BANGSA Indonesia baru saja menuntaskan hajat demokrasi daerah, Pilkada 2018 dalam suasana yang sangat kondusif. Secara umum kondusivitas Pilkada 2018 turut mengulangi hal serupa dalam penyelenggaraan Pilkada 2015 dan 2017.
Pilkada 2018 digelar di 171 daerah yang meliputi 17 provinsi, 39 kota dan 115 kabupaten. Meski secara daerah penyelenggaraan Pilkada jumlahnya lebih sedikit dibanding 2017, tetapi DPT Pilkada 2018 lebih besar dibanding 2017.
Tercatat ada 152.066.686 pemilih yang terdaftar di DPT Pilkada 2018. Bandingkan dengan jumlah DPT Pemilihan Presiden 2014 yang mencapai 190.307.134. Artinya secara jumlah, Pilkada 2018 disebut sebagai parameter ideal bagi Pemilu Presiden 2019 dan Pemilu Legislatif 2019.
Anggaran Pilkada 2018 pun juga jauh lebih besar dibanding Pilkada 2017. Total hampir Rp 20 triliun dana yang digunakan dalam kontestasi Pilkada 27 Juni 2018 lalu. Sementara pada Pilkada 2017, penyelenggaraan Pilkada menyedot anggaran Rp 4,2 triliun.
Asumsi-asumsi di atas membuat penyelanggaran Pilkada 2018 semakin shahih sebagai daya ukur kekuatan politik untuk Pemilu 2019. Pada sisi itu, kita juga patut bersyukur penyelenggaraan pilkada yang terbesar dibanding pilkada-pilkada sebelumnya ini berlangsung aman.
Secara keamanan, hal ini tentu patut diapresiasi. Tidak ada gejolak, tidak ada gangguan keamanan dan tidak ada tensi politik yang tinggi. Setidaknya belum ada yang mengalahkan sensasi Pilkada DKI Jakarta 2017 lalu.
Pilkada DKI Jakarta 2017 menjadi salah satu pilkada terpanas yang tensinya menyamai pilpres. Meski secara pemilih tidak banyak, 'hanya' 7.218.254 pemilih pada putaran kedua, tetapi seluruh rakyat Indonesia nampaknya memperhatikan betul konstelasi Pilkada di ibukota ini.
Selain sebagai ibukota negara, episentrum segala bidang di Indonesia, Pilkada DKI 2017 juga masih menyisakan residu Pilpres 2014 dan 2009 antara Jokowi vs Prabowo plus kubu SBY. Kubu Joko Widodo direpresentasikan dalam pasangan Ahok-Djarot sementara kubu Prabowo direpresentasikan oleh Anies-Sandi. Kubu SBY sebagai pemain dua Pilpres pada 2004 dan 2009 direpresentasikan oleh AHY-Sylvi.
Pilkada DKI semakin menarik kala banyak turunan kasus hukum yang mengiringi perjalanan Pilkada ini. Dan sisa-sisa kasus hukumnya masih terbawa hingga kini. Kasus Penistaan Agama oleh Ahok, Kasus Pembangunan Masjid dan Hibah Dana Pramuka yang menyeret Sylviana, kasus dugaan pelecehan Pancasila dan dugaan chat porno yang menyeret Habib Rizieq adalah beberapa kasus hukum 'sampingan' yang makin memanaskan suasana Pilkada DKI lalu.
Belum lagi menilik fenomena aksi umat 411 hingga 212. Pengerahan kepala daerah dari PDIP untuk memerahkan Jakarta, hingga istana yang ikut turun dalam mendinginkan suasana panas saat itu.
Ahok sudah dibui, kasus Habib Rizieq yang terbawa-bawa hingga kini sudah selesai usai SP3, kasus Sylviana entah apa kabarnya (terakhir disinggung SBY sebelum pencoblosan Pilkada 2018). Suasana kini cenderung kondusif. Landai.
Kondisi ini tercitrakan benar dalam Pilkada 2018. Meski masih ada kekuatan istana vs #GantiPresiden2019 yang vis a vis seperti Pilkada DKI, tetapi tensinya tak sepanas Pilkada DKI.
Praktis transisi Pilkada 2018 berjalan mulus. Ada beberapa analisa yang mungkin terjadi. Pertama, partai politik kini lebih mengonsolidasikan internal masing-masing. Pilkada 2018 menjadi batu uji terakhir sebelum Pilpres dan Pemilu 2019. Jika Pilkada 2017 yang direpresetasikan oleh Pilkada DKI memiliki rasa pilpres, Pilkada 2018 lebih kental aroma Pemilihan Legislatif.
Masing-masing partai mengukur kekuatan mesin internalnya. Usai pilkada, partai-partai politik ini lebih senang menghitung kekuatan mesin yang sudah digerakkan untuk tujuan Pemilihan Legislatif tahun depan. Suasana evaluasi berbasis koalisi tak lagi sekuat Pilkada DKI lalu.
Masing-masing partai memilih mengevaluasi diri. Hal ini bisa terlihat dari klaim masing-masing partai jika mereka menang di berapa pilkada, klaim menguasai pulau Jawa dan lain sebagainya.
Kedua, cairnya koalisi pada Pilkada 2018. Pada Pilkada 2017 lalu, sejatinya koalisi partai juga sangat cair. Karena koalisi partai di daerah bagaimanapun bersifat pragmatis. Tetapi sorot utama kamera yang tertuju ke DKI Jakarta membuat persaingan politik hanya milik tiga kubu saja.
Sementara, pada Pilkada 2018 tidak ada magnet yang semenarik DKI. Koalisi jauh lebih cair sehingga tidak timbul friksi yang meruncing. Di satu provinsi, partai pemerintah dan non pemeritah bisa berhadapan. Tetapi di provinsi lain, partai pemerintah maupun di luar pemerintah bisa bergabung mendukung satu calon. Cairnya koalisi ini turut membuat suasana ketegangan menurun.
Faktor ketiga, tidak meratanya liputan media di provinsi-provinsi besar yang menggelar Pilkada. Pada pilkad kali ini, suara Pulau Jawa amat berpengaruh. Tiga provinsi besar Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur menggelar pemilihan gubernur serentak. Tetapi, meski secara magnet seharusnya menarik bagi media faktanya tidak demikian.
Pilkada DKI 2017 magnetnya jauh lebih menarik bagi media. Kantor pusat media yang rata-rata berada di Jakarta membuat ekspos Pilkada DKI sangat tinggi. Sebaliknya, saat Pilkada Jabar, Jateng dan Jatim mayoritas media hanya mengandalkan biro daerah. Hal ini turut berimbas pada ekspos media yang tidak segencar Pilkada DKI.
Ditambah lagi momen Pilkada 2018 digelar usai hajatan tahunan media yakni liputan mudik dan Idul Fitri. Harus diakui jika media nasional kita masih Jakartasentris dan Jawasentris untuk isu.
Ditambah lagi beberapa kasus yang melibatkan KPU dan media seperti di Jawa Tengah. KPU Jawa Tengah yang gagal lelang iklan media membuat sejumlah media di Jateng berang. Tak ayal, tidak adanya dukungan dari penyelenggara Pemilu membuat Pilkada di Jawa Tengah adem ayem saja seperti karakter orang-orangnya.
Setidaknya tiga hal tadi membuat penyelenggaraan Pilkada 2018 terkesan landai. Jika dimaknai secara keamanan, tentu hal ini justru positif. Tetapi jika dimaknai sebagai pendidikan politik, tentu hal ini bisa menjadi catatan.
[***]
Hafidz MuftisanyPemerhati Media