Pengusaha mendorong ReÂvisi Peraturan Presiden (Perpres) No 112 tahun 2007 tentang penataan, pembinaan pasar traÂdisional, pusat perbelanjaan, dan toko modern segera selesai. Revisi Perpres dibutuhkan unÂtuk melakukan pengembangan industri ritel.
Ketua Umum Asosiasi PenguÂsaha Ritel Indonesia (Aprindo) Roy Mandey mengatakan, revisi Perpres tersebut dapat menjadi stimulan bagi industri ritel. "Kita harapkan dari pemerintah adalah stimulan atau relaksasi dari pemerÂintah untuk menjadikan industri ritel menjadi industri strategis," ujarnya, akhir pekan lalu.
Selain revisi Perpres, pengusaha juga mengharapkan aturan RenÂcana Detil Tata Ruang (RDTR) menjadi titik pendorong kerja sama ritel dengan warung dan pasar tradisional. Saat ini, RDTR di Indonesia masih terbatas sehÂingga menghambat industri.
Roy mengatakan, dari 516 kabupaten/kota, 34 provinsi hanya ada 20 RDTR. "Perlu ada perubahan satu pasal mengenai RDTR, tetapi sampai sekarang belum menerima daftar perubaÂhan Perpres 112 tahun 2007," terang Roy.
Sebelumnya, perubahan aturan mengenai RDTR telah dimasukÂkan dalam daftar Revisi Perpres yang telah diserahkan ke SekreÂtariat Negara (Setneg). Aturan sebelumnya pendirian toko ritel harus memenuhi syarat RenÂcana Tata Ruang dan Wilayah (RTRW), RDTR, dan Peraturan Zonasi. Dalam Revisi Perpres aturan tersebut ditiadakan.
Corporate Communications General Manager PT Trans Retail Indonesia (Carrefour) Satria Hamid mengatakan, para pengusaha berharap banyak agar revisi Perpres tersebut akan berdampak positif bagi perkemÂbangan industri ritel. "Kami mengharapkan revisi Perpres bisa mendorong iklim investasi di daerah," ujarnya.
Harga-harga produk diklaim dapat lebih terjangkau jika revisi Perpres tersebut cepat selesai. Tidak hanya itu, serapan tenaga kerja dapat lebih dimaksimalkan serta produk Usaha Kecil dan Menengah (UKM) dapat lebih berkembang karena berpotensi dipasarkan secara nasional melaÂlui ritel modern.
Satria juga berharap, revisi Perpres tersebut dapat mengÂhasilkan standar yang terukur bagi pengusaha yang hendak mendirikan toko ritel modern. Misalnya saja, standar Sertifikat Layak Fungsi (SLF).
Dia juga mendorong nantiÂnya ada ketentuan terkait batas waktu tetap untuk pengeluaran izin toko modern di daerah. SeÂlama ini, katanya, belum ada ketentuan yang sama terkait lama perizinan di daerah untuk pendirian toko modern.
"Kami mendukung untuk kami penetrasi di daerah, jangan menghambat, jadi sinkronisasi antar aturan pusat dan daerah kami minta inline," ujarnya.
Dia mengatakan, posisi pasar tradisional juga saling melengÂkapi dengan toko modern karena marketnya berbeda. Meskipun di beberapa daerah masih ada proteksi terkait hal ini, menuÂrutnya baik pasar tradisional maupun toko modern perlu tetap berinovasi menyesuaikan kebutuhan konsumen. "Toh, marketnya kami marketnya sendiri, pesaingnya sesama toko modern bukan pasar tradisÂional," jelasnya.
Direktur Bina Usaha dan Pelaku Distribusi Ditjen PerdaÂgangan Dalam Negeri KemenÂterian Perdagangan (Kemendag) I Gusti Ketut Astawa menjelasÂkan, ada beberapa hal pokok yang dipangkas di dalam revisi Perpres No.11/2007. "Syarat-syarat mendirikan toko modern akan dipermudah," ujarnya.
Aturan tentang batasan luas lantai penjualan minimarket, supermarket, department store, hypermarket, dan perkulakan juga diubah. Jika sebelumnya syarat minimal luas lahan deÂpartment store adalah 400 meter persegi, kini menjadi hanya 200 meter persegi. ***