Terdakwa kasus bom Thamrin, Aman Abdurrahman merasa tidak ikut terlibat dalam menggerakkan orang lain untuk melakukan berbagai aksi terorisme. Karenanya ia menolak dipidanakan untuk itu.
Demikian disampaikan Aman pada sidang replik yang digelar di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Rabu (30/5).
Sebaliknya, ia siap dipidana bahkan dihukum mati jika berkaitan dengan mengkafirkan pemerintah.
"Silakan pidanakan berapapun hukumannya, mau hukuman mati silakan, tapi kalau dikaitkan dengan kasus-kasus semacam itu (teror bom), dalam persidangan, satu pun tidak ada yang dinyatakan keterlibatan saya," ujarnya.
Termasuk dijatuhi hukuman apapun atas tindakannya mengajarkan tauhid dan mendukung khilafah. "Kalau saya mengajarkan mereka untuk bertauhid, dan yang lainnya mendukung khilafah, silahkan pidanakan sesuai keinginan anda semua," tukasnya.
Setidaknya ada enam poin atas pledoi Aman yang disampaikan jaksa penuntut umum. Salah satunya menuntut terdakwa dengan hukuman pidana mati. Aman disebut memenuhi seluruh dakwaan yang disusun JPU, yakni dakwaan kesatu primer dan dakwaan kedua primer.
Dakwaan kesatu primer, yakni Aman dinilai melanggar Pasal 14 juncto Pasal 6 Perppu Nomor 1 Tahun 2002, yang telah ditetapkan menjadi UU 15/2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme sebagaimana dakwaan kesatu primer.
Sementara itu, dakwaan kedua primer, Aman dinilai melanggar Pasal 14 juncto Pasal 7 Perppu Nomor 1 Tahun 2002, yang telah ditetapkan menjadi UU 15/2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.
Aman dalam perkara tersebut didakwa sebagai sebagai aktor intelektual lima kasus teror, yaitu bom Gereja Oikumene di Samarinda pada 2016, bom Thamrin (2016). Kemudian, bom Kampung Melayu (2017) di Jakarta, serta dua penembakan polisi di Medan dan Bima (2017). [wid]