Kebijakan daerah berpotensi mengalami perubahan pasca Pilkada secara serentak. Para kepala daerah baru diharapkan tidak membuat peraturan yang menyulitkan investasi.
Ekonom Institute Development of Economic and Finance (Indef) Bhima YudhisÂtira Adhinegara menyerukan kepada para pemenang pemiÂlihan kepala daerah (Pilkada) tidak membuat regulasi yang memicu ketidakpastian hukum, terutama terkait perizinan dan inÂvestasi. Menurutnya, para invesÂtor sejatinya lebih mencemaskan masalah kepastian hukum ketimÂbang proses penyelenggaraan Pilkada itu sendiri.
"Suhu politik memang memÂbuat investor khawatir. Tetapi mereka lebih takut ketidakpasÂtian kebijakan. Bisa dibayangÂkan ada 171 pilkada secara serentak. Berapa banyak Perda baru akan muncul? Masalah itu jauh lebih berbahaya karena bisa menghambat investasi," ujar Bhima kepada Rakyat Merdeka, kemarin.
Bhima menuturkan, tantangan ketidakpastian hukum merupaÂkan hal penting yang harus menÂjadi perhatian serius pemerintah pusat pasca Pilkada. Apalagi, saat ini masih banyak peraturan yang belum sinkron antara pusat dan daerah.
Bhima berharap, pemerintah memberikan saksi tegas kepada daerah yang mempersulit inÂvestor. Hal ini bisa dilakukan melalui instrumen anggaran. Misalnya, menghentikan semenÂtara pemberian anggaran Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Alokasi Khusus (DAK) dalam beberapa waktu.
Saat ditanya mengenai suhu politik tingkat nasional, Bhima memandang masih terkendali, tidak sampai berdampak signifiÂkan terhadap investasi.
Bhima menerangkan, genÂcarnya kritik yang disampaikan kelompok oposisi mengenai kinerja perekonomian tidak akan ditelan mentah-mentah para investor. "Misalnya kritik soal utang. Para investor kan memiliki tim dan ahli yang bisa menggali data," terangnya.
Bhima menyarankan pemerintah untuk tidak panik dengan kritik yang makin kencang. Cukup dijawab saja dengan data-data dimiliki pemerintah. Menurutnya, banyaknya kritik justru bagus sebagai sarana check and balances.
Soal utang, Bhima menamÂbahkan, pihaknya tidak mau memperdebatkan besaran nomiÂnalnya yang kini terus membeÂsar, tetapi pada produktivitasnya. "Untuk mengukurnya bisa pakai DSR (
debt to service ratio). Sekarang kita di atas 25 persen lewat ambang batas aman DSR menurut IMF. Ya saran saya peÂmerintah harus hati-hati. Apalagi defisit perdagangan sudah terjadi 4 kali dalam 5 bulan terakhir," jelasnya.
Tak Ganggu EkonomiPengamat ekonomi UniverÂsitas Gajah Mada (UGM) Tony Prasetiantono optimistis perÂhelatan politik di Tanah Air tidak akan mengganggu kinerja perekonomian. "Saya optimistis tahun politik tidak membawa bencana bagi ekonomi IndoÂnesia. Kalaupun ada masalah muncul, saya yakin bukan dari sisi politik," kata Tony.
Tony mencontohkan, kondisi pasar finansial sempat bergejoÂlak menjelang pemilihan umum 2009. Hal itu terjadi bukan karena suhu politik di dalam negeri tetapi karena dampak dari krisis subprime mortgage (masalah kredit perumahan) yang terjadi di Amerika Serikat. Walau begitu, ekonomi IndoneÂsia dalam keadaan stabil karena terbantu oleh membaiknya harga komoditas.
Contoh lain kondisi perekoÂnomian menjelang pemilihan umum 2014. Menurut Tony, persoalan ekonomi dampak dari kebijakan pemerintah harus melakukan konsolidasi fiskal terkait penyesuaian subsidi energi seiring dengan kenaikan harga minyak dunia. ***