Stabilnya harga pangan memberikan dampak positif bagi perekonomian Indonesia, salah satunya adalah menjaga nilai inflasi. Untuk itu, pemerintah sebaiknya tidak perlu memandang impor sebagai opsi yang merugikan.
Kepala Penelitian Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Hizkia Respatiadi mengatakan, impor hanya salah satu instrumen untuk menstabilkan harga pangan di dalam negeri. Dengan masuknya barang dan jasa dari luar negeri maka konsumen akan memperoleh harga yang kompetitif dan lebih terjangkau.
"Hal ini akan membuat daya beli mereka meningkat, sehingga mereka dapat mengalokasikan dana lebih besar untuk membeli bahan makanan berkualitas, layanan kesehatan dan juga pendidikan. Pada akhirnya, hal ini akan meningkatkan kualitas hidup masyarakat dan mendukung pertumbuhan ekonomi," jelasnya kepada wartawan, Rabu (29/8).
Dia menjelaskan, untuk Indonesia, meski neraca perdagangan bahan pangannya defisit, PDB-nya justru bertumbuh hingga 5,07 persen. Dengan demikian, semestinya Indonesia tidak perlu khawatir karena masih mengimpor sebagian besar bahan pangan. Pada bulan Ramadan dan Idul Fitri lalu, Badan Pusat Statistik menyatakan inflasi merupakan yang terendah selama beberapa tahun terakhir yaitu hanya 0,21 persen.
Jumlah itu lebih kecil ketimbang inflasi selama bulan Ramadan 2017 yang mencapai 0,39 persen dan tahun 2016 yang berkisar antara 0,66 persen dan 0,69 persen.
"Harga pangan yang cenderung lebih stabil dinilai turut andil dalam menurunkan tingkat inflasi selama Bulan Ramadan dalam dua tahun terakhir. Meskipun kita tetap memberikan apresiasi terhadap kerja keras Satgas Pangan, namun kita tidak selayaknya melupakan peran impor dalam menjaga kestabilan harga," papar Hizkia.
Laporan Statistik Impor BPS menunjukkan impor beras menjelang dan selama Ramadan di tahun 2016 tercatat sebesar 26.193 ton. Sedangkan pada Ramadan 2017, Indonesia mengimpor sekitar dua kali lipat lebih banyak yaitu 59.586 ton. Pemerintah juga mengimpor daging sapi sebesar 16.119 ton selama Ramadan tahun 2016, sedangkan di Ramadan 2017 jumlah impornya mencapai 22.632 ton atau sekitar 40,4 persen lebih banyak dibandingkan Ramadan 2016.
Hizkia mengatakan, meski harga di Bulan Ramadan 2018 diklaim lebih terkendali namun jika mau melihat ke luar sedikit maka sesungguhnya harga bahan makanan masih tergolong lebih mahal dibanding negara-negara tetangga.
Data CIPS menunjukkan pada pertengahan Ramadan 2018, harga beras di pasar swalayan di Jakarta mencapai Rp 12.560 per kilogram, lebih mahal daripada di pasar swalayan di Bangkok yaitu Rp 6065 per kilogram, Kuala Lumpur Rp 9008 per kilogram maupun di Singapura Rp 12.375 per kilogram.
Harga telur ayam di Jakarta mencapai Rp 22.450 per kilogram, lebih mahal daripada Singapura Rp 17.304 per kilogram dan Bangkok Rp 18.459 per kilogram. Harga daging sapi di Jakarta mencapai Rp 160.550 per kilogram, lebih mahal daripada di Manila Rp 88.712 per kilogram, Malaysia Rp 106.368 per kilogram dan Singapura Rp 144.731 per kilogram.
"Tingginya harga bahan pangan di Indonesia menunjukkan bahwa pemerintah masih memiliki pekerjaan rumah untuk diselesaikan. Perlu juga dipikirkan dampak dari hal ini bagi masyarakat selama beberapa tahun ke depan terutama bagi mereka yang berasal dari keluarga pra sejahtera. Apa untungnya bagi mereka ketika neraca perdagangan surplus tapi harga tidak bisa mereka jangkau,: demikian Hizkia.
[wah]