Berita

Nasaruddin Umar/Net

Ormas Islam & Kelompok Radikal (26)

Mendelegitimasi Peran Negara Dan Agama (1)

KAMIS, 09 AGUSTUS 2018 | 09:52 WIB | OLEH: NASARUDDIN UMAR

SALAH satu tantangan pimpinan ormas-ormas keagamaan ialah melakukan pem­binaan terhadap warganya yang sering melakukan keg­iatan yang dapat dinilai mendelegitimasi peran negara dalam agama atau sebaliknya mendelegitimasi peran agama dalam negara. Kel­ompok pertama bisa terindikasi sebagai kelom­pok radikal dan yang kedua dapat dikategori­kan sebagai kelompok liberal. Kedua-duanya berpotensi menimbulkan keresahan karena sa­ma-sama menunjukkan kecenderungan mem­promosikan gagasan dan kegitan yang tidak sejalan dengan hukum dan perundang-undan­gan yang berlaku di NKRI.

Tentu saja sebagai negara berdaulat, setiap ada persoalan warga masyarakat, negara har­us hadir. Negara tidak bisa absen dalam setiap problem bangsa, sungguhpun itu wilayah agama yang sering dikatakan sebagai wilayah yang sangat privat. Mendelegitimasi atau leb­ih tepat kriminalisasi peran negara di dalam urusan keagamaan merupakan bagian yang sangat membahayakan. Bagaimana jadinya jika negara tidak bisa hadir pada setiap konflik berbasis agama, sementara kita tahu bahwa konflik horizontal paling berbahaya adalah konflik agama. Mendeligitimasi peran Negara da­lam urusan agama bisa dikategorikan sebagai penyesatan masyarakat, dan dengan demiki­an dapat dikategorikan Religious-Hate Speech (RHS). Hanya saja perlu diingat bahwa kehadiran negara terlalu dalam sehingga menerobos batas peran tokoh agama itu juga perlu dicer­mati. Kehadiran Negara dalam agama sangat perlu tetapi harus terukur.

Dalam Islam pun menekankan perlunya kehadiran negara di dalam kehidupan ber­masyarakat dan berbangsa. Kalangan ulama sunny berpendapat, lebih baik 100 tahun dip­impin pemerintah yang dhalim ketimbang se­hari tanpa pemerintah. Kekosongan pemerin­tahan membuka peluang berlakunya hukum rimba, yang kuat memangsa yang lemah da­lam waktu singkat. Dalam bahasa agama, Neg­ara atau pemerintah seing diistilahkan dengan ulil amr, berasal dari kata uli berarti pemilik dan al-amr berarti perintah, tuntunan melaku­kan sesuatu, atau keadaan urusan. Jadi uli al-amr (baca: ulil amr) berarti pemilik urusan atau pemilik kekuasaan atau hak untuk mem­beri perintah. Yang termasuk Ulil Amr di dalam kitab-kitab tafsir meliputi para pejabat pemerin­tah (umara’/eksekutif), para hakim (yudikatif), para perwakilan tokoh-tokoh masyarakat (leg­islative), para cerdik-pandai (ulama), dan para pimpinan militer. Dalam konteks sekarang men­cakup kekuatan trias politika: Legislatif, ekse­kutif, dan Yudikatif.


Ulil amr dalam pengertian kontemporer dun­ia Islam ialah para pemimpin eksekutif pe­merintahan. Kalau di Indonesia ialah presiden atau kepala negara. Penetapan presiden atau kepala negara di dalam wilayah kesatuan hu­kum (wilayah al-hukm) Republik Indonesia adalah penting karena menyangkut legitimasi penerapan hukum Islam. Keabsahan perkawinan seorang perempuan yang tidak memiliki wali nasab, atau memiliki wali nasab tetapi mereka tidak memenuhi syarat untuk mengawinkannya, misalnya berlainan agama, belum akil balig, atau ada halangan lain, maka yang ber­hak mengawinkan ialah pejabat pemerintah yang mewakili pihak wali. Jika pemerintah tidak abash maka akan berpengaruh terhadap sah tidaknya perkawinan tersebut. Jika pemerintah tidak diakui sebagai ulil amr maka rusaklah se­mua perkawinan yang dilakukan di bawah otori­tas perwaliannya, dan akibatnya lebih jauh ter­jadi perzinahan massal.

Itulah sebabnya dalam Muktamar NU (Nah­dlatul Ulama) di Banjarmasin tahun 1936, Res­olusi Jihad tahun 1945, pengukuhan Kepala Negara Republik Indonesia sebagai waliyyu al-amri ad-dharuri bi as-syaukah (pemegang pemerintahan dlaruri dengan kekuatan dan kekuasaan), hingga penerimaan Pancasila dan NKRI sebagai tujuan akhir perjuangan umat Is­lam, agar institusi hukum Islam dapat diterap­kan karenanya. Bayangkan kalau tidak ada ulil amr, maka akan sulit para gadis yang tak punya wali untuk menikah. Meskipun Indonesia belum merdeka ketika itu tetapi sudah dipandang per­lu mengadakan pemerintah sebagai represen­tasi pemimpin umat Islam di Indonesia. 

Populer

Masih Sibuk di Jogja, Pimpinan KPK Belum Tahu OTT di Lampung Tengah

Selasa, 09 Desember 2025 | 14:21

Pura Jadi Latar Film Porno, Hey Bali: Respons Aparat Dingin

Selasa, 09 Desember 2025 | 21:58

Kebun Sawit Milik POSCO Lebih dari Dua Kali Luas Singapura

Senin, 08 Desember 2025 | 19:12

Mahfud MD soal Bencana Sumatera: Menyuruh Pejabat Mundur Tidak Relevan

Rabu, 10 Desember 2025 | 05:53

Cegah Penimbunan BBM

Jumat, 05 Desember 2025 | 02:00

Polri Kerahkan Kapal Wisanggeni 8005 ke Aceh

Jumat, 05 Desember 2025 | 03:03

Pesawat Perintis Bawa BBM

Jumat, 05 Desember 2025 | 05:02

UPDATE

Denny Indrayana Ingatkan Konsekuensi Putusan MKMK dalam Kasus Arsul Sani

Selasa, 16 Desember 2025 | 01:30

HAPPI Dorong Regulasi Sempadan Pantai Naik Jadi PP

Selasa, 16 Desember 2025 | 01:22

Pembentukan Raperda Penyelenggaraan Pasar Libatkan Masyarakat

Selasa, 16 Desember 2025 | 01:04

Ijazah Asli Jokowi Sama seperti Postingan Dian Sandi

Selasa, 16 Desember 2025 | 00:38

Inovasi Jadi Kunci Hadapi Masalah Narkoba

Selasa, 16 Desember 2025 | 00:12

DPR: Jangan Kasih Ruang Pelaku Ujaran Kebencian!

Selasa, 16 Desember 2025 | 00:06

Korban Meninggal Banjir Sumatera Jadi 1.030 Jiwa, 206 Hilang

Senin, 15 Desember 2025 | 23:34

Bencana Sumatera, Telaah Konstitusi dan Sustainability

Senin, 15 Desember 2025 | 23:34

PB HMI Tegaskan Putusan PTUN terkait Suhartoyo Wajib Ditaati

Senin, 15 Desember 2025 | 23:10

Yaqut Cholil Masih Saja Diagendakan Diperiksa KPK

Senin, 15 Desember 2025 | 23:07

Selengkapnya