Berita

Wa Ode Nurhayati/Net

Wawancara

WAWANCARA

Wa Ode Nurhayati: Nasib..., Masa Sudah Jalani Hukuman Masih Dihajar Lagi

RABU, 11 JULI 2018 | 10:55 WIB | HARIAN RAKYAT MERDEKA

Setelah menyelesaikan masa hukuman selama 5,6 tahun pada Agustus 2017, bekas terpidana kasus suap penga­lokasian Dana Penyesuaian Infrastruktur Daerah (DPID) berupaya membangun ulang karier politiknya. Sempat terbesit ingin maju sebagai cagub di Pilkada Sulawesi Tenggara 2018, namun rencana itu urung direalisasikan.  

 Kini tekad sudah bulat untuk nyaleg lagi lewat PAN. Namanya sudah masuk Daftar Caleg Sementara (DCS) PAN. Namun ketika baru dalam proses pemenuhan syarat nya­leg, Wa Ode sudah ‘disengat’ Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 20 Tahun 2018.

Beleid yang diterbitkan KPU itu memuat aturan larangan bagi bekas napi kasus korupsi untuk maju sebagai caleg. Tak ingin langkahnya mentah di tengah jalan, Wa Ode buru-buru mendaf­tarkan diri mengajukan uji materi terhadap PKPU ke Mahkamah Agung. Permohanan uji materi Wa Ode sudah diregister dengan nomor 45 P/HUM/2018 tertang­gal 10 Juli 2018.

Berikut ini curhat perem­puan yang pernah duduk seba­gai Anggota Badan Anggaran (Banggar) DPR yang merasa pintu masuknya ke dunia politik lagi sedang berupaya ditutup oleh KPU. Berikut penuturan Wa Ode kepada Rakyat Merdeka.

Kenapa Anda mengajukan gugatan uji materi terhadap PKPU itu?
Kalau alasannya sih karena ini kan tahun pemilu. Saya masih kader PAN, dan saya mendaf­tar sebagai caleg untuk jadi peserta Pemilu 2019. Saya maju dari daerah pemilihan (dapil) Sulawesi Tenggara, saya sudah terdaftar di DCS. Berkas sudah masuk, yang kurang tinggal surat sehat jiwa. Saya tidak di kasih folmulir B1/B2 dari KPU karena kan mau konsultasi dulu soal PKPU. Makanya saya me­mutuskan untuk judicial review ke MA. Apalagi belakangan ini opini terkait PKPU ini semakin ramai. Dan seperti kita tahu belakangan ini opini itu bisa punya legitimasi melebihi undang-undang. Akhirnya saya putuskan untuk mengajukan judicial review, supaya ada kepastian hukum terhadap posisi saya sebagai caleg.

Memangnya menurut Anda pasal berapa sih dalam PKPU yang jadi persoalan?

Dulu, awalnya pasal 7 PKPU ini hanya mengatur soal caleg dan KPU.

Lalu kemudian ketika diun­dangkan pasal 4 jadi mengatur caleg dan partainya. Karenanya saya gugat supaya saya tidak harus berbenturan dengan partai karena PKPU. Saya tidak mau membuat partai dilema karena adanya opini publik. Sehingga partai tidak terjebak dalam peng­giringan opini. Ini kan saya lihat ada opini yang dibentuk.

Permohonan uji materi yang Anda lakukan itu atas nama pribadi atau diajukan bersama para bekas napi ka­sus korupsi lainnya?
Gugatan ini atas nama saya sendiri. Gugatan ini juga sifat­nya dadakan kok. Saya bangun pagi, nonton berita dan lihat pemberitaan Sekjen PAN yang lagi mendaftarkan ke KPU, sambil menandatangani pakta integritas yang artinya menyetu­jui PKPU. Saya langsung kaget dong, waduh nasib saya ba­gaimana? Makanya saya ajukan saja (judicial review) sebelum terlambat.

Pasal berapa saja dalam PKPU yang Anda gugat?

Intinya sih yang kami uji itu Undang-Undang Nomor 7 Tentang Pemilu, kemudian Undang-Undang Tipikor, dan Undang-Undang tentang HAM. Kami tidak tahu nanti undang-undang mana yang dijadikan dasar hukum dari putusannya. Hakim kan punya penilaian sendiri nanti. Itu sudah wilayah­nya majelis hakim. Yang jelas kami menggunakan tiga itu sebagai dasar gugatan terhadap PKPU.

Tapi KPU menerbitkan aturan larangan nyaleg bagi bekas napi korupsi salah satu untuk memunculkan efek jera. Bagaimana Anda melihat hal itu?

Kalau efek jera dibentuk sedemikian rupa supaya jadi pembenaran publik, saya ingin bilang, bahwa tahanan kasus ko­rupsi itu setelah di vonis sudah ada hukuman lainnya. Ketika di penjara itu dia dihukum lagi oleh Peraturan Pemerintah (PP) 99 (tentang syarat dan tata cara pelaksanaan hak warga binaan pemasyarakatan), yang isinya tidak boleh mendapatkan re­misi, tidak boleh mengajukan pembebasan bersyarat. Saya merasakan hal itu, saya divonis enam tahun hukuman, dan saya jalani lima tahun lebih enam bulan tanpa remisi apapun. Saya menjalani masa tahanan itu karena mendapat remisi dasawarsa yang keluar lima tahun sekali.

Remisi dasawarsa itu remisi tanpa syarat, jadi tidak kena ketentuan PP 99. Makanya saya bisa pulang sedikit lebih cepat. Kemudian setelah bebas lalu ada aturan baru lagi yang mau menghukum? Ini yang saya pertanyakan. Meskipun harus jadi martir, hal ini harus saya sampaikan kepada publik agar semuanya fair, dalam melaku­kan penghakiman terhadap napi korupsi.

Saya yakin kok, publik itu bagi orang yang sudah menjalani hukuman mereka apresiasi.

Apa mungkin ada masyarakat yang mengapresiasi seorang bekas napi kasus ko­rupsi mengingat korupsi saat ini menjadi musuh negara?
Saya itu pulang ke Sulawesi Tenggara, dan saya pernah men­calonkan diri sebagai calon gubernur independen itu diapresiasi. Mereka berbondong-bondong memberikan dukungan dengan cara mengumpulkan KTP dan lain sebagainya. Bahwa ada sebagian orang yang mengatasnamakan publik tidak menginginkan bekas napi kasus korupsi, kami akan buktikan pada pemilu nanti.

Ada pepatah yang bilang begini, biasanya orang kalau menunjuk ke orang lain, biasan­ya itu keempat jarinya berbalik menunjuk ke dirinya sendiri. Kita semua itu bukan orang yang bersih-bersih banget. Orang sudah menjalani hukuman kok masih mau dihajar lagi. Kasihan kan jadi enggak selesai-selesai masalahnya.

Batas pendaftaran itu kan 17 Juli. Kalau gugatan ini be­lum diputus juga sampai batas waktu tersebut, bagaimana nasib pencalonan Anda?
Sepengetahuan saya sih, ber­dasarkan kesepakatan bersa­ma antara KPU, Kemendagri, Bawaslu, dan DPR itu tetap boleh terdaftar sampai ada kepastian hukum. Tapi kan dijawab lagi oleh KPU, bahwa kepastian hu­kum itu yang menentukan KPU berdasarkan PKPU, selama tidak ada yang judicial review. ***

Populer

Fenomena Seragam Militer di Ormas

Minggu, 16 Februari 2025 | 04:50

Asian Paints Hengkang dari Indonesia dengan Kerugian Rp158 Miliar

Sabtu, 15 Februari 2025 | 09:54

Bos Sinarmas Indra Widjaja Mangkir

Kamis, 13 Februari 2025 | 07:44

PT Lumbung Kencana Sakti Diduga Tunggangi Demo Warga Kapuk Muara

Selasa, 18 Februari 2025 | 03:39

Temuan Gemah: Pengembang PIK 2 Beli Tanah Warga Jauh di Atas NJOP

Jumat, 14 Februari 2025 | 21:40

Pengiriman 13 Tabung Raksasa dari Semarang ke Banjarnegara Bikin Heboh Pengendara

Senin, 17 Februari 2025 | 06:32

Dugaan Tunggangi Aksi Warga Kapuk Muara, Mabes Polri Diminta Periksa PT Lumbung Kencana Sakti

Selasa, 18 Februari 2025 | 17:59

UPDATE

Kejanggalan LHKPN Wakil DPRD Langkat Dilapor ke KPK

Minggu, 23 Februari 2025 | 21:23

Jumhur Hidayat Apresiasi Prabowo Subianto Naikkan Upah di 2025

Minggu, 23 Februari 2025 | 20:56

Indeks Korupsi Pakistan Merosot Kelemahan Hampir di Semua Sektor

Minggu, 23 Februari 2025 | 20:44

Beban Kerja Picu Aksi Anggota KPU Medan Umbar Kalimat Pembunuhan

Minggu, 23 Februari 2025 | 20:10

Wamenag Minta PUI Inisiasi Silaturahmi Akbar Ormas Islam

Minggu, 23 Februari 2025 | 20:08

Bawaslu Sumut Dorong Transparansi Layanan Informasi Publik

Minggu, 23 Februari 2025 | 19:52

Empat Negara Utama Alami Krisis Demografi, Pergeseran ke Belahan Selatan Dunia, India Paling Siap

Minggu, 23 Februari 2025 | 19:46

Galon Polikarbonat Bisa Sebabkan Kanker? Simak Faktanya

Minggu, 23 Februari 2025 | 19:34

Indra Gunawan Purba: RUU KUHAP Perlu Dievaluasi

Minggu, 23 Februari 2025 | 19:31

Kolaborasi Kunci Keberhasilan Genjot Perekonomian Koperasi

Minggu, 23 Februari 2025 | 19:13

Selengkapnya