Realisasi penerimaan pajak cukup moncer. Hingga 20 Agustus 2018 mencapai Rp 760,57 triliun atau setara 53,41 persen dari target tahun 2018 sebesar Rp 1.424 triliun.
Capaian itu dipaparkan DirekÂtur Jenderal Pajak Kementerian Keuangan (Kemenkeu) Robert Pakpahan. Penerimaan pajak tersebut naik 10,68 persen dari posisi penerimaan 31 Juli 2018. Capain itu juga naik 15,49 persen dibanding penerimaan periode yang sama tahun 2017.
"Apabila tidak memperhitungÂkan penerimaan dari program Amnesti Pajak, maka pertumÂbuhan tahun 2018 mencapai 17,63 persen," ungkap Robert di Jakarta, kemarin.
Dia memaparkan, kenaikan penerimaan pajak tersebut disumbang paling besar oleh pertumbuhan Pajak PertambaÂhan Nilai (PPN) impor yang mencapai 26,85 persen. DiiÂkuti kenaikan penerimaan pajak penghasilan (PPh) Badan sebeÂsar 22,24 persen, PPh Pasal 21 sebesar 15,57 persen dan PPN Dalam Negeri yang tumbuh 9,44 persen.
Dilihat berdasarkan jenis inÂdustri, lanjut Robert, peneriÂmaan dari berbagai sektor utama menunjukkan pertumbuhan. Industri pengolahan dan perÂdagangan merupakan dua sekÂtor penyumbang penerimaan terbesar. Masing-masing tumbuh 13,08 persen dan 29,75 persen.
Melihat tren pertumbuhan tersebut, Robert optimistis, tarÂget penerimaan pajak 2018 sebeÂsar Rp 1.351 triliun, tercapai. "Dengan kata lain, realisasi penÂerimaan hingga akhir tahun 2018 diproyeksikan dapat tumbuh 17.38 persen," kata Robert.
Dengan demikian, Robert yaÂkin, proyeksi penerimaan pajak tahun 2019 dipatok sebesar Rp 1.572,3 triliun, cukup realistis. Karena, tingkat pertumbuhan hanya sekitar 16,4 persen dari outlook realisasi tahun ini.
"Untuk menjaga tren positif ini, Ditjen Pajak akan terus mengoptimalkan layanan dan implementasi berbagai program penting. Termasuk pelaksanÂaan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 23/2018, pemberian restitusi dipercepat, dan pelakÂsanaan reformasi perpajakan," terang Robert.
Ringankan Beban Lombok
Robert mengungkapkan, peÂmerintah akan memberikan kerÂinganan kepada wajib pajak di Lombok, Nusa Tenggara Barat (NTB) yang terdampak bencana gempa. Kebijakan itu bertujuan untuk meringankan beban sosial ekonomi wajib pajak (WP) di Lombok.
"Nanti ada pengecualian pengeÂnaan sanksi perpajakan dan pemÂberian perpanjangan batas waktu keberatan bagi WP," katanya.
Robert menerangkan, kerÂinganan tersebut diberikan unÂtuk kewajiban perpajakan WP di Lombok yang jatuh tempo pada 29 Juli 2018 sampai dengan keadaan tanggap darurat berakhir. Hal itu termasuk pengecualian sanksi administrasi dan pelapoÂran SPT masa atau tahunan serta pembayaran pajak.
"Pelaporan SPT dan pemÂbayaran pajak dapat dilakukan paling lama tiga bulan setelah berakhirnya masa tanggap daruÂrat. Untuk pengajuan keberatan dapat dilakukan paling lama satu bulan setelah berakhirnya masa tanggap darurat," tegas Robert.
Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation AnalyÂsis (CITA) Yustinus Prastowo menilai, capaian positif kinerja pajak buah dari pelaksanaan reÂformasi perpajakan.
Dia juga yakin , ealisasi penÂerimaan pajak 2019 bisa lebih baik. "Dalam RAPBN2019, narasi kebijakan juga lebih jelas, rinci, dan terukur. Pemerintah juga konsisten berupaya menjaga keseimbangan peran pajak antara budgetair (mengisi kas negara) dan regulerend (instrumen kebiÂjakan)," kata Yustinus.
Meski begitu, Yustinus meÂminta pemerintah tetap fokus membenahi perpajakan agar harapan masyarakat akan sistem perpajakan yang lebih adil, transparan, dan akuntabel, dapat segera tercapai. ***