "Kami membayar yang temponya jatuh dulu urutannya," ucap Iqbal.
Menurut Iqbal, telat pembayaran ini karena anggaran untuk membayar tunggakan klaim belum ada. Apalagi, lanjut dia, iuran awal tidak sebanding dengan biaya manfaat yang akan dibayarkan.
Biaya per orang dibandingÂkan premi per orang per bulan tidak sebanding. Ada gap Rp 2 ribu-5 ribu," sebutnya.
Kendati demikian, kata dia, tunggakan tersebut bukan meruÂpakan dampak dari akumulasi dari tahun-tahun sebelumnya.
Selain itu Iqbal menegaskan, pemerintah berkomitmen menÂgatasi defisit yang dialami BPJS Kesehatan melalui penerbitan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) 113/2018 tentang Tata Cara Penyediaan, Pencairan, dan Pertanggungjawaban Dana Cadangan Program Jaminan Kesehatan Nasional.
Terbitnya PMK, kata Iqbal, menjadi titik terang bagi BPJS Kesehatan dan fasilitas kesehaÂtan. Pihaknya sudah memenuhi kewajiban sesuai PMK dan berharap segera ditindaklanÂjuti Kementerian Keuangan (Kemenkeu).
"Kami sudah lengkapi apa-apa yang diminta, dan dikirim ke Kemkeu," tandasnya.
Iqbal berharap, kerjasamanya dengan seluruh fasilitas kesehaÂtan yang bekerja sama dengan BPJS Kesehatan tetap berjalan.
"Tidak baik kalau terlalu lama keterlambatan pembayaran. Tidak hanya mengganggu layanan, tapi juga dikhawatirkan kepercayaan masyarakat berkurang dan merusak reputasi program ini," pungkasnya.
Latar Belakang
BPJS Kesehatan Defisit Rp 16,5 T Hingga 14 September 2018, jumlah pesertaJaminan Kesehatan Nasional-Kartu Indonesia Sehat (JKN-KIS) telah mencapai 202.160.855 jiwa.
Dalam hal memberikan pelayanan kesehatan, BPJS Kesehatan telah bekerja saÂma dengan 22.531 Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP), 2.434 rumah sakit (termasuk di dalamnya klinik utama), 1.546 apotek dan 1.093 optik.
Persoalannya, BPJS Kesehatan mengalami defisit sebesar Rp 9,75 triliun pada 2017. Bahkan, Direktur BPJS Kesehatan Fachmi Idris memperkirakan, jumÂlah defisit pada 2018 sebeÂsar Rp 16,5 triliun.
Jumlah tersebut termasuk tambahan dana defisit dari tahun 2017. "Komposisinya defisit 2018 sebesar Rp 12,1 triliun, tambahan dari tahun 2017 sebesar Rp 4,4 triliun," urai Fachmi.
Fachmi mengatakan, alaÂsan utama membengkaknya defisit adalah besaran iuran peserta yang dinilai kurang. "Iuran itu
underprice (terÂlalu rendah), kalau kita biÂcara dalam konteks jangka panjang," tandasnya.
Ia menyebut, data premi yang minus pada masyarakat pengguna BPJS Kesehatan setiap bulannya. Bahkan, jumlah minus tersebut mengalami penambahan dari 2016 sampai 2017.
Pada 2016, biaya per orang setiap bulannya mencapai Rp 35.802, padaÂhal premi per orangnya hanya Rp 33.776. Sementara itu, pada 2017, per orang biayanya mencapai Rp 39.744, tetapi premi per orang sebesar Rp 34.119.
"Artinya, pada 2016 ada selisih Rp 2.026 dan pada 2017 Rp 5.625," jelasnya.
Walhasil, kata dia, seÂmakin bertambah peserta, namun iurannya jaraknya tidak teratasi, maka biaya akan meningkat. "Jadi, ada masalah yang lebih serius ke depan dengan iuran ini, defisit akan semakin hebat," prediksinya.
Fachmi juga memprediksi,defisit ini masih belum mencapai puncaknya dan bisa saja bertambah. Hal ini disebabkan, menurut dia, pemanfaatan program BPJS Kesehatan belum mengalami maturitas sebaÂgaimana program lainnya yang berjalan lama.
"Ini juga harus diperÂhatikan sungguh-sungguh dalam jangka panjang," pungkasnya.
Akibat defisit itu, di Jakarta saja, Pemerintah Provinsi DKI mencatat total tagihan yang harus dibayar BPJS Kesehatan kepada delapan RSUD di Jakarta sebesar Rp 130 miliar.
Delapan RSUD yang menjadi korban keterlamÂbatan bayar BPJS Kesehatan adalah RSUD Tarakan, Koja, Cengkareng, Budi Asih, Pasar Rebo, Pasar Minggu, Duren sawit dan RSUD Tugu Koja.
Selain itu, BPJS Kesehatan menunggak klaim pembayaran sekitar 250 rumah sakit swasta di Jakarta. ***