Bank Sentral Amerika Serikat (The Federal Reserve/ The Fed) akhirnya menaikkan kembali suku bunga acuan (Fed Fund Rate/FFR) menjadi 1,75 persen hingga 2 persen. Kenaikan tersebut dikhawatirkan memicu kenaikan suku bunga acuan Bank Indonesia.
Namun Ketua Dewan KomiÂsioner Otoritas Jasa KeuanÂgan (OJK) Wimboh Santoso mengimbau, kenaikan FFR pada Federal Open Market Committee (FOMC), Rabu (13/5), jangan ditanggapi seÂcara berlebihan.
"Perbankan nasional diimbau untuk dapat mengantisipasi kenaikan suku bunga acuan FFR. Terutama dalam menghÂadapi tantangan perekonomian global," ucap Wimboh saat menggelar halalbihalal Jakarta, kemarin.
Dengan kenaikan suku bunga
The Fed, kata Wimboh, bukan berarti Industri perbankan otoÂmatis menaikkan suku bunga kredit miliknya.
"Repricing kredit itu kan ada waktunya, sehingga semua industri punya waktu menyÂiapkan diri supaya dampaknya bisa smooth. Otomatis ada
term of condition-nya," imbuh Wimboh.
Bekas Komisaris Bank Mandiri ini juga mengimbau perbankan terus melakukan efisien dalam menjalankan bisÂnisnya, agar dapat meningkatÂkan pelayanan dan kinerjanya. Dengan efisiensi, otomatis cost lebih sedikit.
"Kenaikan suku bunga yang ada tidak harus di-pass through kepada nasabah 100 persen. SeÂlama kita bisa jaga operasi kita lebih efisien," tuturnya.
Chief Economist dari Samuel Sekuritas Lana Soelistianingsih melihat, kenaikan FFR mau tidak mau akan tetap memÂberikan dampak bagi ekonomi dalam negeri.
"Naiknya kan kemarin, saat libur Lebaran. Itu ada dampak, tapi belum bisa dipastikan. Karena saat ini aktivitas pasar modal di Indonesia belum berjalan normal," tutur Lana kepada
Rakyat Merdeka saat dihubungi terpisah.
Meski begitu, dengan konÂdisi nilai tukar rupiah terhadap dolar AS sudah mencapai Rp 14 ribu lebih, ia berharap nilai itu tak akan terus naik.
Lana pun melihat Gubernur BI Perry Warjiyo sudah memÂberi sinyal bahwa akan terus menjaga stabilitas.
"Bank Sentral harus selalu berada di pasar dan mengutaÂmakan stabilisasi rupiah. KarÂena untuk melakukan stabilitas tersebut, instrumen yang dapat diandalkan adalah suku bunga," ujarnya.
Namun jika BI kembali meÂnaikkan suku bunganya atau BI 7
day reverse repo rate (repo rate), maka hal tersebut akan berdampak pada perekonomian Indonesia. Sebab, perbankan kemungkinan besar akan turut menaikkan suku bunga. SehÂingga berdampak pada pelaku usaha.
"Tentu akan memberikan efeknya. Sifatnya kalau bunga naik akan memberikan perlamÂbatan ekonomi. Bunga bank naik, pelaku usaha akan hitung-hitungan lagi. Perlu nggak untuk ekspansi? Kalau ekspansi dan investasi melambat, maka ekonomi pun akan melambat," ujarnya.
Pendapat yang sama dikaÂtakan Direktur Keuangan PT Bank Tabungan Negara (PerseÂro) Tbk Iman Nugroho Soeko. Ia meramal, BI berkemungÂkinan besar akan menaikkan repo rate.
"Selain perbankan, industri pasar modal juga akan terkena imbas kenaikan FFR. Investor asing di pasar modal akan keluar untuk memperoleh yield yang meningkat di AS," tuturnya kepada
Rakyat Merdeka. Iman mengingatkan, jika investor asing keluar, dana asÂing juga ikut tergerus, sehingga rupiah kembali tertekan. Hal itu membuat BI bakal menaikkan kembali suku bunganya.
"Kami memproyeksi, BI kira-kira akan mengerek kemÂbali repo rate sebesar 25 bps menjadi 5 persen," kata Iman.
Sebelumnya, BI telah mengerÂek repo rate dua kali pada Mei lau menjadi 4,75 persen. Dan menurut jadwal, BI akan mengÂgelar rapat dewan gubernur pasa 27-28 Juni mendatang. ***