Berita

Ilustrasi/Net

Politik

Memaknai Ijtima Ulama Menyongsong Pilpres 2019

SENIN, 30 JULI 2018 | 22:07 WIB | OLEH: DR. MUHAMMAD NAJIB

KATA  'ijtima' diambil dari Bahasa Arab yang berarti pertemuan atau rapat yang dalam konteks ini dapat dimaknai sebagai Musyawarah Besar (Mubes). 'Ijtima Ulama' yang digagas Gerakan Nasional Pengawal Fatwa (GNPF) Ulama di Jakarta telah menelurkan sejumlah rekomendasi baik terkait Pilkada, Pileg, maupun Pilpres menyongsong Pemilu 2019.

Bila dicermati siapa saja yang hadir dan isu yang dibahas, serta narasi yang dibangun, sebenarnya rekomendasi yang dihasilkan sudah bisa diperkirakan. Dengan kata lain tidak mengejutkan karena persoalan yang dihadapi sebenarnya masalah lama yang tidak terselesaikan dan kini muncul dalam kemasan baru yang menumpangi gelombang populisme yang melanda dunia secara keseluruhan akibat semakin masifnya penggunaan media sosial.

Kenapa dikatakan masalah lama?  Bila kita telusuri kembali perjalanan perjuangan umat Islam di Indonesia; Pada masa penjajahan umat Islam ditindas secara politik dan diisolasi secara ekonomi. Awal kemerdekaan sempat bersentuhan dengan kekuasaan dan mulai tumbuh secara ekonomi, akan tetapi muncul kebijakan demokrasi terpimpin menyebabkan kembali terpuruk.

Munculnya Orde Baru yang di dalamnya umat ikut mendirikan, ternyata lebih banyak mengintimidasi, dan baru memberikan jalan di akhir masa bakti ditandai berdirinya ICMI. Pada era Reformasi yang ditandai kebebasan penuh baik dalam politik maupun ekonomi, kekuatan umat sulit berkembang karena dominannya kekuatan asing yang ikut bermain baik secara politik maupun ekonomi.

Untuk memaknai berkembangnya kekuata Islam populis saat ini, kita dapat merujuk pada analisa Vedi Hadiz (Islamic Populism in Indonesia, and Middle East,  2017). Hadiz yang kini menjadi profesor di Universitas Melbourn melakukan riset  dengan mengambil studi kasus tiga negara Muslim: Indonesia, Turki, dan Mesir.

Dari riset ini terlihat adanya kesamaan sebab meningkatnya populisme di dunia Islam dikarenakan sebagai mayoritas mereka merasa  sedikit sekali menerima bagian dari kue ekonomi dan berada di pinggiran dalam mengelola kekuasaan.

Hanya Turki yang sejak tahun 2003 berhasil masuk dan mengendalikan kekuasaan yang kemudian memberikan secara proporsional kue ekonomi kepada umat. Akan tetapi, kini Turki juga mengalami ujian atas manisnya kekuasaan sebagaimana dialami negara lain, dalam bentuk pecahnya sekutu besar antara kelompok pendukung Erdogan yang menggunakan kendaraan AKP (partai) dan pendukung Gulen yang berhimpun dalam Hizmet (Ormas).

Bila disederhanakan maka rekomendasi Ijtima Ulama sebenarnya tidak lain dari tuntutan kebijakan afirmatif baik dalam bidang politik maupun ekonomi. Walaupun tuntutan ini diarahkan kepada calon penantang, akan tetapi juga dapat dimaknai sebagai kritik terhadap petahana. Karena itu, jika petahana menangkap bola ini kemudian mampu mengolahnya, maka pertarungan kedepan akan semakin seru.

Ada beberapa celah yang bisa mengakibatkan rekomendasi 'Ijtima Ulama' ini tidak berjalan. Pertama, rekomendasi yang terlalu rigid terkait figur yang hampir tidak memberikan ruang bagi para ulama yang tidak terlibat di Ijtima'.

Kedua, partai politik dan para politisi memiliki logika sendiri dalam memilih pemimpin. Jika para ulama hanya menyandarkan pada kriteria ideal yang merujuk pada kaidah-kaidah normatif agama, maka partai politik dan para politisi menambahkan aspek fakta dan realitas kekuatan yang ada kemudian bagaimana memilih kandidat capres dan cawapres sehingga terbuka kemungkinkan dalam merebut kemenangan.

Ketiga, terlalu tingginya menempatkan Habib Riziek Sihab dalam piramida kepemimpinan Ummat yang disodorkan GNPF-U bisa membuat tersinggung para ulama dan ormas-ormas Islam besar yang tentu merasa lebih berjasa dan lebih  dahulu dalam membangun dan mengembangkan Ummat. Tentu saja sebagai bagian dari tatakrama dan sopan santuan mereka tidak mengungkapnya ke permukaan.

Yusril Ihza Mahendra bersama Partai Bulan Bintang (PBB) sudah mulai mengungkapkan hal ini. Bila masalah ini tidak disadari atau diabaikan, maka ulama-ulama senior dan ormas-ormas Islam besar yang tidak terlibat dalam Ijtima' akan menjauh dengan caranya sendiri, menyusul apa yang dilakukan Yusril dengan PBB-nya.[***]
Penulis adalah Direktur Eksekutif Center for Dialogue and Cooperation among Civilization (CDCC)

Populer

Jaksa Agung Tidak Jujur, Jam Tangan Breitling Limited Edition Tidak Masuk LHKPN

Kamis, 21 November 2024 | 08:14

MUI Imbau Umat Islam Tak Pilih Pemimpin Pendukung Dinasti Politik

Jumat, 22 November 2024 | 09:27

Kejagung Periksa OC Kaligis serta Anak-Istri Zarof Ricar

Selasa, 26 November 2024 | 00:21

Rusia Siap Bombardir Ukraina dengan Rudal Hipersonik Oreshnik, Harga Minyak Langsung Naik

Sabtu, 23 November 2024 | 07:41

Ini Identitas 8 Orang yang Terjaring OTT KPK di Bengkulu

Minggu, 24 November 2024 | 16:14

Sikap Jokowi Munculkan Potensi konflik di Pilkada Jateng dan Jakarta

Senin, 25 November 2024 | 18:57

Waspadai Partai Cokelat, PDIP: Biarkan Rakyat Bebas Memilih!

Rabu, 27 November 2024 | 11:18

UPDATE

Disdik DKI Segera Cairkan KJP Plus dan KJMU Tahap II

Sabtu, 30 November 2024 | 04:05

Israel dan AS Jauhkan Umat Islam dari Yerusalem

Sabtu, 30 November 2024 | 03:38

Isu Kelompok Rentan Harus Jadi Fokus Legislator Perempuan

Sabtu, 30 November 2024 | 03:18

Dorong Pertumbuhan Ekonomi 8 Persen, Kadin Luncurkan White Paper

Sabtu, 30 November 2024 | 03:04

Pasukan Jangkrik Gerindra Sukses Kuasai Pilkada di Jateng

Sabtu, 30 November 2024 | 02:36

Fraksi PKS Usulkan RUU Boikot Produk Israel

Sabtu, 30 November 2024 | 02:34

Sertijab dan Kenaikan Pangkat

Sabtu, 30 November 2024 | 02:01

Bawaslu Pastikan Tak Ada Kecurangan Perhitungan Suara

Sabtu, 30 November 2024 | 01:48

Anggaran Sekolah Gratis DKI Disiapkan Rp2,3 Triliun

Sabtu, 30 November 2024 | 01:17

Mulyono Bidik 2029 dengan Syarat Jakarta Dikuasai

Sabtu, 30 November 2024 | 01:01

Selengkapnya