Upaya mediasi bipartit antara pihak perusahaan PT. Citra Media Persada yang membawahi Tabloid Wanita Indonesia dengan pihak perwakilan karyawan yang terkena pemutusan hubungan kerja (PHK) sepihak di kantor LBH Pers, Jakarta Selatan, Jumat (8/9) lalu, tidak mencapai kesepakatan atau berakhir deadlock.
Pasalnya pihak perusahaan tidak mau menanggapi tuntutan para karyawan yang tergabung dalam Forum Komunikasi Pekerja Tabloid Wanita Indonesia, terkait hak mereka setelah menjadi korban PHK.
Didampingi LBH Pers, empat dari sembilan karyawan media perempuan ini mengajukan dua poin persoalan yang menjadi tuntutan mereka.
Pertama, terkait permintaan pihak perusahaan kepada para karyawan yang di–PHK untuk membuat surat pengunduran diri.
Lalu yang kedua, proses pembayaran uang pesangon yang akan diselesaikan dengan cara mencicil dalam waktu selama 24 kali atau dua tahun.
Budi Hartono, yang telah mengabdi pada perusahaan selama 25 tahun secara tegas tidak terima.
"Berdasarkan UU Ketenagakerjaan yang dilakukan pihak manajemen kepada kami sudah jelas melanggar hukum. Bahwa karyawan yang di-PHK harus mendapatkan haknya yaitu berupa pembayaran uang pesangon harus dilakukan secara tunai," kata Budi, Senin (17/9).
Menurut dia, kejanggalan yang lain adalah, selain di PHK, karyawan WI justru diminta membuat surat pengunduran diri.
"Padahal antara PHK dan pengunduran diri merupakan dua hal yang berbeda," ujarnya.
Budi menceritakan, pihak manajemen Tabloid WI, pada tanggal 2 Agustus 2018 lalu meminta seluruh karyawan untuk memenuhi undangan rapat tapi surat undangan yang disampaikan secara langsung oleh Direktur Utama Tabloid Wanita Indonesia, Anis Wuryaningsih melalui whatsapp itu tidak menjelaskan detil agendanya.
Ternyata pada hari yang telah ditentukan, rapat tersebut membahas tentang kondisi sulit pertarungan media cetak di tengah gempuran media berbasis digital. Sebagai langkah untuk menyelamatkan perusahaan, pihak manajemen merasa perlu memangkas jumlah karyawan.
Pada hari itu juga pihak perusahaan langsung memanggil karyawan-karyawan yang akan terkena imbas PHK.
"Langkah ini sangat saya sesalkan karena kalau mereka mau merujuk pada UU Ketenagakerjaan, upaya PHK harus disosialisasikan paling tidak satu bulan sebelum PHK diputuskan. Nah, ini hanya beberapa jam setelah mereka menyampaikan kondisi perusahaan, kemudian usai rapat mereka langsung panggil satu persatu nama yang terkena PHK," urai Budi.
Karena dilakukan secara tergesa-gesa dan sedikit memaksa, seluruh karyawan yang terkena PHK terlanjur membubuhi tanda tangan surat kesepakatan bersama perihal pembayaran pesangon yang akan mereka cicil selama 24 kali.
Dewi, salah seorang rekan Budi turut mengamini tindakan tidak profesional yang dilakukan manajemen.
"Terus terang kami ini memang kurang mengerti soal hukum. Jadi ketika diminta tanda tangan soal cicilan 24 kali itu, setelah dipaksa, kami tetap lakukan. Padahal saya sempat mempertanyakan kenapa pesangon dibayar dengan mencicil, mereka bilang perusahaan tidak punya uang untuk bayar cash. Tapi begitu saya diminta juga menulis surat resign, saya baru tersadar bahwa hal ini sudah nggak benar," sambung Dewi.
Penolakan Dewi ini ternyata juga diikuti oleh tiga orang temannya yang lain, termasuk Budi.
“Jadi dari 9 orang yang tanda tangan surat pencicilan pesangon selama 24 kali, kami berempat tidak mau bikin surat resign. Sementara yang lainnya sudah terlanjur membuat. Ketika saya menolak membuat surat resign, legal perusahaan langsung mengancam saya. Dia bilang saya harus segera bikin surat resign hari itu juga karena besok dan seterusnya saya tidak boleh datang ke kantor lagi," katanya.
Merasa diperlakukan tidak adil, keempat karyawan Tabloid WI ini lantas mengadukan nasib mereka pada Federasi Serikat Pekerja Media Independen (FSPMI), Aliansi Jurnalis independen (AJI), dan Lembaga Bantuan Hukum Pers (LBH Pers).
Pada tanggal 8 September 2018 lalu, Bipartit pertama telah dilaksanakan di kantor LBH Pers antara para pihak di kawasan Kalibata, Jakarta Selatan. Namun pihak manajemen Tabloid WI yang diwakili dua orang, yaitu A. Khoir selaku legal dan Syahri, perwakilan dari divisi HRD tidak bergeming.
Dengan alasan perusahaan tidak sanggup membayar uang pesangon secara tunai lantaran defisit anggaran, mereka memilih melakukan tahap selanjutnya yaitu tripartit di Suku Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi.
Siti Hardiyanti Rukmana atau akrab disapa Mbak Tutut merupakan Dewan Pembina di Tabloid WI. Tabloid Wanita Indonesia berdiri pada tahun 1989 atas inisiatif mantan model Donna Sita Indria, yang merupakan sahabat karib Mbak Tutut.
Di tangan Donna Sita, Tabloid WI sempat mengalami masa kejayaan, terutama ketika pemerintahan Orde Baru di bawah kepemimpinan HM. Soeharto mengharuskan seluruh departemen wajib berlangganan.
[wid]