Kenaikan Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) sebesar 19,5 persen berdampak pada keÂnaikan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB). KebiÂjakan ini dinilai bikin susah rakyat kecil. Sebab, tidak semua pemilik rumah berduit. Bahkan, menurut survei, 45 persen rumah didapÂatkan dari warisan.
Kenaikan NJOP tersebut sesuai dengan Peraturan GuÂbernur (Pergub) Provinsi DKI Jakarta Nomor 24 Tahun 2018 yang ditandatangani Anies BasÂwedan pada 29 Maret 2018. Diundangkan pada 4 April 2018. Dalam daftar lampiran Pergub 24 Tahun 2018, beberapa daerah yang NJOP-nya paling mahal di antaranya di Jakarta Pusat.
Misalnya di Jalan Jenderal Sudirman, keterangan nilai jual objek pajak bumi mencapai Rp 93,96 juta per meter persegi. SeÂmentara di Jalan Jenderal Gatot Subroto mencapai Rp 76,50 juta per meter persegi.
Di Jakarta Selatan, AparteÂmen GP Plaza tercatat sebesar Rp 47,9 juta per meter persegi. Daerah Palmerah mencapai Rp 41,89 juta per meter persegi.
Menanggapi hal itu, peneliti Senior Indonesia Public InstiÂtute, Karyono Wibowo menÂgatakan, Gubernur Anies sanÂgat terobsesi dengan prestasi. Bahkan, untuk meningkatkan pendapatan pajak sebanyak Rp 2 triliun menjadi Rp 38,1 triliun harus menaikkan NJOP.
"Ini berdampak pada PBB. Orang kecil yang menjadi korÂbannya," kata Karyono Wibowo saat dihubungi, kemarin.
Menurutnya, daya beli warga bakal turun dengan kenaikan PBB. Apalagi saat ini harga kebutuhan pokok juga pada naik. Seharusnya dalam situasi seperti ini, suatu keÂbijakan harusnya tidak membuat warga tambah susah.
"Kasian orang kecil di Jakarta sudah makin terpinggirkan, pajaknya naik pula. Padahal survei salah satu portal online 45 persen warga mendapatkan rumah dari warisan," ujarnya.
Seharusnya, lanjut Karyono, yang menjadi perhatian AnÂies saat ini bukan menggenjot pendapatan, tetapi memaksimalÂkan penyerapan. Terbukti, setiap tahun penyerapan paling tinggi hanya 85 persen. Tahun ini saja sisa lebih pembiayaan anggaran lebih dari Rp 13 triliun.
"Yang menjadi pertanyaan saat ini ialah, kalau punya angÂgaran lebih buat apa? Lihat saja sekarang sampai bulan Juli peÂnyerapan belum sampai 30 persÂen. Pembangunan infrastruktur baru nyaris tidak ada. Semua hanya meneruskan kerjaan tahun sebelumnya," ungkapnya.
Pengamat perkotaan UniverÂsitas Trisakti Nirwono Joga meÂnegaskan, Anies harus meninjau ulang kenaikan NJOP. Sebab, pemilik rumah atau tanah tidak jarang harus menjual rumahnya karena PBB terlalu mahal. Lalu, tanah dibeli pengusaha.
"Setelah rumah dibeli, ruÂmah dijadikan tempat usaha, kafe, dan resto. Jangan sampai karena NJOP yang tinggi, sehÂingga fungsi bangunan berubah dan kawasan peruntukan jadi berubah," ujarnya.
Dia menambahkan, NJOP tidak bisa dilihat semata dari apakah kawasan itu elite, kemuÂdian jadi mahal seperti Kawasan Menteng dan Kebayoran. Perlu dipertimbangkan kemampuan warga untuk membayar PBB.
Ketua Komisi C DPRD DKI Santoso mengaku, kenaikan NJOP tersebut hanya di wilayah bisnis atau zonasi tertentu. KeÂnaikan NJOP berlaku surut sejak 1 Januari 2018.
"Ya naik untuk zona tertentu. Zona bisnis," kata Santoso keÂtika dikonfirmasi.
Anggota Komisi D DPRD DKI Jakarta Bestari Barus meÂnyatakan, Pemprov DKI harus mengevaluasi terlebih dahulu wilayah yang terdampak kenaiÂkan NJOP. Ada banyak pemilik rumah adalah pensiunan dan mengalami kesulitan ekonomi untuk membayar PBB.
"Dampak dari kenaikan NJOP itu kan menaikkan pembayaran PBB. Ini harus diinventarisasi dahulu. Pensiunan dan warga berpenghasilan rendah itu kan ada kekhususan," ujarnya.
Wakil Gubernur DKI Jakarta Sandiaga Uno menyatakan, keÂnaikan NJOP rata-rata sebesar 19,5 persen. Penetapannya sesuai dengan nilai pasar suatu lahan.
"Kalau kita bangun MRT (
Mass Rapid Transit) di sini, nanti NJOP akan naik semua. Yakin 100 persen nilai propÂerti di sekitar koridor MRT akan naik. Nah akan disesuaikan NJOP-nya," kata Sandi. ***