Berita

Teuku Gandawan/Net

Politik

Belajar Demokrasi Dari Piala Dunia 2018

SENIN, 02 JULI 2018 | 15:37 WIB | OLEH: TEUKU GANDAWAN

PIALA Dunia 2018 masih berlangsung dan memasuki fase 16 besar. Perwakilan dua terbaik dari setiap 8 grup fase penyisihan telah menghadirkan berbagai kejutan. Kejutan awal paling dramatis adalah tersisihnya Jerman. Jerman yang hanya membutuhkan kemenangan satu gol harus tersisih karena dipermalu oleh wakil Asia yang juga sudah pasti tersisih juga yakni Korea Selatan.

Sebelum dimulai Piala Dunia 2018 juga sudah menimbulkan drama tersendiri dengan gagalnya Belanda dan Italia tampil di laga sepakbola terbesar empat tahunan itu ini. Bukan hanya dua negara ini yang gagal hadir, langganan piala dunia lainnya Kamerun, Cile dan Amerika Serikat juga gagal berpartisipasi dalam pesta olahraga terbesar peminatnya di jagat raya ini.

Lalu, terjadikah kerusuhan di dunia ini akibat tidak lolosnya lima negara ini? Tidak sama sekali. Kenapa demikian? Karena ada jiwa sportivitas yang tinggi di kelima negara ini. Bahkan fans mereka di luar negaranyapun tak membuat keributan. Website FIFA tidak diserang. Semua wasit yang memimpin pertandingan sehat wal afiat. Panitia penyelenggara masing-masing zona juga tidak terganggu sama sekali. Para pendukung masing-masing negara lebih banyak menyalahkan organisasi bola setempat, pelatih dan para pemain. Mereka paham betul kegagalan ini bukan salah lawan-lawan mereka.

Hari ini babak 16 besar Piala Dunia 2018 masih berlangsung. Drama juga masih berlangsung. Argentina, Portugal, Spanyol dan Denmark juga mengikuti jalan duka yang dialami Jerman. Menariknya dari seluruh pertandingan yang terjadi, dengan kekalahan-kekalahan negara-negara besar sepakbola, bertaburnya kartu kuning dan kartu merah, lagi-lagi tetap saja tidak ada kerusuhan apapun di seluruh stadion-stadion sepakbola Rusia. Semua menerima kepahitan-kepahitan yang muncul. Hanya ada tangis dari pendukung dan pemain. Tidak ada sama sekali kemarahan brutal di sana.

Inti dari semua cerita di atas adalah, apapun itu, semua sudah ada aturan mainnya. Semua pihak menghormati bersama aturan yang sudah disepakati. Bahkan pilihan teknologi yang dilibatkan juga dihormati bersama. Piala Dunia kali ini memanfaatkan teknologi Video Assistant Referee (VAR) dan Goal Line Technology (GLT) yang didukung semua pihak karena semua sepakat untuk menghadirkan akurasi fakta dan objektivitas keputusan dalam setiap pertandingan.

Bagaimana dengan pesta demokrasi Indonesia? Sejak Pemilu 1999 telah dirintis berbagai upaya untuk kemajuannya. Berbagai aturan dan mekanisme terus diperbaiki dengan munculnya berbagai UU Pemilu, Peraturan KPU, Peraturan Bawaslu dan sebagainya. Tentu kita semua berharap dengan itu semua akan muncul KPU dan Bawaslu yang sangat profesional, yang bisa menghadirkan pesta demokrasi yang jujur dan adil tanpa kejanggalan-kejanggalan atau keberpihakan pada tahap persiapan, pelaksanaan, pencoblosan, perhitungan dan pengumuman hasilnya.

Demikian juga dengan apa yang disebut IT KPU yang telah dipersiapkan sejak Pemilu 2004. Tentu kita berharap akan menjadi alat untuk mempermudah dan meninggikan akurasi hasil dari pemilu. Namun sungguh sayang, hingga hari ini investasi IT terus menerus itu tidak membuat pesta demokrasi kita semakin bagus, jujur, adil dan transparan. Malah kita harus menerima status konyol di situs KPU yang menyatakan bahwa website down karena ingin meningkatkan kualitas pemilu. Ini logika dodol dari mana?

Tidak bisakah kita menjadi bangsa yang lebih maju dan beradab dalam urusan demokrasi? Haruskah kecurangan demi kecurangan menjadi tradisi bagi kita di setiap pesta demokrasi? Bagaimana kita bisa maju dan bersaing dengan bangsa-bangsa lain jika kita enggan berbenah dan menata diri bersama? Mari belajar profesionalisme dari Piala Dunia 2018. Pesta bola dunia ini masih berlangsung, masih bisa kita nikmati dan pelajari. Ayo berubah menjadi bangsa petarung yang punya jiwa kesatria menerima apapun hasil pertarungan. Jangan siap menang tapi tak siap kalah. Kalau tak siap kalah, jangan pernah bertarung! [***]

Penulis adalah alumni ITB, mantan aktivis kemahasiswaan, pemerhati politik nasional

Populer

Fenomena Seragam Militer di Ormas

Minggu, 16 Februari 2025 | 04:50

Asian Paints Hengkang dari Indonesia dengan Kerugian Rp158 Miliar

Sabtu, 15 Februari 2025 | 09:54

Bos Sinarmas Indra Widjaja Mangkir

Kamis, 13 Februari 2025 | 07:44

Temuan Gemah: Pengembang PIK 2 Beli Tanah Warga Jauh di Atas NJOP

Jumat, 14 Februari 2025 | 21:40

PT Lumbung Kencana Sakti Diduga Tunggangi Demo Warga Kapuk Muara

Selasa, 18 Februari 2025 | 03:39

Pengiriman 13 Tabung Raksasa dari Semarang ke Banjarnegara Bikin Heboh Pengendara

Senin, 17 Februari 2025 | 06:32

Dugaan Tunggangi Aksi Warga Kapuk Muara, Mabes Polri Diminta Periksa PT Lumbung Kencana Sakti

Selasa, 18 Februari 2025 | 17:59

UPDATE

PDIP Minta Seluruh Kader Banteng Tenang

Kamis, 20 Februari 2025 | 23:23

Megawati Instruksikan Kepala Daerah dari PDIP Tunda Retret ke Magelang

Kamis, 20 Februari 2025 | 22:43

Wujudkan Pertanian Berkelanjutan dan Ketahanan Pangan, Pemerintah Luncurkan FAST Programme

Kamis, 20 Februari 2025 | 22:27

Trump Gak Ada Obat, IHSG Terseret Merah

Kamis, 20 Februari 2025 | 22:26

Uchok: Erick Thohir Akali Prabowo soal Danantara

Kamis, 20 Februari 2025 | 22:24

Hasto Ditahan, Megawati Tidak Menunjuk Plt Sekjen PDIP

Kamis, 20 Februari 2025 | 22:21

Resmi Pimpin Banten, Andra Soni-Dimyati Diingatkan Jangan Korupsi

Kamis, 20 Februari 2025 | 22:18

KPK Tahan Hasto, PDIP: Operasi Politik Mengawut-awut Partai

Kamis, 20 Februari 2025 | 22:17

Hasto Ditahan, PDIP: KPK Dikendalikan dari Luar Melalui AKBP Rossa

Kamis, 20 Februari 2025 | 22:16

Adityawarman Adil Apresiasi BSF CGM 2025: Gambaran Kekayaan Budaya Kota Bogor

Kamis, 20 Februari 2025 | 21:56

Selengkapnya