Berita

Foto/Net

Politik

Putusan PTUN Tentang Kepengurusan Partai Hanura Janggal, Ini Alasannya

RABU, 04 JULI 2018 | 00:52 WIB | LAPORAN:

Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta yang memenangkan gugatan kubu Daryatmo-Sarifuddin Sudding atas SK Menkumham tentang restrukturisasi, revitalisasi dan reposisi kepengurusan DPP Partai Hanura dinilai sangat janggal.

Wakil Sekretaris Jenderal Bidang Hukum DPP Hanura Petrus Selestinus menjelaskan kejanggalan itu nampak jelas dari pertimbangan hukum Majelis Hakim PTUN yang menyatakan bahwa pihaknya, tidak berhak menentukan keabsahan kepengurusan partai politik.

Majelis Hakim PTUN menilai keabsahan kepengurusan Parpol ditentukan oleh Mahkamah Partai dan atau peradilan umum sebagaimana diatur dalam UU Parpol.


"Anehnya, diamar putusan majelis hakim PTUN, justru mengabulkan gugatan penggugat. Itu artinya, Majelis Hakim PTUN ikut menentukan keabsahan kepengurusan parpol yang sebenarnya menjadi wewenang Mahkamah Partai Politik menurut UU Parpol," beber Petrus dalam konferensi pers di kawasan Jalan Thamrin, Jakarta Pusat, Selasa (3/7).

Kejanggalan lain, kata Petrus, Majelis Hakim PTUN mewajibkan DPP Partai Hanura melakukan restrukturisasi, revitalisasi dan reposisi terhadap posisi Sekretaris Jenderal yang dulunya dijabat oleh Sarifuddin Sudding.

Hal itu karena Sudding sebagai Sekjen merupakan produk dari Keputusan Forum Tertinggi Pengambilan Keputusan Partai Politik (FTPKPP) Hanura.

Padahal, restrukturisasi, revitalisasi dan reposisi hanyalah perubahan pengurus pada tataran Sekjen yang menurut AD/ ART dan peraturan organisasi cukup dilakukan dengan Rapat Pleno atau oleh Ketua Umum berdasarkan mandat Rapimnas.

Jadi dijelaskan Petrus, Jika SK restrukturisasi, reposisi dan revitalisasi bukanlah produk yang mengubah hal-hal pokok sebagaimana disyaratkan oleh Pasal 2 ayat (4) UU Parpol.

"Kalau memang ingin mengubah AD/ ART partai, mengganti Ketua Umum, mengganti asas partai dan lainya yang harus dilakukan melalui Munas atau Munaslub sebagai FTPKPP," jelas Petrus.

Menurut dia, restrukturisasi, revitalisasi dan reposisi yang dilakukan oleh Ketua Umum Partai Hanura Oesman Sapta Oedang (OSO) bukan melakukan atas perubahan kepengurusan, tetapi hanya mengubah pengurus secara orang-perorang di dalam partai saja.

Perubahan itu pun hanya sifatnya insidentil serta bukan perubahan mendasar yang harus diputuskan lewat forum tertinggi partai atau Munas.

"Dan kalau ada penolakan dari sekurang-kurangnya 2/3 peserta Munas atau Munaslub barulah Menkumham terkendala untuk memberikan pengesahan dan menunggu penyelesaian di Mahkamah Partai," jelasnya.

Ditegaskannya lagi kalau SK yang digugat merupakan SK yang bersifat deklaratif absolut. Hal itu didasari AD/ ART Partai Hanura, bahwa untuk melakukan perubahan kepengurus, utamanya untuk mengganti jabatan Sekjen hanya cukup dengan Rapat Pleno DPP atau cukup dilakukan oleh Ketua Umum berdasarkan mandat Rapimnas.

Sehingga, sambung Petruis, cukup didaftarkan dan ditetapkan dengan Surat Keputusan Menteri. Perubahan tersebut tidak memerlukan verifikasi sebagaimana dalam pengesahan kepengurusan hasil FTPKPP karena menyangkut apakah ada penolakan dari 2/3 peserta FTPKPP, Akta Notaris dan lain-lain.

"Jadi majelis hakim tidak bisa membedakan antara pergantian pengurus berdasarkan keputusan parpol yang bersumber dari FTPKPP dan mana yang merupakan keputusan parpol bersumber dari keputusan parpol yang bersifat insidentil melalui rapat pleno atau mandat ketua umum," pungkas Petrus.

Sebelumnya, Majelis Hakim telah memutusakan perkara Gugatan Perselisihan Partai Politik No. 24/G/2018/PTUN-JKT, Tertanggal 26 Juni 2018.

Daryatmo dan Sarifuddin Sudding sebagai Pengugat melawan Menteri Hukum dan HAM sebagai Tergugat dan DPP Partai Hanura sebagai Tergugat Intervensi II.

Amar putusan hakim menyatakan pembatalan surat keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor: M.HH-01.AH.11.01 Tahun 2018 tanggal 17 Januari 2018 tentang Restrukturisasi, Reposisi dan Revitalisasi Pengurus Dewan Pimpinan Pusat Partai Hati Nurani Rakyat Masa Bhakti 2015-2020.
Hal juga mewajibkan kepada Tergugat I untuk mencabut SK Menkumham yang tengah dipersoalkan itu. [nes]



Populer

Mantan Jubir KPK Tessa Mahardhika Lolos Tiga Besar Calon Direktur Penyelidikan KPK

Rabu, 24 Desember 2025 | 07:26

Mantan Wamenaker Noel Ebenezer Rayakan Natal Bersama Istri di Rutan KPK

Kamis, 25 Desember 2025 | 15:01

Camat Madiun Minta Maaf Usai Bubarkan Bedah Buku ‘Reset Indonesia’

Selasa, 23 Desember 2025 | 04:16

Sarjan Diduga Terima Proyek Ratusan Miliar dari Bupati Bekasi Sebelum Ade Kuswara

Jumat, 26 Desember 2025 | 14:06

Adik Kakak di Bekasi Ketiban Rezeki OTT KPK

Senin, 22 Desember 2025 | 17:57

8 Jenderal TNI AD Pensiun Jelang Pergantian Tahun 2026, Ini Daftarnya

Rabu, 24 Desember 2025 | 21:17

Ketika Kebenaran Nasib Buruh Migran Dianggap Ancaman

Sabtu, 20 Desember 2025 | 12:33

UPDATE

Program Belanja Dikebut, Pemerintah Kejar Transaksi Rp110 Triliun

Sabtu, 27 Desember 2025 | 08:07

OJK Ingatkan Risiko Tinggi di Asuransi Kredit

Sabtu, 27 Desember 2025 | 07:48

Australia Dukung Serangan Udara AS terhadap ISIS di Nigeria

Sabtu, 27 Desember 2025 | 07:32

Libur Natal Pangkas Hari Perdagangan, Nilai Transaksi BEI Turun Tajam

Sabtu, 27 Desember 2025 | 07:17

Israel Pecat Tentara Cadangan yang Tabrak Warga Palestina saat Shalat

Sabtu, 27 Desember 2025 | 07:03

Barzakh itu Indah

Sabtu, 27 Desember 2025 | 06:38

Wagub Babel Hellyana seperti Sendirian

Sabtu, 27 Desember 2025 | 06:21

Banjir Cirebon Cermin Politik Infrastruktur Nasional Rapuh

Sabtu, 27 Desember 2025 | 06:13

Jokowi sedang Balas Dendam terhadap Roy Suryo Cs

Sabtu, 27 Desember 2025 | 06:06

Komdigi Ajak Warga Perkuat Literasi Data Pribadi

Sabtu, 27 Desember 2025 | 05:47

Selengkapnya