Berita

Bin Firman Tresnadi/Net

Politik

20 Tahun Reformasi: Oligarki Ekonomi Menguat, Rakyat Tersingkir

SENIN, 28 MEI 2018 | 01:30 WIB

BAHWA pada akhirnya aksi-aksi massa gerakan mahasiswa 1998 harus berkompromi dengan kekuatan sisa-sisa orde baru, pemerintahan B.J.Habibie. Secara umum, B.J Habibie dapat diterima oleh hampir semua kalangan untuk menghindari perpecahan di antara anak bangsa

Sebagai sebuah pemerintahan transisi, Habibe memberikan konsesi dengan melonggarkan pengawasan terhadap media massa dan memberikan kebebasan dalam berekspresi. Beberapa langkah perubahan diambil oleh B.J. Habibie, seperti liberalisasi partai politik, pencabutan UU Subversi, pembebasan Tapol/Napol, Referendum Timur Leste dan Pemilu 1999.

Di bidang ekonomi, B.J. Habibe juga berhasil menurunkan kembali nilai tukar rupiah terhadap dolar AS, dari kisaran Rp 10 ribu hingga Rp 16 ribu menjadi di bawah Rp 10 ribu. Selain itu, B.J. Habibie mengesahkan UU larangan tentang monopoli dan perlindungan konsumen.


Akan tetapi, dalam hal sikap terhadap IMF, B.J. Habibie justru mengikuti arahan IMF untuk melakukan reformasi ekonominya. Dari sinilah pintu neoliberalisme dibuka seluas-luasnya.

Hasil pemilu 1999, menetapkan Abdurahman Wahid (Gus Dur), menjadi presiden. Di pemerintahan Gus Dur inilah, cita-cita reformasi menuju rel yang benar.

Dimulai dengan pengadilan terhadap Soeharto sampai pemberhentian Wiranto sebagai Menkopolhukam yang dianggap oleh Gus Dur sebagai orang yang bertanggung jawab atas pelanggaran HAM pada massa pemerintahan sebelumnya.

Gus Dur juga membubarkan Kementerian Penerangan yang selama ini menjadi corong utama orde baru. Juga Dinas Sosial yang dianggap gudangnya Korupsi.

Gus Dur, menunjukan sikapnya sebagai salah satu tokoh yang menunjung tinggi toleransi dengan menjadikan Hari Imlek sebagai hari libur nasional.

Di bidang ekonomi, Gus Dur mengangkat beberapa ekonom yang memiliki cara pandang anti neoliberalisme duduk dalam jajaran kabinetnya. Di antaranya, Kwik Kian Gie dan Rizal Ramli.

Beberapa gebrakanpun dilakukan, untuk memperbaiki kondisi ekonomi masyarakat saat itu. Di antaranya menolak impor pangan, dengan tujuan agar harga jual pangan menguntungkan petani. Menaikan gaji PNS, dengan tujuan agar daya beli masyarakat menengah ke bawah tidak anjok. Dan yang terpenting adalah menurunkan uutang luar negeri.

Beberapa gebrakan yang dilakukan Gus Dur ini, baik di bidang politik maupun ekonomi, rupanya membuat gerah sisa-sisa orde baru dan para pendukungnya. Dan Gus Dur pun dijatuhkan tanpa adanya bukti korupsi yang dituduhkan kepadanya.

Megawati menjadi presiden menggantikan Gus Dur. Pukulan balik terhadap gerakan reformasipun dimulai. Kran liberalisasi dibuka selebar-lebarnya melalui amademen UUD 1945.

Menteri-menteri pro neoliberalpun mulai duduk dalam kabinet, di bawah kepemimpinan Menko-Perekonomian Dorodjatun Kuntoro Tjakti agenda IMF mulai dijalankan. Privatisasi terhadap BUMN dijalankan, dan yang paling lekang dalam ingatan kita adalah penjualan Indosat.

Satu persatu subsidi rakyat dikurangi. Kekuatan oligarki ekonomi mulai menggeliat, tak hanya tersentral kepada keluarga cendana dan kroninya saja seperti jaman orde baru, tapi mulai terdistribusi ke segelintir pengusaha nasional.

Kebijakan represifpun mulai diberlakukan demi menjaga stabilitas dengan menerapkan Daerah Operasi Militer (DOM) di Aceh dan Papua. Dan terbunuhnya Munir pada penghujung kekuasaannya menjadi puncak dari tindakan represif rezim terhadap para aktivis yang mengkritik pemerintahannya.

Pemilu 2004, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), mengalahkan pasangan Megawati-Hasyim Muzadi melalui dua putaran.

10 tahun SBY berkuasa, oligarki ekonomi semakin mencengkram dibumi pertiwi ini. Paham ekonomi neoliberal semakin menunjukan coraknya di masa pemerintahan SBY ini.

“Mafia Barkley” adalah julukan yang disematkan kepada para ekonom pendukung sistem ini yang menduduki jabatan di kabinet yang dipimpin oleh SBY ini, di antaranya Sri Mulyani.

Pada peridoe kedua kepemimpiannya, SBY meluncurkan program Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi (MP3EI) yang merupakan karpet merah bagi neoliberalisme. Ketimpangan antara kaya dan miskinpun semakin berjarak.

Kendati demikian, ruang kritik terhadap pemerintahan SBY justru terbuka lebar. Mungkin di era SBY inilah aksi-aksi massa paling sering dilakukan sepanjang republik ini berdiri. Dari mulai di daerah, sampai di pusat. Dari mulai dengan beberapa orang sampai ribuan.

Rasa dahaga rakyat akan cita-cita reformasi 1998 dan keadilan sosial, terakumulasi dengan menangnya Jokowi pada Pemilu 2014. Kampanye programatik yang disampaikan Jokowi, seakan-akan menjadi jalan keluar bangsa ini dari cengkraman neoliberalisme.

Alih-alih melakukan banting stir ekonomi, pemerintah Jokowi justru melanggengkan oligariki ekonomi di republik ini.

Itu bisa dilihat dari komposisi menteri yang mengisi kabinet Jokowi. Tercatat, pada Maret 2017, 48 group konglomerasi keuangan menguasai 66,9 persen total asset sistem jasa keuangan.

Laporan Credit Suise tahun 2017 menyatakan bahwa 1 persen penduduk terkaya Indonesia menguasai 45,4 persen kekayaan nasional, dan 10 persen penduduk terkaya menguasai 74,8 persen kekayaan nasional.

Percepatan ketimpanganpun semakin terlihat. Utang negarapun tumbuh subur, dengan dalih untuk pembiayaan infrastruktur, yang notabene masih melanjutkan program MP3EI-nya SBY.

Ruang demokrasipun semakin menyempit, dimana kritik terhadap penguasa dijawab dengan kriminalisasi. Bahkan pemerintah ingin kembali menghidupkan pasal subversif dalam RUU KUHP yang telah dicabut oleh Gus Dur.

Jangankan untuk menyelesaikan pelanggaran-pelanggaran HAM di masa lalu, yang terjadi justru orang-orang yang di duga terlibat dalam pelanggaran HAM duduk manis disekitar Joko Widodo yang notabene masih menjadi pengusaha mebel saat Reformasi terjadi. [***]

Bin Firman Tresnadi
Direktur Eksekutif Indonesia Development Monitoring (IDM), yang juga mantan Aktivis Mahasiswa 98 dan anggota Partai Rakyat Demokratik (PRD).

Populer

Ketika Kebenaran Nasib Buruh Migran Dianggap Ancaman

Sabtu, 20 Desember 2025 | 12:33

OTT KPK juga Tangkap Haji Kunang Ayah Bupati Bekasi

Jumat, 19 Desember 2025 | 03:10

Uang yang Diamankan dari Rumah Pribadi SF Hariyanto Diduga Hasil Pemerasan

Rabu, 17 Desember 2025 | 08:37

OTT Beruntun! Giliran Jaksa di Bekasi Ditangkap KPK

Kamis, 18 Desember 2025 | 20:29

Kejagung Ancam Tak Perpanjang Tugas Jaksa di KPK

Sabtu, 20 Desember 2025 | 16:35

Tamparan bagi Negara: WNA China Ilegal Berani Serang Prajurit TNI di Ketapang

Sabtu, 20 Desember 2025 | 09:26

Kajari Bekasi Eddy Sumarman yang Dikaitkan OTT KPK Tak Punya Rumah dan Kendaraan

Sabtu, 20 Desember 2025 | 14:07

UPDATE

Adik Kakak di Bekasi Ketiban Rezeki OTT KPK

Senin, 22 Desember 2025 | 17:57

Pramono Putus Rantai Kemiskinan Lewat Pemutihan Ijazah

Senin, 22 Desember 2025 | 17:44

Jangan Dibenturkan, Mendes Yandri: BUM Desa dan Kopdes Harus Saling Membesarkan

Senin, 22 Desember 2025 | 17:42

ASPEK Datangi Satgas PKH Kejagung, Teriakkan Ancaman Bencana di Kepri

Senin, 22 Desember 2025 | 17:38

Menlu Sugiono Hadiri Pertemuan Khusus ASEAN Bahas Konflik Thailand-Kamboja

Senin, 22 Desember 2025 | 17:26

Sejak Lama PKB Usul Pilkada Dipilih DPRD

Senin, 22 Desember 2025 | 17:24

Ketua KPK: Memberantas Korupsi Tidak Pernah Mudah

Senin, 22 Desember 2025 | 17:10

Ekspansi Pemukiman Israel Meluas di Tepi Barat

Senin, 22 Desember 2025 | 17:09

Menkop Dorong Koperasi Peternak Pangalengan Berbasis Teknologi Terintegrasi

Senin, 22 Desember 2025 | 17:02

PKS Kaji Usulan Pilkada Dipilih DPRD

Senin, 22 Desember 2025 | 17:02

Selengkapnya