Berita

Herdi Sahrasad/Net

Politik

Jokowi, Stagnasi Ekonomi Dan Kritik Rajawali

SELASA, 14 AGUSTUS 2018 | 14:48 WIB

SEJAK sekitar pertengahan 2016, ekonom senior Rizal Ramli (RR) mencoba mengingatkan pemerintah tentang kondisi ekonomi yang sudah 'lampu kuning setengah merah': terjadi defisit transaksi berjalan, neraca pembayaran negatif, sektor riil mandeg, dan seterusnya.

Sebagai ekonom/teknokrat senior dan aktor pergerakan dengan latar belakang pendidikan ITB, Sophia University Tokyo dan Boston University, AS, dengan asuhan kultural Gus Dur sebagai tokoh NU/Pesantren Tebu Ireng Jombang dan arahan spiritual Pesantren Pondok Gontor, Rizal Ramli (RR) punya  kepekaan,sense of crisis dan sense of urgency serta sense of directionyang sepatutnya kita apresiasi. RR mencium gelagat bahwa, Indonesia sedang di ambang krisis ekonomi yang mengkhawatirkan dan menakutkan.

Sebagai Mantan Menko Kemaritiman di Kabinet Kerja  Presiden Jokowi dan Mantan Menko Perekonomian Kabinet Persatuan Nasional Presiden Gus Dur, sejauh ini RR relative kritis terhadap cara pemerintah mengelola makro-ekonomi yang sangat konservatif dan bercorak Neoliberalisme. Pemerintah Neoliberal ini dipandangnya hanya mengandalkan program austerity (pengetatan), di tengah kontraksi pajak dan kontraksi ekonomi, yang terbukti gagal di seluruh dunia, di Amerika Latin dan Yunani, Eropa.


Akibat dari kedua hal tersebut, berbagai indikator menunjukkan angka negatif dan kebijakan austerity makin menyulitkan ekonomi rakyat, sejak pertengahan 2016, dimana  ekonomi Indonesia terus stagnan dan dapat 'nyungsep' sampai akhir tahun ini bila tidak hati-hati. Dan kalau kita mau jujur, terbukti benar  proyeksi Rizal Ramli (RR)  itu: pertumbuhan ekonomi sejak 2016 hingga 2018 selalu berada di kisaran 5 persen.

Bahkan kekhawatiran 'nyungsepnya' ekonomi, ditandai pelemahan nilai tukar rupiah dandaya beli rakyat yang menjadi perhatian pemerintah sekarang, sudah terjadi. Namun demikian, para menteri ekuin Presiden Jokowi  sudah terlanjur sibuk membantah, dengan mengatakan ekonomi Indonesia sehat, tidak ada masalah, prudent dan sebagainya.

Sekedar ilustrasi, aliran modal yang keluar  dari Indonesia sejak awal tahun hingga 30 Juli 2018 sudah sebesar Rp 48,9 triliun. Cadangan devisa sejak awal tahun hingga sekarang telah terkuras Rp 150 triliun, dan rupiah merosot ke Rp 14.500. Indeks Saham anjlok, sehingga sewaktu Rizal Ramli bertemu para fund managers di New York bulan lalu, fund manager paling kecil memegang dana USD 160 miliar dan fund manager terbesar memegang dana hingga USD 1,5 triliun- mereka mengatakan sudah tidak mau lagi membeli corporate bond asal Indonesia. Ini sungguh tragedy.

Dengan kata lain, situasi ekonomi Indonesia bisa digambarkan RR dengan perumpamaan sederhana: 'Badan ekonomi Indonesia sedang sakit, anti-body-nya lemah, setiap ada virus kita langsung sakit'.

Ilustrasinya: neraca perdagangan selama semester I defisit USD 1,05 miliar. Transaksi berjalan selama tahun 2018, menurut Bank Indonesia, diprediksi akan defisit USD 25 miliar (data kuartal I sudah defisit USD 5,5 miliar). Neraca pembayaran kuartal I 2018 defisit USD 3,9 miliar. Keseimbangan primer selama tahun 2018 juga defisit USD 6,2 miliar, menurut  data Kementrian Keuangan.   

Presiden Jokowi pun, pada pidatonya di Istana Bogor (29/7), akhirnya mengakui lemahnya kondisi ekonomi Indonesia dengan menyebut duo defisit di transaksi berjalan dan neraca perdagangan. RR menyampaikan 'Salut' atas posisi Jokowi yang sportif dan clear tersebut, berbeda dari menteri-menteri ekuinnya yang dicap Rizal Ramli sebagai  pembuat laporan ABS (Asal Bapak Senang).

Akibat malpraktik ekonomi yang sudah terlanjur berlangsung beberapa lama, dimana para menteri ekuin yang ABS di Kabinet Kerja membuat  laporan selektif dan asal bantah, ekonomi makin sulit. Dan akibatnya ekonomi Indonesia saat ini sudah 'setengah lampu merah'.

APBN dipotong lagi pengeluarannya, proyek infrastruktur sebagian terpaksa ditunda, dan dilakukan pengetatan impor. Inilah harga yang harus dibayar oleh Indonesia akibat menteri-menteri ABS yang rajin membantah koreksi kritis Rizal Ramli  dan menolak realitas yang ada.

Celakanya,  di tengah situasi nyaris krisis seperti ini selalu saja ada oknum pejabat yang 'bermain' mencari kesempatan dalam kesempitan. Permainan ini dilakukan dengan mengusulkan untuk menghapuskan DMO (Domestic Market Obligation) komoditi batubara.

Kebijakan ini sangat menguntungkan produsen batubara tapi di sisi lain mempercepat kebangkrutan PLN.  Rizal Ramli mengungkapkan kritik soal itu dan Presiden Jokowi akhirnya membatalkannya. Sayang RR tidak menyebut siapa nama oknum pejabat tersebut.

Kondisi ekonomi saat ini sebenarnya merupakan penyakit ekonomi yang dialami negara, namun penyakit ekonomi itu  sedang digeser ke BUMN seperti Pertamina, PGN, PLN, dan sebagainya. Akibatnya Pertamina, PLN, PGN dan sebagainya dibawah bayangan gagal bayar utang dan kemungkinan krisis.

Yang perlu digarisbawahi bahwa, RR  menjelaskan perbedaan awal Krisis 1998 dengan kondisi pre-krisis hari-hari ini. Pada 1998: Pertama, Utang swasta besar sekali, defisit transaksi berjalan besar, dan mata uang Rupiah over-valued.

Kedua, Ekonomi punya bantalan (tabungan) besar, masih eskportir minyak mentah 1,3 juta barrel dan mengalami kelebihan kapasitas di sektor komoditi (sawit, kopra, cokelat, dsb). Sehingga saat krisis 1998 terjadi menghancurkan perekonomian di Pulau Jawa, petani di luar Jawa yang eksportir justru diuntungkan.

Ketiga, Friksi dan fragmentasi sosial (isu etnik dan Agama) 1997/98 sangat kecil. Meskipun kecil ternyata mudah mengalami eskalatif ketika terjadi krisis etnis pasca ledakan demontsrasi penolakan kenaikan harga BBM tahun 1998 di Makassar, Medan, Solo dan Jakarta.

Eskalasi itu itu meluas membakar Solo dan Jakarta secara mengerikan. Hari-hari ini tahun 2018,  ekonomi merosot : Utang negara dan BUMN amat besar.  Sementara neraca perdagangan defisit, transaksi berjalan defisit, neraca pembayaran defisit, dan keseimbangan primer defisit, semuanya defisit.

Meskipun magnitude ekonominya hanyalah 30-40 persen dari situasi ekonomi 1998, namun bangsa  kita tidak punya 'bantalan ekonomi' untuk menyangga stabilitas ekonomi karena kita sudah net importir BBM sekitar 1,5 juta barrel perhari, dan tidak ada kelebihan kapasitas di sektor komoditi, kecuali batubara dan sawit.

Keempat, Friksi, fragmentasi dan segmentasi sosial makin tajam (diwarnai isu anti etnis dan agama), maka dampak sosial krisis yang akan terjadi di 2018/2019 dapat lebih berbahaya dari yang terjadi di 1998. Maka merujuk perspektif  RR, siapapun pemimpinnya di Indonesia, dengan kondisi seperti itu, Indonesia dapat mengalami kemunduran (set-back) sekitar 3-5 tahun.

Patut disayangkan, para elite  politik yang masih menggap sepele, bercanda dan bermain lucu-lucuan dalam memilih pemimpin nasional di tengah ancaman krisis ekonomi yang  mencemaskan dan menyedihkan. Pertanyaannya adalah: Apakah para elite tersebut tega melihat Indonesia mundur 3-5 tahun lagi, di mana rakyat akan semakin miskin dan pengangguran semakin tinggi.

Oleh sebab itu, sekiranya cara kita memilih pemimpin menggunakan gaya 'tribalisme', yaitu cara pandang politik yang mendahulukan kepentingan keluarga, kelompok, dan partai, serta semata-mata hanya untuk mengejar uang dan kekuasaan lagi, maka kita justru membiarkan Indonesia terperosok lebih dalam ke jurang krisis mendatang.

Gaya politik 'tribalisme' seperti ini tidak akan menghasilkan pemimpin Indonesia yang kuat menghadapi tekanan negara-negara adidaya seperti Amerika Serikat dan Tiongkok (RRC)  di percaturan global karena Tribalisme (herediter) selalu mempersempit visi-misi dan sumberdaya manusia serta merusak daya tahan bangsa dan negara, melumpuhkan spirit sosial-kulturalnya.

Kemerosotan Dan Kesenjangan Tajam

Bank Indonesia (BI) memperkirakan defisit transaksi berjalan pada tahun ini, bakal di atas US$25 miliar. Angka defisit yang diproyeksikan BI ini, meningkat 44,51 persen ketimbang realisasi tahun lalu sebesar US$17,3 miliar."Terus terang (defisit transaksi berjalan) berat. Tekornya tambah gede," ujar Gubernur BI Dr Perry Warjiyo. Melebarnya defisit transaksi berjalan, tak lepas dari laju impor yang lebih kencang dibanding ekspor. Padahal, pemerintah sebelumnya mengaku bakal menekan impor bahan baku dan barang modal.

Berdasarkan Badan Pusat Statistik (BPS), selama Januari-Juni 2018, neraca perdagangan Indonesia defisit US$1,02 miliar. Defisit terjadi, karena secara kumulatif ekspor hanya pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS, tidak hanya disebabkan oleh rencana kenaikan suku bunga oleh Bank Sentral AS, The Fed.

Kenyataannya, mata uang Garuda ini cenderung lebih besar tekanannya ketimbang mata uang di negara emerging market lainnya. Karana, tekanan terhadap rupiah tidak hanya satu, yaitu suku bunga AS saja. Tapi juga naiknya harga minyak dunia dan juga perang dagang AS-China,  'trade war' yang berimplikasi ke Indonesia.

Sejauh ini, kenaikan harga minyak yang mencapai US$77 per barel, sangat mengganggu kredibilitas fiskal Indonesia. Sebagai negara pengimpor minyak, kenaikan harga minyak yang signifikan dibarengi pelemahan rupiah, sangat mengganggu kondisi fiskal APBN.

Kedua faktor ini jelas bikin repot tim ekonomi Joko Widodo. Apalagi, tahun ini dan tahun depan, merupakan tahun politik. Di mana, pemerintahan Jokowi sebagai petahanan tentu menghindari kebijakan yang non populis. Semisal, menaikkan tarif listrik apalagi BBM. Celakanya, kalau tidak naik, tumbalnya kena BUMN (PLN, Pertamina dst).

Namun bukan hanya itu problem ekonomi kita. Tokoh Muhammadiyah Buya Ahmad Syafii Maarif (yang juga Mahaguru Sejarah di Universitas Negeri Yogyakarta) mengingatkan terang benderang dalam makna yang sangat fatal bahwa; ketimpangan sosio-ekonomi di Negara Pancasila ini sudah berada di lampu merah pula, pada tikungan tanda bahaya bagi kelangsungan masa depan bangsa ini.

Tahun lalu, masalah ketimpangan ekonomi ramai lagi dikomentari gara-gara informasi dalam the South China Morning Post 23 Februai 2017 di bawah judul, 'Wealth gap: four richest Indonesians worth more than poorest 100 million' yang menjelaskan jurang kekayaan sangat tajam dan makin curam: empat orang terkaya Indonesia melebihi harta 100 juta orang termiskin. Angka ini berdasarkan survei yang dilakukan oleh Oxfam, sebuah konfederasi internasional dari organisasi-organisasi amal dengan titik perhatian utama untuk melawan kemiskinan global, didirikan tahun 1942, berpusat di Inggris.

Sebagai LSM tingkat dunia yang telah berpengalaman selama 70 tahun, temuan Oxfam yang bekerja sama dengan lebih 90 negara,menunjukkan tentang ketimpangan ekonomi di Indonesia  sudah berada di ambang batas toleransi.

Menurut Buya Syafii Maarif, sejauh ini Presiden Joko Widodo dinilai masih gagal memenuhi janji-janjinya untuk memerangi ketidakadilan sambil menekankan agar pemerintah menaikkan pengeluaran bagi kepentingan pelayanan publik, dan agar korporasi dan orang kaya membayar pajak lebih besar.

Harus kita akui, Indonesia telah menikmati sebuah pembengkakan ekonomi yang telah mengurangi jumlah rakyat yang hidup dalam kemiskinan ekstrem, tetapi jurang antara kaya miskin semakin melebar dibandingkan dengan negara Asia Tenggara mana pun selama 20 tahun terakhir. Setidaknya, empat orang Indonesia terkaya, hartanya melebihi milik 100 juta rakyat termiskin di negeri itu, sebuah kajian menemukan, sambil menyoroti betapa besarnya jumlah rakyat yang terpinggirkan saat ekonomi membengkak (the South China Morning Post, 23 Februai 2017).

Di luar kesenjangan dan ketidakadilan itu, dunia usaha makin menyadari dengan melemahnya rupiah hingga suku bunga yang tinggi, semua itu akan membuat kenaikan biaya dana (cost of fund), sebab bunga untuk pinjaman perbankan akan lebih tinggi.

Maka bagi pelaku usaha hanya ada dua cara untuk mengantisipasi kenaikan cost of fund, yakni menempatkan beban ke konsumen dengan menaikkan harga barang dan jasa, atau mengurangi margin keuntungan. Dan kedua hal itu menyulitkan dunia usaha untuk berkembang.

Demikianlah, melemahnya rupiah, jurang kaya-miskin yang menajam, ketidakadilan sosial, melemahnya dunia usaha dan terjadinya krisis efisiensi di lembaga-lembaga negara maupun sektor swasta, membuat publik miris: Bagaimana kalau ekonomi dan rupiah kita turun terus?

Oleh sebab itu, di tengah tahun politik 2018-2019, Pemerintahan Presiden Jokowi harus bekerja all out, kreatif dan inovatif untuk mengatasi stagnasi ekonomi dan melemahnya daya beli rakyat serta kondisi sosial yang rentan dan rawan konflik serta ketegangan, yang kesemuanya itu saling berhimpitan.

Tidak ada jalan lain, kritik Rizal Ramli bisa menjadi cambuk bagi pemerintah Jokowi untuk mencari jawaban dan terobosan. RR menyadari bahwa di sisi Jokowi, popularity is one thing, but governing is another thing, (popularitas adalah satu hal, namun memerintah adalah hal lain). Dan kini di tangan Jokowi Indonesia dipertaruhkan nasibnya, dimana ekonomi mengalami stagnasi, daya beli rakyat menurun dan rupiah melemah.

Oleh sebab itu, meski mengkritik tajam tim ekuin Kabinet Jokowi,  Dr Rizal Ramli yang mengakui popularitas Jokowi sangat tinggi, tetap senantiasa siap membantu Jokowi untuk mencari solusi, memecahkan persoalan bangsa walau dia tidak di dalam kabinet/pemerintahan, apapun situasi-kondisinya.

RR sudah mewakafkan dirinya dan hidupnya untuk bangsa dan negara yang dicintainya, dengan ketulusan dan pahit getir yang dirasakannya setelah terlempar dari Kabinet Kerja. RR kecil memulai langkahnya dari kondisi nyaris sebatang kara, usia 8 tahun sudah yatim piatu dan hanya diasuh neneknya yang buta huruf di Bogor. Dia sudah ditempa oleh kepahitan hidup sejak kanak-kanak.

Untuk itulah,  sebagai Rajawali, melihat konsidi sosial-ekonomi yang merosot dan situasi politik yang menegang,   RR selalu perduli dan komit untuk membantu pemerintah Jokowi mengatasi persoalan ekonomi-politik dan tantangan ke depan, berpikir dan bekerja untuk bangsa dan negara. Baginya, meminjam kata-kata penyair Angkatan 1945 Chairil Anwar : 'Sekali berarti sudah itu mati'. Wallahu A'lam Bishawab.

Herdi Sahrasad
Penulis adalah Associate Director The Media Institute dan Pusat Studi Islam dan Kenegaraan Universitas Paramadina

Populer

Mantan Jubir KPK Tessa Mahardhika Lolos Tiga Besar Calon Direktur Penyelidikan KPK

Rabu, 24 Desember 2025 | 07:26

Mantan Wamenaker Noel Ebenezer Rayakan Natal Bersama Istri di Rutan KPK

Kamis, 25 Desember 2025 | 15:01

Camat Madiun Minta Maaf Usai Bubarkan Bedah Buku ‘Reset Indonesia’

Selasa, 23 Desember 2025 | 04:16

Sarjan Diduga Terima Proyek Ratusan Miliar dari Bupati Bekasi Sebelum Ade Kuswara

Jumat, 26 Desember 2025 | 14:06

Adik Kakak di Bekasi Ketiban Rezeki OTT KPK

Senin, 22 Desember 2025 | 17:57

8 Jenderal TNI AD Pensiun Jelang Pergantian Tahun 2026, Ini Daftarnya

Rabu, 24 Desember 2025 | 21:17

Ketika Kebenaran Nasib Buruh Migran Dianggap Ancaman

Sabtu, 20 Desember 2025 | 12:33

UPDATE

Program Belanja Dikebut, Pemerintah Kejar Transaksi Rp110 Triliun

Sabtu, 27 Desember 2025 | 08:07

OJK Ingatkan Risiko Tinggi di Asuransi Kredit

Sabtu, 27 Desember 2025 | 07:48

Australia Dukung Serangan Udara AS terhadap ISIS di Nigeria

Sabtu, 27 Desember 2025 | 07:32

Libur Natal Pangkas Hari Perdagangan, Nilai Transaksi BEI Turun Tajam

Sabtu, 27 Desember 2025 | 07:17

Israel Pecat Tentara Cadangan yang Tabrak Warga Palestina saat Shalat

Sabtu, 27 Desember 2025 | 07:03

Barzakh itu Indah

Sabtu, 27 Desember 2025 | 06:38

Wagub Babel Hellyana seperti Sendirian

Sabtu, 27 Desember 2025 | 06:21

Banjir Cirebon Cermin Politik Infrastruktur Nasional Rapuh

Sabtu, 27 Desember 2025 | 06:13

Jokowi sedang Balas Dendam terhadap Roy Suryo Cs

Sabtu, 27 Desember 2025 | 06:06

Komdigi Ajak Warga Perkuat Literasi Data Pribadi

Sabtu, 27 Desember 2025 | 05:47

Selengkapnya